Perempuan Afganistan Korban Gempa Terabaikan
5 September 2025
Hari Minggu (31/08) jelang tengah malam, gempa bermagnitudo 6,1 skala Richter mengguncang wilayah pegunungan di timur Afganistan. Pusat gempa berada 27 km dari Kota Jalalabad, di Provinsi Nangarhar dekat perbatasan Kunar. Mengutip laporan terakhir dari Reuters, lebih dari 2200 orang tewas, sedikitnya 3600 orang terluka, dan lebih dari 6700 rumah hancur. Harapan menemukan korban selamat kian menipis.
Dari foto dan video yang dipublikasikan kantor berita dan organisasi bantuan dari lokasi gempa, hampir tidak ada sosok perempuan yang terlihat di antara mereka yang terluka atau yang dibawa ke rumah sakit.
"Anggota keluarga laki-laki tidak mengizinkan perempuan atau anak perempuan mereka dilihat orang asing. Mereka juga tidak ingin orang asing membantu mereka," ujar aktivis perempuan Fatima Rezaei kepada DW.
Rezaei tinggal di kota Herat, Afganistan barat, jauh dari lokasi gempa, tapi masih terhubung dengan para aktivis di penjuru negeri.
"Para dokter perempuan yang berada di lokasi, di desa-desa terpencil di wilayah pegunungan ingin membantu sebagai sukarelawan di hari pertama evakuasi, tapi dicegah Taliban. Para laki-laki juga menolak bantuan mereka. Kami tidak mengetahui apakah ada perempuan yang terluka dan bagaimana kondisi mereka," lanjutnya.
Dikhawatirkan masih banyak orang yang terjebak di bawah reruntuhan. Koordinator organisasi kemanusiaan PBB di Afganistan, Indrika Ratwatte, mengatakan pada hari Selasa (03/09) bahwa timnya menghadapi "tantangan besar" untuk mencapai lokasi bencana. Dalam 24 jam pertama yang krusial, akses terbatas dikarenakan tanah longsor dan reruntuhan batu yang menghancurkan jalanan.
Banyak orang terkubur dalam tidur mereka di bawah atap yang terbuat dari tanah liat dan kayu. Wilayah yang dilanda gempa adalah wilayah terpencil dengan ketimpangan infrastruktur dasar. Sebelum gempa bumi melanda, lokasi tersebut bahkan tidak memiliki listrik.
Tidak ada dokter perempuan untuk perempuan yang terluka
Sumber-sumber lokal di provinsi Kunar dan Nangarhar melaporkan bahwa pusat bantuan medis di provinsi-provinsi tersebut tengah menghadapi kekurangan jumlah dokter perempuan yang begitu signifikan, hal ini kian menyulitkan pertolongan serta perawatan kaum perempuan yang terluka.
"Kami mendapat informasi tentang kematian beberapa ibu hamil yang terluka akibat kurangnya dokter perempuan," ujar Zahra Haghparast kepada DW.
Haghparast yang berprofesi sebagai dokter gigi marah, dengan suara bergetar ia mengatakan, ”Banyak dokter dan perawat di Afghanistan yang saat ini siap berangkat untuk membantu para perempuan yang terluka, tapi Taliban tidak memberi mereka izin.”
Haghparast tinggal di Jerman. Ia terpaksa menutup praktiknya di Kabul setelah Taliban berkuasa. Protes yang ia lakukan, bersama dengan perempuan lain yang terpaksa berhenti bekerja dan menarik diri dari publik, kerap menjadikannya sasaran Taliban. Zahra ditangkap, dianiaya, dan dibebaskan hanya setelah membayar denda.
Fakta bahwa laki-laki setempat tidak mengizinkan perempuan untuk membantu adalah akibat dari kebijakan Taliban, ujarnya serta menambahkan, "Sebelum Taliban, kami berada dalam fase di mana masyarakat mulai berubah. Taliban membalikkan segalanya. Negara ini membutuhkan dokter perempuan. Namun, perempuan tidak lagi diizinkan untuk belajar. Taliban sangat membatasi pekerjaan dokter perempuan, sehingga mereka yang terluka tidak dapat ditolong dalam situasi kritis ini."
Bahkan organisasi bantuan kemanusiaan, Bulan Sabit Merah Afghanistan, telah mengirimkan bantuan dan tim medis ke provinsi-provinsi terdampak yang hampir tidak memiliki dokter perempuan untuk memberi bantuan darurat. Taliban juga melarang perempuan mengikuti pelatihan medis.
Sejak Taliban berkuasa pada Agustus 2021, anak dan remaja perempuan tidak dapat mengakses pendidikan tinggi dan universitas. Perempuan secara sistematis disingkirkan dari kehidupan publik dan perlahan mulai kehilangan hak pilihnya. "Mereka tidak memiliki hak untuk hidup," jelas Zahra.
Situasi kemanusiaan yang sangat buruk
Gempa bumi semakin memperburuk situasi kemanusiaan yang sudah buruk di Afganistan. Barat telah mengurangi bantuan secara drastis setelah Taliban berkuasa.
Menurut data PBB, 64 persen penduduk Afganistan hidup dalam kemiskinan. Sekitar setengah dari 41,5 juta penduduk bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup. Sebanyak 14 juta orang menderita kelaparan akut.
Uni Eropa kini telah mengumumkan akan mengirimkan satu juta euro (Rp19 miliar) kepada organisasi-organisasi kemanusiaan di wilayah tersebut untuk membantu masyarakat di sana. Selain itu, Uni Eropa akan menyumbangkan sekitar 130 ton pasokan bantuan dari persediaannya. Termasuk di dalamnya tenda, pakaian, bantuan medis, dan material pengolahan air.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman
Diadaptasi oleh Sorta Caroline
Editor: Rizki Nugraha