Sejumlah jurnalis dan pembela hak asasi manusia ditangkap dan ditahan karena mereka mengkritik pemerintahan. Jerman dan Uni Eropa diminta untuk bertindak tegas.
Iklan
Pihak berwenang Mesir menangkap sejumlah aktivis atas tuduhan palsu, seperti menghasut aksi terorisme, menyebarkan berita palsu, dan penyalahgunaan media sosial.
Peneliti di lembaga Human Rights Watch Mesir, Amr Magdi, menilai hal ini memungkinkan pemerintahan Presiden Abdel Fattah El-Sissi untuk melanjutkan “penindasan brutal“.
"Pemerintah Sissi merasa semakin tidak aman karena kegagalannya mengendalikan wabah COVID-19 di Mesir, sistem perawatan kesehatan negara yang lemah dan dampak ekonomi dari krisis," kata Magdi.
Selama sebulan terakhir, pihak berwenang Mesir telah menangkap dan menahan wartawan Nora Younis, Mohamed Mounir, Sanaa Seif, dan kerabat advokat HAM yang bermukim di AS, Mohammed Soltan.
Juga aktivis vokal Sanaa Seif tidak luput jadi korban bidikan. Sanaa Seif "diculik" di luar kantor kejaksaan, demikian dikatakan keluarganya kepada biro berita yang berbasis di Kairo, Mada Masr.
Kejaksaan Mesir mengeluarkan pernyataan yang menuduh di Facebook Seif telah "menyiarkan berita palsu dan rumor tentang kondisi kesehatan negara yang memburuk dan penyebaran virus corona di penjara".
"Jerman, Uni Eropa, dan AS memiliki tanggung jawab untuk mengutuk serangan terhadap martabat manusia yang mendasar di Mesir," kata Magdi.
Secara khusus, Magdi merujuk kepada pemerintah Barat yang telah menyetujui transfer senjata dan perjanjian kerja sama keamanan dengan Mesir, termasuk kesepakatan senjata senilai $ 10 miliar atau setara Rp 142 triliun.
Pemerintah Jerman juga telah menyetujui penjualan senjata ke Mesir sejak Januari senilai lebih dari € 300 juta atau sekitar Rp 4,8 triliun.
"Mereka tidak hanya diam, mereka bahkan mengirim pesan dukungan," kata Magdi. "Jika kamu tidak ingin mengutuk pemerintah Sissi karena alasan apa pun yang kamu miliki, setidaknya jangan terus mengisi mesin represifnya dengan semua dukungan ini. Ini tidak bermoral dan harus dihentikan." (ha/yf )
Musim Semi Arab: Awalnya dan Situasi Sekarang
Musim Semi Arab terjadi 2010 lalu. Namun, negara-negara Arab yang dulu dilanda revolusi masih tetap bergelut dengan berbagai masalah. Di banyak tempat, revolusi bahkan tak menunjukkan bekas. Berikut situasi lima negara.
Foto: picture-alliance/AP Photo/Khalil Hamra
Tunisia, awalnya...
Peristiwa politik yang disebut "Revolusi Yasmin" diawali kerusuhan massal di seluruh negeri akhir Desember 2010. Awalnya peristiwa pembakaran diri penjual sayur Mohamed Bouazizi (17 Des 2010). Lalu 14 Januari 2011 Presiden Ben Ali meninggalkan Tunisia. 17 Januari 2011 PM Mohamed Ghannouchi dirikan pemerintahan sementara. 27 Februari 2011 Ghannouchi turun, dan digantikan PM baru Béji Caïd Essebsi.
Foto: AP
Tunisia, situasi sekarang
17 Jan 2011 Perdana Menteri Mohamed Ghannouchi dirikan pemerintahan sementara. 27 Feb 2011 setelah sejumlah aksi protes besar-besaran, Ghannouchi turun, dan PM baru Béji Caïd Essebsi (foto). Tunisia hingga kini masih menghadapi banyak masalah. Antara lain masalah keamanan. Juli 2015 terjadi sebuah serangan teror di Sousse yang menyebabkan 38 orang tewas. 30 di antaranya berasal dari Inggris.
Foto: AFP/Getty Images/F. Belaid
Mesir, awalnya...
Perlawanan dimulai 25 Jan 2011, pada hari yang disebut "Hari Kemarahan“. 11 Feb Presiden Hosni Mubarak yang sudah berkuasa puluhan tahun turun jabatan, Dewan Militer ambil alih. Mereka jamin pemilu demokratis serta cabut situasi darurat yang sudah berlangsung 30 tahun. 2 Juni 2012 Mubarak dijatuhi hukuman seumur hidup. Setelah itu ia beberapa kali dihadapkan ke pengadilan karena sejumlah tuduhan.
Foto: AFP/Getty Images/M. Abed
Mesir, sekarang
Dalam pemilu antara 2011 dan 2012 Ikhwanul Muslimin dapat suara mayoritas di parlemen. Mohammed Mursi jadi Presiden. Partai liberal, kiri dan kekuatan sekuler protes dan memuncak Nov 2012. Serangkaian demonstrasi berakhir pada kudeta oleh militer. Mereka angkat Adli Mansur sebagai presiden sementara, dan akhirnya lewat pemilu Mei 2014, (Jenderal) Abdel al-Fattah al-Sisi (foto) jadi presiden.
Foto: Reuters
Libya, dulu...
Muammar Gaddafi (foto) diktator Libya antara 1969-2011. Ia penguasa yang paling lama bercokol di puncak kekuasaan Libya. Awal 2011 Musim Semi Arab menjalar ke Libya dan sulut demonstrasi di seluruh negeri. Gaddafi kehilangan kontrol. Maret sejumlah negara lancarkan serangan udara. Juni 2011 Gaddafi resmi dicari karena pelanggaran kemanusiaan. 20 Oktober 2011 Gaddafi tewas dibunuh saat buron.
Foto: Christophe Simon/AFP/Getty Images
Libya, situasi sekarang
Sejak 2011 Libya diguncang baku hantam antar milisi. Awalnya proses demokratisasi berjalan karena 2012 pemilu demokratis dilaksanakan. Partai sekuler ANK jadi kekuatan terbesar. Tapi partai Islam jadi mayoritas di parlemen. Pemerintah mayoritas Islam fundamental tidak mampu atau mau hapus milisi. Ansar al-Sharia bisa bergerak bebas. Presiden Nuri Abusahmain bahkan dirikan pasukan pribadi.
Foto: picture-alliance/dpa
Maroko, lima tahun lalu
Maroko adalah monarki konstitusional, dan sejak 1999 dipimpin Muhammad VI (foto). Negara miskin tapi stabil secara politik. Setelah seruan di Facebook, 20 Feb 2011 (Hari Kehormatan) ribuan berdemonstrasi tuntut reformasi politik dan demokrasi. Dalam kerusuhan jatuh korban tewas. Sebagai reaksi, Raja Maroko umumkan reformasi politik 10 Maret 2011.
Foto: Getty Images/AFP/A. Jocard
Maroko, situasi sekarang
Referendum konstitusi dilaksanakan setelah Musim Semi Arab. Perubahan yang disetujui 98% anggota parlemen, akui Tamazight jadi bahasa resmi disamping Arab. Sejumlah kewenangan dialihkan dari raja ke perdana menteri dan parlemen. Raja sekarang wajib angkat PM dari partai yang mayoritas di parlemen. Sebelumnya, Raja Maroko bisa mengangkat siapapun yang ia inginkan. Foto: istana raja.
Foto: DW/D. Guha
Aljazair, lima tahun lalu
Kerusuhan Aljazair (2010–2012) berkaitan dengan revolusi di Tunisia. Aksi protews warga awalnya disulut terus meningkatnya harga bahan pangan. Kerusuhan muncul secara spontan dan tidak terorganisir. Oposisi tuntut pencabutan situasi darurat, dan itu dipenuhi pemerintah tanggal 24 Feb 2011. Hingga pertengahan April ada kerusuhan dan demonstrasi. Foto: Presiden Abdelaziz Bouteflika
Foto: Rahim Ichalalen
Aljazair, situasi sekarang
Aljazair hingga sekarang tetap menghadapi banyak masalah. Presiden Bouteflika juga tetap berkuasa. Dalam pemilu 17 April 2014 ia terpilih jadi presiden untuk keempat kalinya. Menurut keterangan departemen dalam negeri, 81,5% suara diraih Bouteflika, dan 12,18% diraih penantangnya Ali Benflis. Foto: ibukota Aljir.