1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAfrika

Generasi Muda Afrika Perlahan Mengubah Budaya Politik

Tina Gerhäusser
16 Desember 2024

Pemuda di Afrika tertarik tinggal di kota-kota besar dan jalanan. Banyak yang tinggal di permukiman dalam kondisi memprihatinkan. Bagaimana peran mereka dalam politik?

Ilustrasi mendengarkan radio di Afrika
Menurut survei Afrobarometer, radio adalah sumber berita yang paling umum di Afrika. Sekitar 68% responden mendengarkan radio beberapa kali seminggu, 40% menggunakan media sosial dan internetFoto: Tsvangirayi Mukwazhi/AP Photo/picture alliance

Ada dua tren yang akan membentuk masa depan Afrika: pesatnya pertumbuhan perkotaan dan jumlah penduduk berusia sangat muda. Sekitar 70 persen penduduk benua ini berusia di bawah 30 tahun. Dan pada tahun 2035, sebagian besar penduduk akan tinggal di perkotaan.

Titus Kaloki, koordinator program Just Cities dan program politik di Friedrich Ebert Foundation (FES) di Kenya, menilai hal ini bisa mengubah situasi politik. FES adalah organisasi Jerman yang terafiliasi dengan Partai SPD yang saat ini berkuasa di Jerman.

Kaloki datang ke Berlin untuk menghadiri lokakarya FES tentang partisipasi politik di kota-kota di Afrika dan peran generasi muda.

Di Berlin, ia memamerkan foto-foto keberhasilan protes politik oleh Gen Z, yaitu generasi yang lahir antara tahun 1995 dan 2010. Salah satunya yakni ketika pemuda Kenya di Ibu Kota Nairobi berhasil memaksa Presiden William Ruto untuk menghentikan kenaikan pajak atas roti, minyak, dan bensin di pertengahan tahun, dan merombak kabinet.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

"Mereka berhasil mengungkap permasalahan rumit seperti undang-undang perpajakan atau dokumen hukum dengan menjelaskannya secara terang dan menerjemahkannya ke dalam berbagai bahasa," Kaloki memuji.

Pada protes tersebut, tidak ada organisasi pusat atau tokoh terkemuka. Mobilisasi politik terjadi berdasarkan isu-isu dan didasarkan pada saluran-saluran teknologi baru.

GenZ perkotaan semakin sadar untuk berbagi koneksi politik dengan rekan-rekan mereka di pedesaan. Gerakan ini terus berkembang "dari reaktif menjadi proaktif."

Skeptis terhadap proses demokrasi formal

"Kita akan melihat lebih banyak protes dalam beberapa dekade mendatang,” kata Lena Gutheil, asisten peneliti dalam proyek penelitian dan konsultasi Megatrends Africa di Institut Pembangunan dan Keberlanjutan Jerman (IDOS). Ia terpesona dengan urbanisasi, perubahan demografis, dan partisipasi politik di benua tersebut.

Menurutnya, kaum muda perkotaan di Afrika sangat kecil kemungkinannya untuk memilih dan jarang bergabung dengan partai politik. Karena itu, mereka kurang memanfaatkan bentuk-bentuk partisipasi demokratis formal. 

Sebaliknya, mereka lebih memilih melakukan protes. Ada juga rasa frustrasi di balik hal ini, kata Gutheil, karena hanya satu dari enam generasi muda yang memiliki pekerjaan tetap.

"Perasaan tidak menjadi bagian dari masyarakat" telah menyebar, ujarnya. Sekalipun negara memberikan dukungan, perbedaan antara masyarakat di wilayah kaya di perkotaan sangatlah besar.

Demokrasi apa yang bisa berjalan jika perut kosong?

Titus Kaloki mengetahui kehidupan di permukiman marjinal. Menurutnya, hampir 70 persen permukiman ini punya fungsi ekonomi yang penting dan merupakan "pendorong pertumbuhan yang nyata.”

Namun Kaloki mengatakan banyak penduduk di pemukiman ini tidak punya dokumen resmi, sehingga tidak ambil bagian dalam proses politik resmi. Mereka bahkan tidak menghadiri rapat balai kota dan tidak berinteraksi dengan aktor politik lokal.

"Demokrasi harus diwujudkan agar masyarakat lebih yakin bahwa sistemnya berhasil," ujarnya.

Titus Kaloki menekankan betapa pentingnya partisipasi warga dan agar tiap orang terlibat dalam proses tersebut. Selain itu, ada juga kebutuhan akan keadilan penggunaan sumber daya. 

Di lingkungan miskin seperti di Kuwadzana, ibu kota Zimbabwe, Harare, warga sering kali mendapati infrastruktur dan layanan pemerintah, seperti pusat kesehatan, yang tidak memadai. Foto: JEKESAI NJIKIZANA/AFP/Getty Images

"Kami mempraktikkan demokrasi dengan perut kosong," kata Kaloki. Ia juga menambahkan bahwa dialog yang jujur ​​mengenai hubungan yang didekolonisasi harus dilanjutkan.

Lena Gutheil juga sependapat. Ia memandang pemerintah di Afrika mempunyai kewajiban, misalnya dalam hal menyediakan infrastruktur atau barang publik.

Investasi dan pencegahan disinformasi di Afrika

"UE harus memikirkan kembali pendekatannya dalam mendorong demokrasi," ujar Titus Kaloki. Mendorong nilai-nilai demokrasi saja tidak cukup, "yang harus berjalan seiring dengan perencanaan strategis dan penyediaan dana."

Secara khusus, Kaloki membayangkan situasi yang saling menguntungkan seperti ini: Perusahaan Eropa seperti Siemens dapat menggunakan dana UE untuk membangun transportasi umum dengan kecepatan tinggi di Nairobi.

"Hal ini tidak hanya akan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan, tetapi juga membantu menstimulasi perekonomian lokal dan meningkatkan kualitas hidup. Transportasi umum yang lebih baik akan memberikan manfaat bagi banyak orang, karena hampir 40 persen penduduk kota yang berpenduduk lebih dari satu juta orang ini saat ini harus berjalan kaki," kata Kaloki. 

Ada banyak ketidakpastian di masa depan. "Saya punya harapan, tapi saya juga khawatir," kata Kaloki. Di satu sisi, warga di Nigeria dan Uganda terinspirasi oleh gerakan protes Gen Z di Kenya dan memulai gerakan protes mereka sendiri "dengan cara yang baik dan demokratis."

Namun, Kaloki prihatin dengan otoritarianisme, yang misalnya terjadi di wilayah Sahel di Afrika setelah kudeta militer.

"Perhatian yang cermat harus diberikan pada cara gerakan Gen Z melakukan mobilisasi, cara mereka saling berkomunikasi, dan bagaimana mereka melindungi diri dari disinformasi," ia memperingatkan.

Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Jerman.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait