Generasi 2045 dan Imajinasi Maladi
16 Agustus 2022Sesuai lini masa, saat tahun emas Indonesia (2045) kelak, negeri ini sudah dipimpin generasi milenial. Mereka yang hari ini masih berusia berkisar 20 sampai 30 tahun, pada tahun 2045 akan menjadi para penentu kebijakan. Dimensi waktu menjadi relatif, tahun emas Indonesia tinggal 23 tahun lagi, sementara kita masih bisa mengingat dengan baik apa yang terjadi di negeri ini 23 tahun yang lalu, yakni datangnya era reformasi yang penuh harapan.
Saya tidak ingin berpanjang lebar membahas soal kekecewaan atas era reformasi, yang sebenarnya lebih sebagai problem generasi baby boomers (kelahiran 1945 – 1970). Rasanya lebih urgent membahas imajinasi bagi Indonesia 2045, ketika generasi milenial -- dalam hal ini Generasi Y dan Z – sudah memimpin negeri ini. Isu krusial bagi Generasi 2045 adalah perubahan iklim, yang gejalanya sudah terlihat hari ini berupa pemanasan global, cuaca ekstrem dan bencana hidrometerologi.
Bapak olahraga nasional yang juga seorang komponis R. Maladi, sejak sebelum kemerdekaan sudah menyediakan imajinasi Indonesia, yang bisa berlaku sepanjang masa, melalui lagu "Nyiur Hijau”. Dalam salah satu liriknya, Maladi menuliskannya dengan sangat indah:
Padi mengembang kuning merayu
Burung-burung bernyanyi gembira
Frasa tersebut merupakan tantangan yang dihadapi generasi milenial kelak, apakah imajinasi Maladi masih bisa dipertahankan pada 2045. Palagan perjuangan memang menjadi berbeda dibanding generasi sebelumnya, mengingat dampak krisis iklim acapkali di luar perkiraan masyarakat umum. Namun dengan segenap potensi mereka di bidang sains dan teknologi, generasi milenal masih bisa menatap imajinasi Maladi dengan nada optimistis.
Memperkuat narasi
Sebagaimana Maladi yang menggunakan medium musik untuk menggambarkan citra Indonesia, demikian juga dengan isu perubahan iklim. Narasi iklim generasi milenial di tanah air banyak terinspirasi oleh para influencer, antara lain kelompok musik pop dari Korea Selatan (K-pop), seperti BTS (Beyond the Scene) dan Blackpink. Dua kelompok ini sejak lama dikenal berada dalam posisi terdepan dalam isu iklim. Bahkan BTS pada September tahun lalu, mendapat kesempatan untuk tampil di panggung yang sangat terhormat, yakni Sidang Majelis Umum PBB di New York. BTS dengan cara memukau mengangkat isu krisis iklim, dengan mengimbau komunitas global untuk sama-sama merawat Bumi.
Dua kelompok musik tersebut memiliki komunitas penggemar dalam jumlah besar dan fanatik, bila BTS sudah melemparkan sebuah isu penting, komunitas penggemarnya di seluruh dunia (berjuluk ARMY) segera bergerak mengikuti. Demikian juga ketika Blackpink meminta, agar komunitas penggemarnya (biasa disebut BLINK) lebih banyak peduli dan mempelajari isu perubahan iklim.
Tentu yang paling fenomenal adalah Coldplay. Setelah dua dekade lebih menjadi bintang di berbagai konser, dengan tiket yang selalu terjual habis, saat merilis album terakhir (Everyday Life), dengan tegas Coldplay mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi melakukan perjalanan konser "jika itu tidak netral karbon". Kabar seperti ini merupakan mimpi buruk bagi promotor di mana pun (termasuk Jakarta), yang selama ini selalu mengandalkan pasokan energi listrik berbasis fosil, baik untuk keperluan panggung dan peralatan konser, termasuk transportasi para penonton.
Cuitan kelompok musik Coldplay terhadap Presiden Joko Widodo menjelang KTT G20 di Roma dan COP 26 di Glasgow (November 2021), agar Presiden Jokowi berinisiatif memimpin dalam menghadapi krisis iklim, telah menjadi trending topic. Cuitan Coldplay bisa dibaca sebagai apresiasi dan kepercayaan terhadap figur Jokowi dan rakyat Indonesia umumnya, untuk tetap komitmen dalam memenuhi Kesepakatan Paris 2105. Sebagai kelompok musik dengan nama besar, dengan fans mayoritas generasi milenial, tentu pengaruh Coldplay sangat besar. Coldplay dalam posisi avant-garde dalam isu perubahan iklim, baik di level opini maupun sebagai penggerak di akar rumput.
Tidak hanya sebatas musisi, nama influencer lain yang harus disebut adalah Gretha Thunberg, aktivis lingkungan belia dari Swedia, dan masih berstatus pelajar sekolah menengah. Gerakan yang digagasnya dikenal dengan tagline "Friday for Future”(sejak tahun 2018), sebuah aksi masif skala global menentang perubahan iklim. Gerakan protes iklim setiap hari Jumat, harus diakui telah menjadi inspirasi bagi generasi milenial di tanah air, dalam membangun kesadaran dan pengetahuan terkait perubahan iklim.
Adalah Jay Subyakto, seniman dan pekerja kreatif yang banyak memberi perhatian terhadap isu perubahan iklim, termasuk ikut membantu publik, bagaimana cara memahami isu tersebut. Seperti yang pernah disampaikan Jay baru-baru ini, bahwa sepuluh tahun lagi darurat iklim akan menjadi masalah terbesar. Jay memberi konfirmasi, soal arti penting ilmu pengetahuan bagi penyelamatan Bumi, salah satunya adalah bagaimana dampak dari naiknya suhu bumi. Artinya, bagi seniman seperti Jay, ia sudah sampai pada pemahaman bahwa ancaman krisis iklim dan pemanasan global adalah berbasis riset, demikian juga dengan mitigasinya
Dampak perubahan iklim bagi sebagian besar masyarakat bisa jadi masih sesuatu yang abstrak. Oleh karenanya diperluhan metode khusus untuk membangun kesadaran bersama. Dalam bayangan saya, para pekerja kreatif di bidang musik dan visual perlu dilibatkan. Acapkali terbukti, sebuah isu yang lumayan berat dan abstrak, setelah dikemas ulang melalui lagu dan grafis, langsung terinternalisasi pada masyarakat.
Mungkin kita masih ingat ketika kelompok musik asal Bandung The Rollies, pada sekitar tahun 1978 merilis tembang "Kemarau” (karya Titik Puspa) yang menarasikan pesan lingkungan. Lagu itu seolah memberi ramalan apa yang terjadi saat ini, ketika pemanasan global benar-benar terjadi. Fenomena krisis iklim sejatinya sudah dilihat musisi sejak lama, bahkan jauh sebelum Protokol Kyoto (1997), yang dianggap sebagai tonggak perhatian global atas isu perubahan iklim.
Untuk kelompok musik atau musisi Tanah Air kiwari, yang dianggap konsisten mengangkat isu lingkungan adalah Efek Rumah Kaca (ERK) dan Iwan Fals. ERK dari segi namanya saja sudah terdeteksi, bahwa kelompok ini secara sadar mengasosiasikan dirinya dengan isu lingkungan. Namanya mengingatkan kita dengan istilah gas rumah kaca (GRK), faktor penentu dalam pemanasan global saat ini dan masa mendatang.
Antara gagasan dan implementasi
Merujuk kembali Jay Subyakto, dalam hal perkiraan bencana eskalasi tinggi, ilmu pengetahuan mendapat posisi penting, karena semuanya berbasis riset. Demikian juga dalam mitigasi penyelematan Bumi sebagai dampak pemanasan global, prosesnya juga berbasis riset. Dalam konteks pengetahuan publik di Tanah Air, kini yang dibutuhkan adalah diseminasi informasi terkait perubahan iklim, untuk meyakinkan masyarakat awam soal dampak buruk pemanasan global.
Sebagai komunitas yang diperkirakan paling terdampak, pengetahuan generasi milenial soal krisis iklim bisa dibilang memadai. Salah satunya ditandai dengan kegiatan reguler tahunan, yaitu "Indonesia Youth Climate Summit”. Momen ini menjadi penanda, sudah ada elemen generasi milenial yang ikut mengampanyekan bahaya pemanasan global, dan bagaimana cara menghindarinya.
Selanjutnya pada pertengahan Juli lalu, sejumlah mahasiswa dan aktivis lingkungan mengadakan aksi terkait krisis iklim bertajuk Youth20ccuppy di Jakarta. Salah satu narasi yang muncul dari aksi tersebut adalah: tidak ada waktu lagi untuk memikirkan apakah krisis iklim itu benar atau tidak. Artinya, tanpa kebijakan tegas pemerintah, salah satunya soal transisi energi, masa depan generasi muda akan dipertaruhkan akibat krisis iklim yang kian masif.
Mereka mengajak generasi muda lainnya untuk bersuara dan bergerak bersama memperjuangkan keadilan iklim di Indonesia, terutama di lingkungan tempat tinggal masing-masing. Tanpa perjuangan bersama, kenyamanan yang dirasakan oleh generasi saat ini atau generasi sebelumnya, tidak akan dirasakan oleh generasi di masa depan, artinya ada kesenjangan antargenerasi terkait keberlanjutan hidup di planet ini.
Sebelumnya pada akhir tahun 2021, sejumlah pelajar SMA yang tergabung dalam Koalisi Climate Education Now, menyampaikan petisi kepada Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim, agar pendidikan iklim diintegrasikan dalam kurikulum. Dalam pandangan sejumlah pelajar tersebut, dampak krisis iklim sudah terasa, namun pembelajaran di sekolah untuk membangun kesadaran lingkungan, terbilang minim.
Perhatian pada krisis iklim, lebih khusus lagi soal transisi energi, juga diimplementasikan dalam praktik di lapangan, ketika sejumlah kampus di Tanah Air mengirimkan tim pada kompetisi internasional mobil hemat energi SEM (Shell Eco-Marathon) Asia. Partisipasi dalam SEM, bisa memberikan gambaran bagaimana generasi milenial menaruh perhatian terhadap isu transisi energi, salah satunya dengan mengembangkan inovasi kendaraan hemat energi dan ramah lingkungan. Inovasi ini merupakan kontribusi konkret generasi milenial dalam transisi menuju kendaraan listrik (electric vehicle), mengingat hampir semua moda transportasi di Indonesia masih berbahan bakar minyak (energi fosil).
Praktik langsung dalam pemanfaatan energi terbarukan (renewable energy), juga dilakukan dua bisnis rintisan generasi milenial. Pertama adalah Sinari, yang memasok energi berbasis panel surya bagi sektor agrikultur di pedalaman NTT. Dengan skema pendanaan yang ditanggung bersama antara Sinari dan petani. Sinari memberi pasokan energi, untuk proses produksi komoditas, seperti kacang mede, kopra, dan kacang kenari.
Kedua adalah Sylendra Power di Yogjakarta, yang mengembangkan dan memanfaatkan EBT (energi baru dan terbarukan) di sejumlah komplek perumahan. Usaha mereka sudah melewati tahap kembali modal (BEP), dan sedang menuju pada fase profit, dengan hanya mengandalkan tarif jasa pemeliharaan peralatan, yang sebelumnya telah mereka instal di rumah sejumlah konsumen.
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.