1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikIsrael

Gereja di Yerusalem Khawatirkan Serangan Ekstremis Yahudi

3 Februari 2023

Sejak koalisi religius ultra-nasionalis berkuasa di Israel, serangan kaum ekstremis Yahudi terhadap rumah ibadah Kristen dan Katolik meningkat drastis. Keuskupan di Yerusalem mengkhawatirkan eskalasi kekerasan.

Misa Natal di Yerusalem
Misa Natal di sebuah gereja di YerusalemFoto: Mussa Issa Qawasma/REUTERS

Insiden yang mengawali maraknya gelombang tindak kebencian terhadap Kristen terjadi 1 Januari lalu, dimana sebanyak 30 makam Kristen dirusak oleh dua orang remaja ekstremis Yahudi. Aksi pengrusakan itu terekam oleh kamera pengawas.

Doron Turgeman, Kepala Kepolisian Yerusalem, sempat menawarkan bantuan ongkos perbaikan kepada pihak gereja.

"Setiap tindak pengrusakan situs keamanaan adalah kejahatan berat dan merusak kualitas hidup di Yerusalem yang sensitif dan unik, dan menaungi semua agama dan tradisi,” kata Turgeman

Kasus paling anyar, adalah penangkapan seorang ekstremis Yahudi yang juga warga Amerika Serikat oleh kepolisian Israel, Kamis (2/2) kemarin, setelah melakukan vandalisme di Gereja Pencambukan di Yerusalem. Dia dituduh menjatuhkan patung Yesus dan merusaknya dengan palu.

Saat ditahan, tersangka terdengar meneriakkan "di Yerusalem, kota suci, tidak boleh ada tuhan palsu,” lapor media-media lokal.

Ordo Fransiskan, yang mengelola Gereja Pencambukan, memantau situasi dengan "khawatir” dan secara tegas "mengecam maraknya tindak kebencian dan kekerasan terhadap komunitas Kristen di Israel.”

Hal senada diungkapkan Tor Wennesland, Koordinator PBB untuk konflik di Timur Tengah. Menurutnya, tindak kebencian terhadap minoritas agama di Israel berpotensi meruncingkan situasi keamanan.. 

Grafiti ancaman

Setelah aksi pengrusakan makam pada 1 Januari itu, pada tanggal 11 Januari malam, orang tidak dikenal menyerang kantor pusat Kristen Maronit di Ma'alot, Israel Utara. 

Sehari kemudian, sebuah grafiti bertuliskan "Binasalah kaum Kristen, Arab dan Armenia,” dalam Bahasa Ibrani, muncul di kawasan Armenia di kota tua Yerusalem. 

Pada malam 26 Januari, sekelompok ekstremis Yahudi menyerang toko dan restoran milik warga Kristen di dekat gerbang kota tua Yerusalem. Seperti yang terekam oleh kamera pengawas, mereka melemparkan kursi dan meja, serta menyerang penduduk lokal dengan semprotan merica.

"Polisi baru datang setelah kerusuhan berkecamuk selama satu jam", keluh perwakilan gereja.  

Beberapa hari kemudian, sekelompok pemuda Armenia mengaku diserang ekstremis Yahudi di depan kantor gereja. Ketika militer akhirnya turun tangan untuk merelai perkelahian, mereka malah menindak dan mengusir para pemuda Armenia.

Lemahnya pengakuan bagi gereja

Gelombang kekerasan di Yerusalem mendorong gereja untuk meningkatkan kewaspadaan. Pengrusakan terhadap gereja dan pemakaman menunjukkan kebencian terhadap Kristen, tulis pemimpin gereja-gereja Yerusalem dalam sebuah keterangan pers.

Mereka juga mengimbau damai sebagai respons atas pertumpahan darah di Tepi Barat Yordan dan serangan terhadap sebuah sinagoga di Yerusalem baru-baru ini. 

Keuskupan Yerusalem juga mendesak agar kota suci tiga agama itu "tidak boleh menjadi sandera kelompok-kelompok radikal,” dan merujuk pada serangan terhadap gereja sebagai "tindak kekerasan atas nama agama.”

"Serangkaian insiden ini membahayakan relasi dan toleransi kepada minoritas agama,” kata Nikodemus Schnabel, penghuni Biara Dormitio milik Ordo Santo Benediktus di kota tua Yerusalem. 

"Di masa lalu, memang terkadang ada insiden, di mana pemuka agama Kristen diludahi di kawasan Yahudi di kota tua. Tapi hal itu tidak terjadi setiap hari,” lanjutnya. Sekarang, tidak jarang dia mendengar ujaran "pulanglah ke Italia” dari warga Yahudi.

Maraknya insiden kebencian terhadap kaum Kristen di Yerusalem antara lain disebabkan lemahnya status hukum gereja di Israel, keluh Uskup Perbattista Pizzaballa belum lama ini. "Kami tidak punya tempat untuk mengadu di pemerintahan,” ujarnya. (rzn/as)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait