Sebuah survei di Inggris menunjukkan bahwa hampir setengah dari kaum muda lebih suka hidup tanpa internet. Terdengar aneh tetapi kenyataan ini tercermin dalam tren baru.
Akun Offline Club memiliki hampir 530.000 pengikut di Instagram. Hal ini tampak ironis, karena sejatinya Offline Club adalah tentang istirahat dengan sengaja dari media sosial, termasuk Instagram. Menjalankan akun ini terasa aneh, kata ketiga pendirinya, Jordy, Ilya dan Valentijn. Ketiga pemuda asal Belanda ini ingin menggunakan Offline Club untuk "membawa kemanusiaan kembali ke dalam masyarakat yang telah terisolasi dan terpaku pada layar”, seperti yang mereka tulis dalam bahasa Inggris.
Sejak sekitar satu tahun mereka telah menyelenggarakan pertemuan dengan orang-orang yang memiliki keinginan yang serupa, meninggalkan ponsel pintar dan laptop mereka. "Siap untuk meninggalkan ponsel kamu?” demikian bunyi salah satu postingan reel yang disematkan. Tampaknya semakin banyak orang yang bersedia untuk mematikan ponsel mereka - setidaknya untuk jadi bagian dari Klub Offline. Biasanya mereka bisa mematikan ponsel untuk beberapa jam, bahkan untuk beberapa hari. Daripada menatap ponsel terus menerus, orang-orang memilih untuk membaca, bermain gim, membuat kerajinan tangan, atau bersantai. Seperti dahulu kala, ketika belum ada ponsel pintar, begitulah iklan Klub Offline ini.
Konsep dari Belanda ini telah menyebar ke seluruh dunia dalam waktu satu tahun. Amsterdam adalah lokasi pertama Offline Club. Kemudian disusul London, Paris, Milan dan Kopenhagen. Pertemuan ‘offline' semacam ini juga digelar di Jerman. Konsepnya serupa, pertemuan dilakukan di restoran atau klub dan para tamu diminta untuk meninggalkan ponsel mereka di rumah
Yang Tersingkir oleh Ponsel
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi ponsel membuat keseharian kita menjadi lebih mudah. Namun ponsel juga mampu ‘membunuh’ kebiasaan atau sesuatu yang pernah kita kenal dalam keseharian.
Foto: Thomas Trutschel/photothek/imago
Surat dan Kartu Pos
“Ibunda tersayang….” kata pembuka di atas surat atau kartu pos yang kita kenal. Generasi yang terlahir di abad ke 21 mungkin tidak akan mengenal kartu pos atau surat dengan tulisan tangan, selain dari koleksi orangtua mereka. Kecepatan pengiriman informasi lewat ponsel telah mengganti surat atau kartu pos.
Foto: picture-alliance/dpa/D. Ebener
Kamera
10 tahun lalu orang masih bisa bersabar menunggu beberapa hari atau bahkan minggu sampai foto hasil jepretan selesai. Saat ini, satu momen bisa diabadikan dan dinikmati hasilnya hanya dalam hitungan detik. Kini, banyak orang memilih ponsel mungil dilengkapi kamera dan tinggalkan kamera yang besar dan berat, serta seluruh perlengkapannya, di rumah.
Foto: picture alliance/united-archives/mcphoto
Album Foto
Mungkin hanya tinggal kenangan, kumpul bersama keluarga sambil membuka album foto. Kini kita bisa "berkumpul secara online“ untuk melihat foto perayaan keluarga. Lewat layanan album online, di manapun, Anda bisa melihat foto pernikahan saudara Anda… namun sendirian.
Foto: picture-alliance/dpa/Hendrik Schmidt
Walkman
Sampai akhir tahun 90-an, bukan pemandangan yang aneh melihat orang di jalanan berdendang dengan walkman berisi kaset atau CD di tangan. Awal tahun 2000, keberadaan walkman mulai terancam dengan kehadiran MP3 dengan playernya. Dan sekarang semuanya bisa tergantikan dengan ponsel.
Foto: Joost J. Bakker IJmuiden/Creative Commons
Jam Tangan dan Weker
Mungkin fungsi serta keunggulan jam tangan tidak akan tergoyahkan dengan kehadiran ponsel. Namun untuk banyak orang, ponsel sudah mencukupi bagi mereka untuk mengetahui waktu. Dan dengan ponsel Anda kalau mau setiap kalinya bisa mengganti nada indah untuk membangunkan Anda.
Foto: Fotolia/Fabian Petzold
Kalkulator
Tahun 2000, mereka yang berurusan dengan masalah keuangan pasti memiliki kalkulator. Sekarang, membawa kalkuator, jika sudah punya ponsel, mungkin dianggap terlalu berlebihan.
Foto: picture-alliance/dpa
Catatan
Dalam konferensi pers, dalam sebuah pidato atau dalam sebuah diskusi, sudah jarang kita melihat orang dengan pulpen dan kertas untuk mencatat. Dengan ponsel, semua kejadian atau acara bisa diabadikan, baik secara audio maupun visual.
Foto: Fotolia/THPStock
Jadwal Harian
Buku agenda harian kini sudah jarang ditemukan. Dengan ponsel, jadwal kerja ataupun jadwal kegiatan Anda bisa disimpan… Dan sang ponsel pun akan mengingatkan Anda akan jadwal yang telah tersimpan.
Foto: womue - Fotolia.com
Navigasi
Untuk mencari satu lokasi, dulu orang mengandalkan peta dan juga orang-orang yang ditemui di jalan. Dengan ponsel di tangan, Anda tidak membutuhkan peta dan tidak perlu juga untuk menyapa orang dan menanyakan arah ke mana Anda harus berjalan.
Foto: Fotolia/Luftbildfotograf
Telepon Umum
Sampai tahun 1990an, koin merupakan benda yang masih dicari dan diminati, terutama bagi kaum muda yang ingin bercengkerama dengan kekasih lewat telepon. Kini bilik tempat berbicara jarak jauh ini tidak lagi dapat ditemukan dengan mudah. Jika adapun, hampir tidak ada orang yang memanfaatkannya.
Foto: picture alliance/empics
10 foto1 | 10
Selalu online - suka atau tidak suka
Para pendiri 'Klub Offline' nampaknya sudah mulai muak dengan kebiasaan 'online'. Khususnya kaum muda yang seringkali merasa sulit mematikan ponsel mereka- meski sudah ada pengaturan yang membatasi waktu penggunaan ponsel. Bahkan dirilisnya kembali ponsel lipat ‘jadul' tanpa aplikasi, yang dikenal yang dijuluki ''boring phone'', belum mampu menggeser keberadaan ponsel pintar.
Menurut angka dari asosiasi industri Jerman, bitkom, pada akhir tahun 2024, anak muda berusia 16 hingga 29 tahun menghabiskan lebih dari tiga jam sehari dengan ponsel pintar mereka. Ini berarti mereka memiliki waktu penggunaan tertinggi dari semua kelompok umur lainnya. Dan durasinya mungkin lebih lama lagi.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Studi: Hampir separuh anak muda menginginkan dunia tanpa internet
Banyak anak muda ingin menghabiskan lebih sedikit waktu dengan ponsel mereka. Menurut sebuah survei baru yang dilakukan oleh British Standards Institution (BSI), hampir 70 persen anak berusia 16 hingga 21 tahun merasa lebih buruk setelah menghabiskan waktu untuk bermedia sosial. Oleh karenanya, separuh responden tersebut menerapkan "jam malam digital" yang membatasi akses ke aplikasi dan situs web tertentu setelah pukul 10 malam. 46 persen responden bahkan menyatakan bahwa mereka lebih suka menjadi anak muda di dunia tanpa internet.
Sebanyak 1293 anak muda disurvei untuk penelitian ini. Hasilnya senada dengan survei lain yang dilakukan oleh lembaga jajak pendapat Amerika, Harris Polls, pada akhir tahun 2024, di mana banyak anak muda berharap Tiktok, Instagram, atau X tidak pernah diciptakan.
Iklan
Apa peran politik?
Survei ini mungkin bisa menguntungkan beberapa politisi, meskipun upaya mereka dinilai masih ragu-ragu dalam merespon tuntutan kaum muda. Menurut surat kabar Inggris "Guardian” pada hari Selasa (20/05), Menteri Teknologi Inggris Peter Kyle sedang mempertimbangkan pemberlakuan jam malam digital wajib. Sedang Norwegia ingin menaikkan batas usia pengguna media sosial dari yang 13 menjadi 15 tahun.
Australia menjadi pelopor global setelah menaikkan batas usia pengguna sosial media menjadi 16 tahun dari yang semula 13 tahun, pada akhir tahun 2024. Negara-negara lain, termasuk Denmark misalnya, mengubah kebijakan sekolah dan melarang tablet dan ponsel pintar hampir sepenuhnya di sekolah. Menurut Menteri Pendidikan Denmark, Mattias Tesfaye, pada tahun 2024, orang-orang terlalu naif dengan pendekatan digitalisasi.
Jerat Hukum Kasus Cyberbullying di Berbagai Negara
Berdasarkan laporan UNICEF 2021, sebanyak 45 persen pemuda berusia 14-24 tahun di seluruh dunia pernah mengalami cyberbullying. Lantas, upaya apa saja yang dilakukan sejumlah negara dalam mengatasi perundungan siber?
Foto: Getty Images/China Photos
Indonesia
Pelanggaran cyberbullying diatur dalam UU ITE pasal 27 ayat (3), dengan ancaman penjara paling lama 4 tahun dan atau denda maksimal Rp750 juta. Jika kasus perundungan siber terjadi pada anak-anak, pelaku bisa dijerat dengan UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal 80, dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan atau denda paling banyak Rp72 juta.
Foto: Iman Baruna/DW
Malaysia
Badan keamanan siber nasional (Cybersecurity Malaysia), di bawah Kementerian Komunikasi dan Multimedia (KKMM), menerima 6.598 pengaduan publik terkait cyberbullying dari tahun 2020 hingga Juli 2021. Meski belum ada undang-undang yang disahkan, korban perundungan siber dapat melaporkan kasusnya ke polisi atau membawa kasusnya ke KKMM. Pelaku bisa diancam hukuman penjara dan denda hingga RM50.000.
Foto: Malaysia Tourism Promotion Board
Singapura
Undang-undang perlindungan dari tindak pelecehan (POHA) Singapura diberlakukan sejak 2014, dirancang khusus untuk kasus penindasan, penguntit, dan pelecehan baik online maupun di kehidupan nyata. Jika terbukti bersalah, pelaku akan dikenai denda hingga S$5.000 dan atau hukuman penjara hingga enam bulan.
Foto: picture-alliance/robertharding/G. Hellier
Australia
Menurut Australian Cybercrime Online Reporting Network, hukuman atas tindak pelecehan dan penindasan online yang serius diatur dalam KUHP 1995, dengan hukuman maksimum tiga tahun penjara atau denda lebih dari $30.000. Selain itu, otoritas juga mengembangkan aplikasi Take a Stand Together dalam mengatasi masalah cyberbullying di kalangan siswa sekolah.
Foto: I. Schulz/McPHOTO/blickwinkel/IMAGO
Jepang
Berlaku sejak Juli 2022, pelaku cyberbullying di Jepang menghadapi hukuman penjara hingga satu tahun atau denda yang lebih berat hingga 300.000 yen. Sebelumnya, pelaku dikenai penahanan selama 30 hari dan atau denda kurang dari 10.000 yen. Limitasi kasus cyberbullying yang diterima korban juga diperpanjang, dari yang semula satu tahun menjadi tiga tahun.
Foto: KAZUHIRO NOGI/AFP/Getty Images
Korea Selatan
Data Statista menunjukkan 234 ribu kasus cyberbullying dilaporkan ke polisi Korea Selatan pada 2020, menandai peningkatan sekitar 54 ribu kasus hanya dalam satu tahun. Belum ada undang-undang khusus untuk menindak perundungan siber. Pihak berwenang juga mengaku sulit untuk menyelidikinya karena kurangnya kerja sama dengan platform utama seperti YouTube dan Instagram.
Foto: Ed Jones/AFP/Getty Images
Amerika Serikat
Tidak ada undang-undang federal yang secara khusus menangani perundungan siber, tetapi setiap yurisdiksi menangani tindakan intimidasi secara berbeda. Namun, terdapat aplikasi seperti Kindly yang mampu mendeteksi cyberbullying pada tahap awal dengan memanfaatkan Artificial Intellegence (AI). (ha/vv) (Berbagai sumber)
Foto: picture-alliance/J. Schwenkenbecher
7 foto1 | 7
Merasa depresi karena ponsel?
Penggunaan ponsel yang berlebihan kini dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan, stres, gangguan tidur, dan perilaku adiktif. Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan awal tahun 2025 pada jurnal BMC Medicine, menunjukkan bahwa gejala depresi menurun 27 persen setelah tiga minggu mengurangi penggunaan ponsel pintar. Menurut OECD, kesehatan mental anak muda telah memburuk secara dramatis selama 15 tahun terakhir. Tren ini semakin meningkat akibat pandemi. Periode ini telah mencatatkan peningkatan besar penggunaan media. Namun, menurut OECD, penelitian belum dapat membuktikan hubungan sebab-akibat yang jelas antara perkembangan tersebut.
Para pendiri klub offline ingin mengambil tindakan sekarang dan memperluas pertemuan mereka. Pada sebuah pertemuan di London pada awal April, lebih dari 1.000 orang mematikan ponsel mereka dan tersenyum gembira pada kamera. Sebuah rekor baru, yang dengan bangga dikatakan para pendirinya - tentu saja di instagram.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman