1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Georgia Jadi Front Baru Perang Dingin

as14 Agustus 2008

Dampak dari konflik di Kaukasus adalah terbentuknya front baru perang dingin. Rusia hendak unjuk gigi, seperti juga AS mereka dapat melancarkan ofensif militer ke negara yang dianggap menentangnya.

Walaupun disepakati gencatan senjata, tank-tank Rusia masih tetap melakukan patroli di wilayah Georgia.Foto: AP


Berakhirnya pertempuran di Georgia dan kesepakatan gencatan senjata yang amat rapuh dengan Rusia, tetap menjadi sorotan dalam tajuk harian-harian internasional.

Harian independen Perancis Le Monde yang terbit di Paris dalam tajuknya berkomentar :


Sebagai pembenaran aksi militernya di Georgia, PM Rusia Vladimir Putin menuding barat, khususnya AS kembali membentuk front perang dingin. Tapi kini pokok sengketanya bukan perebutan perimbangan kekuatan di dunia. Melainkan apa yang disebut politik kapal meriam, untuk memaksa negara yang lebih kecil menuruti kemauan negara yang lebih besar. Juga di kawasan Kaukasus berlaku hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri. Hanya sialnya, mereka bertetangga dengan sebuah negara adidaya yang galak.


Juga harian Italia La Stampa yang terbit di Turin menulis komentar mengenai munculnya perang dingin baru. Dalam tajuknya harian ini berkomentar :


Kemana arah yang kini hendak ditempuh AS? Informasi dan pesan apa yang dapat dibaca dari permainan politik AS, antara janji kosong dan kenyataan yang terjadi dalam konflik di Georgia? Jika kita mencermati dan berani bertaruh, arah gerakannya walaupun diam-diam tetapi amat jelas, yakni Washington hendak membangun front aktiv perang dingin baru di Georgia. Inilah sinyal serius yang pertama dari kembalinya pertikaian internasional dalam tatanan geo-politik semacam ini, yang sudah diramalkan dan diyakini para pakar politik sejak lama.


Sementara harian AS The New York Times yang terbit di New York mengomentari misi penengahan krisis dari menlu Condoleezza Rice :


Rice jangan ragu untuk mendukung demokrasi di Georgia. Juga harus dicamkan, pemecahan sengketa dengan Rusia tidak akan dapat dilakukan secara militer. Semua kapal perang maupun pesawat tempur AS yang kini dikirim ke Georgia, hendaknya hanya mengangkut bahan bantuan. AS dan Uni Eropa harus mengakui, terlalu lama mengabaikan konflik di Georgia. Presiden Bush mengelus-elus presiden Georgia, Saakashvili ketika ia memprovokasi Moskow. Tapi lepas tangan ketika Putin menggempur Georgia.


Dan terakhir harian Jerman Tagesspiegel yang terbit di Berlin menulis komentar yang mempertanyakan peranan AS khususnya menlu Condoleezza Rice dalam konflik di Georgia :


Presiden Bush menebar sejuta janji di Tiblisi, bahwa AS akan tetap berada di samping Georgia, apapun yang terjadi. AS menggelar manuver militer bersama, mengirim penasehat militer dan memasok senjata. Semua itu membuat presiden Georgia Saakashvili yang pro-AS menarik kesimpulan keliru yang amat fatal. Juga Washington tidak berupaya menghentikan langkah keliru tsb. Bush memang presiden AS terburuk selama sejarah negara itu. Tapi dimana pakar Uni Sovyet, menlu Condoleezza Rice pada saat krisis itu memuncak? Ia tidak terlihat dan tidak terdengar. Pokoknya tidak ada strategi apapun. Apa yang dikehendaki AS di kawasan yang jauhnya ribuan kilometer dari wilayah kedaulatannya? Menanam pengaruh di Georgia? Tapi untuk apa? Apakah hanya untuk berbisnis?