Generasi Muda Afrika Perlahan Mengubah Budaya Politik
Tina Gerhäusser
16 Desember 2024
Pemuda di Afrika tertarik tinggal di kota-kota besar dan jalanan. Banyak yang tinggal di permukiman dalam kondisi memprihatinkan. Bagaimana peran mereka dalam politik?
Iklan
Ada dua tren yang akan membentuk masa depan Afrika: pesatnya pertumbuhan perkotaan dan jumlah penduduk berusia sangat muda. Sekitar 70 persen penduduk benua ini berusia di bawah 30 tahun. Dan pada tahun 2035, sebagian besar penduduk akan tinggal di perkotaan.
Titus Kaloki, koordinator program Just Cities dan program politik di Friedrich Ebert Foundation (FES) di Kenya, menilai hal ini bisa mengubah situasi politik. FES adalah organisasi Jerman yang terafiliasi dengan Partai SPD yang saat ini berkuasa di Jerman.
Kaloki datang ke Berlin untuk menghadiri lokakarya FES tentang partisipasi politik di kota-kota di Afrika dan peran generasi muda.
Di Berlin, ia memamerkan foto-foto keberhasilan protes politik oleh Gen Z, yaitu generasi yang lahir antara tahun 1995 dan 2010. Salah satunya yakni ketika pemuda Kenya di Ibu Kota Nairobi berhasil memaksa Presiden William Ruto untuk menghentikan kenaikan pajak atas roti, minyak, dan bensin di pertengahan tahun, dan merombak kabinet.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
"Mereka berhasil mengungkap permasalahan rumit seperti undang-undang perpajakan atau dokumen hukum dengan menjelaskannya secara terang dan menerjemahkannya ke dalam berbagai bahasa," Kaloki memuji.
Pada protes tersebut, tidak ada organisasi pusat atau tokoh terkemuka. Mobilisasi politik terjadi berdasarkan isu-isu dan didasarkan pada saluran-saluran teknologi baru.
GenZ perkotaan semakin sadar untuk berbagi koneksi politik dengan rekan-rekan mereka di pedesaan. Gerakan ini terus berkembang "dari reaktif menjadi proaktif."
Iklan
Skeptis terhadap proses demokrasi formal
"Kita akan melihat lebih banyak protes dalam beberapa dekade mendatang,” kata Lena Gutheil, asisten peneliti dalam proyek penelitian dan konsultasi Megatrends Africa di Institut Pembangunan dan Keberlanjutan Jerman (IDOS). Ia terpesona dengan urbanisasi, perubahan demografis, dan partisipasi politik di benua tersebut.
Menurutnya, kaum muda perkotaan di Afrika sangat kecil kemungkinannya untuk memilih dan jarang bergabung dengan partai politik. Karena itu, mereka kurang memanfaatkan bentuk-bentuk partisipasi demokratis formal.
Sebaliknya, mereka lebih memilih melakukan protes. Ada juga rasa frustrasi di balik hal ini, kata Gutheil, karena hanya satu dari enam generasi muda yang memiliki pekerjaan tetap.
Darfur: Tanah Tumpah Darah
Jutaan manusia terbuang di negeri sendiri. Perang saudara di Darfur perlahan menggerogoti Sudan yang kenyang konflik. Fotografer perempuan AS, Adriane Ohanesian mengabadikan kengerian perang lewat gambarnya
Foto: A. Ohanesian
Keberanian Perempuan
Fotografer perempuan AS, Adriane Ohanesian menyelami perang saudara di selatan Sudan hingga ke Darfur. Untuk keberaniannya itu ia mendapat penghargaan Anja Niedringhaus 2016. Dalam gambar ini terlihat gerilyawan Sudan Liberation Army pimpinan Abdul Wahid sedang bersiap maju ke medan pertempuran di Darfur.
Foto: A. Ohanesian
Luka Bakar
Adam Abdel, bocah berusia 7 tahun menderita luka bakar akibat serangan udara pemerintah Sudan di rumah keluarganya di Burgu, Darfur. Perang yang dilancarkan Presiden Omar Bashir buat melumat tentara pemberontak sejauh ini telah menelan hingga setengah juta korban jiwa dan membuat tiga juta penduduk menjadi pengungsi di negeri sendiri
Foto: A. Ohanesian
Gua Nestapa
Ratusan perempuan dan anak-anak terpaksa hidup di sebuah gua ketika pemerintah Sudan membombardir wilayah Sarong di Darfur, 2015 silam. Kampanye militer brutal yang dilancarkan pemerintahan di Khartoum saat ini telah memasuki tahun ke duabelas.
Foto: A. Ohanesian
Demi Satu Tujuan
Pemberontak Sudan Liberation Army saat ini terbelah dua, antara grup pimpinan Abdul Wahid al-Nur dan Minni Minnawi. Selain itu SLA juga memiliki tiga grup pecahan yang masing-masing mengemban agenda sendiri. Namun begitu semua fraksi disatukan oleh dorongan untuk membebaskan diri dari pemerintah pusat yang dianggap melakukan genosida terhadap penduduk non Arab di Darfur
Foto: Getty Images/AFP/A. Pungovschi
Berlindung di Balik Batu
Tidak sedikit penduduk yang kemudian menetap di pegunungan di Sudan demi menghindari pertempuran. PBB mendaulat Darfur sebagai krisis kemanusiaan terbesar dalam sejarah modern. Celakanya hingga saat ini tidak ada indikasi konflik akan segera berakhir.
Foto: A. Ohanesian
5 foto1 | 5
"Perasaan tidak menjadi bagian dari masyarakat" telah menyebar, ujarnya. Sekalipun negara memberikan dukungan, perbedaan antara masyarakat di wilayah kaya di perkotaan sangatlah besar.
Demokrasi apa yang bisa berjalan jika perut kosong?
Titus Kaloki mengetahui kehidupan di permukiman marjinal. Menurutnya, hampir 70 persen permukiman ini punya fungsi ekonomi yang penting dan merupakan "pendorong pertumbuhan yang nyata.”
Namun Kaloki mengatakan banyak penduduk di pemukiman ini tidak punya dokumen resmi, sehingga tidak ambil bagian dalam proses politik resmi. Mereka bahkan tidak menghadiri rapat balai kota dan tidak berinteraksi dengan aktor politik lokal.
"Demokrasi harus diwujudkan agar masyarakat lebih yakin bahwa sistemnya berhasil," ujarnya.
Titus Kaloki menekankan betapa pentingnya partisipasi warga dan agar tiap orang terlibat dalam proses tersebut. Selain itu, ada juga kebutuhan akan keadilan penggunaan sumber daya.
"Kami mempraktikkan demokrasi dengan perut kosong," kata Kaloki. Ia juga menambahkan bahwa dialog yang jujur mengenai hubungan yang didekolonisasi harus dilanjutkan.
Lena Gutheil juga sependapat. Ia memandang pemerintah di Afrika mempunyai kewajiban, misalnya dalam hal menyediakan infrastruktur atau barang publik.
Investasi dan pencegahan disinformasi di Afrika
"UE harus memikirkan kembali pendekatannya dalam mendorong demokrasi," ujar Titus Kaloki. Mendorong nilai-nilai demokrasi saja tidak cukup, "yang harus berjalan seiring dengan perencanaan strategis dan penyediaan dana."
Secara khusus, Kaloki membayangkan situasi yang saling menguntungkan seperti ini: Perusahaan Eropa seperti Siemens dapat menggunakan dana UE untuk membangun transportasi umum dengan kecepatan tinggi di Nairobi.
"Hal ini tidak hanya akan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan, tetapi juga membantu menstimulasi perekonomian lokal dan meningkatkan kualitas hidup. Transportasi umum yang lebih baik akan memberikan manfaat bagi banyak orang, karena hampir 40 persen penduduk kota yang berpenduduk lebih dari satu juta orang ini saat ini harus berjalan kaki," kata Kaloki.
Sejarah Kebiadaban Kolonial Jerman
Jejak kolonialisme Jerman sudah banyak dilupakan. Namun kebiadaban pemerintahan kolonial lebih dari seabad silam masih menghantui hingga kini. Inilah penggalan sejarah kelam Jerman yang tak tuntas.
Foto: public domain
'Masa depan di Samudera'
Di Bawah kanselir Otto von Bismarck, Jerman menjajah Namibia, Kamerun, Togo dan sebagian wilayah Tanzania dan Kenya. Warisan Bismarck dilanjutkan Kaisar Wilhelm II (gambar) dengan membangun armada laut untuk memperluas wilayah kolonial Jerman. Bismarck sebenarnya bukan "pria kolonial." Agresi Jerman dilakukan cuma buat "melindungi rute perdagangan."
Foto: Hulton Archive/Getty Images
Jajahan Jerman
Jerman lalu membeli sejumlah wilayah jajahan di Pasifik, antara lain wilayah utara Papua Nugini, Kepulauan Bismarck, Kepulauan Marshall dan Solomon serta Qingdao di Cina. Sebuah konfrensi negara kolonial Eropa di Brussels tahun 1890 juga menelurkan hak buat Jerman untuk menduduki kerajaan Rwanda dan Burundi. Hingga akhir abad ke-19, perluasan wilayah kolonial Jerman resmi berakhir.
Foto: picture-alliance / akg-images
Manusa Kelas Dua
Populasi "kulit putih" di wilayah jajahan Jerman tidak lain adalah sekelompok kecil warga Eropa yang menikmati berbagai hak dan imunitas. Tahun 1914 sebanyak 25 ribu warga Jerman hidup di wilayah kolonial, hampir separuhnya menetap di Namibia. Sementara 13 juta penduduk lokal dianggap sebagai manusia kelas dua tanpa hak sipil.
Foto: picture-alliance/dpa/arkivi
Genosida Pertama Abad ke-20
Pembantaian terhadap etnis Herero dan Nama di Namibia adalah kejahatan terbesar Jerman di era kolonialisme. Pada pertempuran Waterberg, 1904, pasukan Jerman memblokir akses terhadap air buat pemberontak Herero yang melarikan diri ke gurun Namib. Akibatnya 60.000 orang mati kehausan.
Foto: public domain
Kejahatan yang Terlupakan
Cuma sekitar 16.000 anggota etnis Herero yang hidup setelah pemberontakan gagal. Mereka ditahan di kamp konsentrasi. Hasilnya sebagian meninggal dunia. Hingga kini jumlah pasti korban masih diliputi misteri. Berbeda dengan kejahatan NAZI di Perang Dunia II, Jerman belum pernah membayar ganti rugi atas pelanggaran HAM di era kolonialisme.
Foto: public domain
Alergi Masa Lalu
Antara 1905 dan 1907 berbagai kelompok etnis di wilayah yang kini bernama Burundi, Tanzania dan Rwanda bersatu untuk melawan Jerman setelah penduduk dipaksa menanam kapas untuk diekspor. Sekitar 100.000 pasukan pemberontak tewas dalam perang Maji-Maji. Hingga kini sejarah kelam tersebut jarang dibahas di Jerman. Sebaliknya pemberontakan itu adalah bagian penting dalam sejarah Tanzania.
Foto: Downluke
Reformasi Dernburg
Setelah berbagai perang pemberontakan, Jerman akhirnya merestrukturisasi pemerintahan kolonial untuk memperbaiki situasi penduduk di wilayah jajahan. Bernhard Dernburg (gambar) yang seorang pengusaha itu diangkat sebagai Menteri Kolonial dan menggulirkan reformasi untuk memperbaiki kebijakan Jerman di wilayah jajahannya. Dernburg terutama membidik manfaat ekonomi dari kolonialisme.
Foto: picture alliance/akg-images
Akhir Kolonialisme
Takluk di Perang Dunia I, Jerman lalu menandatangani perjanjian damai di Versailles tahun 1919. Dalam proses negosiasi Berlin harus menarik diri dari semua wilayah jajahannya. Akibatnya kas negara yang hampir kosong akibat perang semakin menciut. Jerman pun memasuki dekade penuh ketidakpastian ekonomi.
Foto: ullstein bild - histopics
Perundingan Alot
Negosiasi seputar pembantaian etnis Herero dan Nama kini memasuki fase tersulir. Jerman masih enggan memberikan uang ganti rugi. Perwakilan Herero akhirnya mengajukan keberatan resmi kepada PBB setelah tidak dilibatkan dalam proses perundingan.
Foto: Dagmar Wöhrl
9 foto1 | 9
Ada banyak ketidakpastian di masa depan. "Saya punya harapan, tapi saya juga khawatir," kata Kaloki. Di satu sisi, warga di Nigeria dan Uganda terinspirasi oleh gerakan protes Gen Z di Kenya dan memulai gerakan protes mereka sendiri "dengan cara yang baik dan demokratis."
"Perhatian yang cermat harus diberikan pada cara gerakan Gen Z melakukan mobilisasi, cara mereka saling berkomunikasi, dan bagaimana mereka melindungi diri dari disinformasi," ia memperingatkan.