1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SejarahIndonesia

"Genosida tidak dimulai dengan senjata, melainkan kata-kata“

22 Mei 2023

Dalam diskusi bukunya di Frankfurt, Soe Tjen Marching mengingatkan kaum muda untuk selalu berpikir kritis dan mempertanyakan narasi peristiwa 1965/66 yang dibuat rezim Orde Baru di era Suharto.

Soe Tjen Marching di Frankfurt, 21 Mei 2023
Soe Tjen Marching di Frankfurt, 21 Mei 2023Foto: Hendra Pasuhuk/DW

"Usai peristiwa 1965 banyak mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri kehilangan kewarganegaraanya. Generasi penerus yang seharusnya kembali ke Indonesia untuk mengamalkan ilmunya, harus bertahan di luar negeri", kata Konsul Jenderal RI Acep Somantri ketika membuka acara webinar dan diskusi buku Soe Tjen Marching: "Yang Tak Kunjung Padam - Narasi Eksil Indonesia di Jerman".

Ruang serbaguna di Konsulat Jenderal RI (KJRI) Frankfurt hari Minggu, 21 Mei 2023, dipenuhi  tigapuluhan hadirin, dan diikuti juga oleh banyak peserta lain secara online lewat Zoom. Persatuan Masyarakat Inonesia Frankfurt (Permif e.V.) sebagai penyelenggara mengundang Dr. Soe Tjen Marching, penulis buku dan dosen ilmu sosial di School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London, dan Dr. Willy Wirantaprawira, 84 tahun, salah satu dari eksil Indonesia di Jerman.

Konjen RI di Frankfurt Acep Somantri (kiri) memberi sambutan pada pembukaan diskusi buku. DR. Willy Wirantaprawira (kanan) kehilangan kewarganegaraan Indonesia tahun 1970 dan menjadi eksil di Jerman.Foto: Hendra Pasuhuk/DW

"Saya sudah 16 tahun bertempat tinggal di Frankfurt dan baru kali ini bersahabat dengan Konjen RI yang sangat bersimpati terhadap kami…, korban-korban kejahatan rezim Orba Suharto" kata Willy Wirantaprawira pada awal paparannya pagi itu. Ia adalah salah satu dari ratusan Mahasiswa Ikatan Dinas (Mahid) yang dikirim Indonesia ke luar negeri pada tahun 1950-an sampai 1960-an, antara lain ke Jepang, ke Jerman Barat, dan terutama ke negara-negara Eropa Timur yang menawarkan ratusan beasiswa.

Tahun 1963, sebagai mahasiswa Sospol Unpad Bandung cabang Tasikmalaya, ia mendapat kesempatan untuk menerima beasiswa ke luar negeri. "Maunya saya ke Amerika atau ke Jepang … ternyata ditawarkan belajar ke Uni Soviet," kisahnya. "Saya dari keluarga miskin yang kuliah sambil bekerja di PN Pertani… orang tua saya menasehati 'ke mana saja asal gratis, kesempatan itu jangan disia-siakan'..." Pada 25 September 1963, ia bersama 25 mahasiswa/mahasiswi Indonesia diberangkatkan ke Moskow. Setelah setahun belajar bahasa Rusia, ia kemudian kuliah di Kyiv (sekarang ibu kota Ukraina) jurusan hukum dan hubungan internasional.

Buku "Yang Tak kungjung Padam. Narasi Eksil Politik Indonesia di Jerman" diterbitkan oleh EA Books, Maret 2023Foto: Hendra Pasuhuk/DW, Verlag: Buku Mojok Grup

Perubahan dramatis setelah peristiwa 1965

Peristiwa 30 September 1965 di Jakarta tiba-tiba saja mengubah nasib para Mahid di luar negeri yang sedang menuntut ilmu dan bercita-cita kembali ke tanah air untuk turut membangun negaranya. Awal Oktober 1965 mereka mendengar kabar di media Uni Soviet tentang adanya "kudeta oleh PKI di Indonesia", tetapi informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi sangat sedikit, karena mendengarkan radio asing di Uni Soviet tidak diperbolehkan, kata Willy Wirantaprawira.

Kekalutan politik di Indonesia membuat banyak Mahid yang kehilangan paspornya, karena menolak menandatangani "surat loyalitas" kepada pemerintah RI. Sedangkan mereka yang menandatangani surat itu, termasuk Willy, bisa kembali ke Indonesia setelah tamat belajar, tetapi kesulitan mendapat pekerjaan. Willy Wirantaprawira tamat dengan status "cum laude" dan memang kembali ke Jakarta.

"Baru pada tahun 1968 saya menyadari, bahwa pemimpin RI bukan lagi Sukarno, tapi sudah digeser oleh Jenderal AD Suharto." Para eks Mahid baru menyadari, kehidupan mereka di Indonesia sebagai tamatan luar negeri ternyata menjadi lebih susah, "daripada ketika kuliah di Uni Soviet." Mereka menjalani "screening" di badan intelijen dan kesulitan mendapatkan pekerjaan. Kembali ke Tasikmalaya, suatu malam ia diciduk dan diinterogasi militer setempat. Usai peristiwa itu, ia diam-diam memutuskan untuk berangkat ke Uni Soviet dan melanjutkan program beasiswa tingkat doktoral di Eropa, rencananya di Belanda. Namun karena berbagai kesulitan birokrasi, dia akhirnya mendaftar lagi di Kyiv. Tahun 1970, Kedutaan Besar Indonesia di Moskow mencabut paspornya.

Kisah dan jalan hidup Willy Wirantaprawira diceritakan panjang lebar dalam buku Soe Tjen Marching. Selain itu, dia mewawancarai Waruno Mahdi di Berlin, dan Supardjo yang bulan lalu meninggal. Masih banyak lagi cerita-cerita eksil Indonesia di Jerman yang diceritakan. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia Machfud MD awal Mei lalu pernah menyebut BJ Habibie sebagai salah satu eksil Indonesia di Jerman, yang akhirnya bisa pulang "setelah bertemu Pak Harto." Pernyataan Mahfud MD menggambarkan ketidaktahuan sejarah seorang menteri, yang begitu saja menelan propaganda Orde Baru. "Pernyataan Mahfud sangat menyakitkan bagi para para eksil Indonesia yang dicabut hak-haknya dengan kejam," kata Soe Tjen Marching.

Genosida intelektual

"Para eksil politik, sekalipun diteror oleh kedutaan Indonesia di era Orde Baru, secara sembunyi-sembunyi malah masih berjuang untuk Indonesia," kata Soe Tjen Marching, yang mewawancarai banyak eksil politik di Jerman dan di negara Eropa lain. "Tapi di Indonesia mereka disebut-sebut telah mengkhianati RI. Ini menyedihkan.. Padahal yang dimusuhi para eksil politik bukan Indonesia, tetapi pemerintahan diktator Suharto dan Orde Baru. Mereka itu justru rasa nasionalismenya sangat tinggi.”

Foto: Hendra Pasuhuk/DW

Suharto berhasil "menyamakan dirinya dengan negara", sehingga yang menentang Suharto dianggap menentang negara RI, kata Soe Tjen. "Padahal presiden itu pegawai rakyat, digaji oleh rakyat..". Pemerintahan diktator, tidak hanya di Indonesia, akan berusaha melakukan genosida intelektual, mereka akan membunuh para intelektualnya, ujar Soe Tjen dalam pemaparannya. Tetapi genosida tidak dimulai dengan senjata, melainkan dengan kata-kata. Penggunaan senjata adalah fase lanjutan, setelah propaganda disebarkan oleh rezim dan melekat di kepala sebagian besar orang.

"Di Jerman, Hitler tidak memulai pembasmian Yahudi dengan senjata, melainkan dengan kata-kata, dengan propaganda. Itu juga yang terjadi di Indonesia. Ingatlah itu…", kata Soe Tjen Marching.

Banyak narasi peristiwa 1965 yang dibuat Orde Baru "sangat tidak masuk akal” jelas Soe Tjen. Kalau benar PKI misalnya yang melakukan kudeta lalu gagal, mengapa kudeta yang gagal malah menghasilkan presiden baru? "Kudeta gagal tapi presiden yang berkuasa digeser dan diganti itu „hanya ada di Indonesia, tidak ada di negara lain," tuturnya.

Berbagai kejanggalan narasi peristiwa 1965 itulah yang membuat Soe Tjen tergerak untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Sekarang, dari dokumen-dokumen rahasia CIA yang sudah dibuka untuk publik, terbukti bahwa sejarah yang dulu dia pelajari di sekolah ternyata tidak benar. Pesan Soe Tjen kepada generasi muda: "Karena itu kalian harus berpikir kritis, jagalah itu, jangan berhenti bertanya. Cari dan galilah fakta-faktanya sendiri."

Willy Wirantaprawira secara pribadi hanya punya satu keinginan. "Saya sekarang sudah berusia 84 tahun…Harapan saya hanya satu, jika Tuhan mengizinkan, saya ingin ke Indonesia bukan sebagai turis,” ujarnya lirih. Dia menuntut pemerintah RI mengembalikan kewargenegaraan dia dan kawan-kawannya yang hilang karena dicabut secara sewenang-wenang oleh rezim Orde Baru. (hp/yf)

Soe Tjen Marching: Yang Tak Kunjung Padam. Narasi Eksil Politik Indonesia di Jerman. Penerbit EA Books, Maret 2023. ISBN 978-623-7284-88-8, viii + 332 halaman

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya