Pusat Gereja Katolik Vatikan hari Kamis (2/8) mengumumkan akan mendesak abolisi hukuman mati di seluruh Dunia. Paus Fransiskus menyebut hukuman mati penyangkalan terhadap martabat manusia.
Iklan
Pernyataan yang dikeluarkan Vatikan hari Kamis (2/8) merupakan perubahan mendasar dalam doktrin Gereja Katolik. Karena ini merupakan perubahan doktrin Gereja Katolik dalam menanggapi praktek hukuman mati.
Perubahan itu muncul dari keyakinan Paus Fransiskus, bahwa hukuman mati menyangkal martabat yang melekat pada semua manusia.
Karena itu, isi Katekismus Gereja Katolik akan direvisi dan diperbarui untuk mencerminkan perubahan pandangan itu.
"Konsekuensinya, gereja mengajarkan, dalam terang Injil, bahwa hukuman mati tidak dapat diterima karena itu adalah serangan terhadap martabat manusia yang tidak dapat diganggu gugat, dan gereja bekerja dengan tekad untuk penghapusannya di seluruh dunia," demikian disebutkan dalam Katekismus Gareja Katolik yang sudah irevisi.
Tahun lalu, Paus Fransiskus sudah mengumumkan niatnya untuk secara resmi mengubah doktrin gereja tentang hukuman mati. Dia mengatakan hukuman mati adalah pembunuhan sukarela terhadap seorang manusia, padahal seorang manusia "selalu suci di mata Pencipta."
Perubahan doktrin gereja
Selama berabad-abad, Gereja Katolik dengan sekitar 1,2 miliar anggota memang memungkinkan hukuman mati dalam kasus ekstrim. Namun posisi ini mulai berubah di bawah pimpinan almarhum Paus Yohanes Paulus II, yang meninggal tahun 2005.
Vatikan sekarang mengatakan telah mengubah isi Katekismus Gereja Katolik untuk mencerminkan penentangan oposisi total Paus Fransiskus terhadap hukuman mati.
Entri baru dalam Katekismus sekarang menyebutkan, "hukuman mati tidak dapat diterima karena itu adalah serangan terhadap martabat manusia yang tidak dapat diganggu gugat", mengutip sebuah pidato Paus Franciskus.
Ketentuan baru ini diperkirakan akan mendapat tentangan keras dari umat Katolik di negara-negara seperti Amerika Serikat, di mana banyak umat Katolik mendukung hukuman mati.
Perubahan terbaru itu disahkan oleh Kongregasi Ajaran Iman, yang merupakan badan yang bertanggung jawab untuk menyebarluaskan dan membela doktrin Katolik.
Jokowi dan Ilusi Hukuman Mati
Presiden Jokowi menggunakan hukuman mati sebagai jurus andalan dalam perang melawan narkoba. Padahal berbagai studi ilmiah membuktikan hukuman mati tidak mampu menurunkan angka kejahatan. Oleh Rizki Nugraha
Foto: Reuters/Romeo Ranoco
Keyakinan Jokowi
Gigih cara Presiden Joko Widodo membela hukuman mati. Indonesia berada dalam darurat narkoba, dalihnya, meski angka kematian akibat narkoba jauh lebih rendah ketimbang rokok atau akibat kecelakaan lalu lintas. Tapi realitanya hukuman mati adalah hukum positif di Indonesia dan dia yakin, membunuh pelaku bisa menciptakan efek jera buat yang lain. Benarkah?
Foto: Reuters/Olivia Harris
Pepesan Kosong
Studi ilmiah di berbagai negara menyebutkan sebaliknya. Hukuman mati tidak serta merta mampu mengurangi kriminalitas. Sebuah penelitian di Amerika Serikat oleh American Civil Liberties Union bahkan menemukan negara bagian yang menerapkan hukuman mati justru mengalami peningkatan tindak kriminal. Kepolisian AS juga menganggap eksekusi mati sebagai cara paling tidak efektif memerangi kriminalitas
Foto: picture-alliance/AP Photo/K. Sato
Jagal Paling Produktif
Hukuman mati di Indonesia adalah peninggalan era kolonial Belanda. Rajin diterapkan oleh Suharto buat melenyapkan musuh politiknya, hukuman mati kemudian lebih banyak dijatuhkan dalam kasus pembunuhan. Pada era Jokowi pemerintah aktif menggunakan hukuman mati terhadap pengedar narkoba, jumlahnya lebih dari 60 eksekusi, baik yang sudah dilaksanakan atau masih direncanakan.
Cacat Keadilan
Sejak menjabat presiden 2014 silam, Jokowi telah memerintahkan eksekusi mati terhadap lebih dari 60 terpidana. Celakanya dalam kasus terpidana mati Pakistan, Zulifkar Ali, proses pengadilan diyakini berlangsung tidak adil. Ali diklaim mengalami penyiksaan atau tidak didampingi penerjemah selama proses persidangan, tulis Jakarta Post.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Nagi
Bantuan dari Atas
Terpidana mati lain, Freddy Budiman, bahkan mengklaim mampu mengedarkan narkoba dalam skala besar dari dalam penjara berkat bantuan pejabat di kepolisian dan Badan Narkotika Nasional. Sejauh ini tidak satupun pejabat tinggi kepolisian yang pernah diselidiki terkait tudingan semacam itu.
Foto: Getty Images/AFP/B. Nur
Pendekatan Keamanan
Kendati terbukti tidak efektif, pemerintahan Jokowi menjadikan hukuman mati sebagai ujung tombak dalam perang melawan narkoba. Ironisnya pemerintah terkesan belum serius menyelamatkan pengguna dari ketergantungan. Saat ini BNN cuma memiliki empat balai rehabilitasi di seluruh Indonesia.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Irham
Solusi Buntu
Menurut BNN, tahun 2011 kasus penyalahgunaan narkoba mencapai hingga 2,8 juta orang. Angka tersebut naik sebesar 0,21 persen dibandingkan tahun 2008. Tapi kini tingkat penyalahgunaan narkoba diyakini meningkat menjadi 2,8 persen alias 5,1 juta orang. Padahal hukuman mati sudah rajin diterapkan terhadap pengedar narkoba sejak tahun 2004.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Uang Terbuang?
Terlebih eksekusi mati bukan perkara murah. Untuk setiap terpidana, Polri menganggarkan hingga 247 juta, sementara taksiran biaya versi Kejaksaan Agung berkisar di angka 200 juta. Artinya untuk 60 terpidana mati yang telah atau masih akan dieksekusi, pemerintah harus mengeluarkan dana hingga 15 milyar Rupiah.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/S. Images
Geming Istana
Beberapa pihak bahkan mengatakan satu-satunya yang berhasil dicapai Jokowi dengan mengeksekusi mati pengedar narkoba adalah memancing ketegangan diplomasi dengan negara lain. Namun begitu Jokowi bersikeras akan tetap melanjutkan gelombang eksekusi mati terhadap terpidana narkoba.