1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Gereja Katolik Jadikan Pajak Dasar Pelayanan

Ole Kämper27 September 2012

Sebuah pengadilan Jerman memutuskan, warga beragama Katolik harus membayar pajak gereja, jika mereka ingin terlibat dalam aktivitas religius, atau mendapat pelayanan gereja dalam bentuk apapun.

ARCHIV - ILLUSTRATION - Ein Mann verlässt am 22.12.2010 die katholische Kirche St. Johann in Bremen. Das Bundesverwaltungsgericht in Leipzig trifft am 26.09.2012 eine Grundsatzentscheidung zur Kirchensteuer in Deutschland. Es muss entscheiden, ob jemand, der keine Kirchensteuer mehr zahlt, Mitglied der katholischen Kirche bleiben kann - aus Sicht der Kirche ein Ding der Unmöglichkeit. Foto: Ingo Wagner dpa +++(c) dpa - Bildfunk+++
Foto: picture-alliance/dpa

Pengadilan Administratif di kota Leipzig memutuskan Rabu (26/10), warga Jerman tidak dapat tetap menjadi anggota gereja Katolik, jika tidak membayar pajak gereja.

Kasusnya melibatkan seorang profesor pakar hukum agama bernama Hartmut Zapp. Tahun 2007 ia mengajukan gugatan resmi, yang menyatakan ia tidak mau lagi membayar pajak gereja, tetapi tetap memeluk agama Katolik serta menjadi anggota gereja Katolik, dan dengan demikian tetap menerima semua sakramen.

Zapp beragumentasi, menurut doktrin Katolik, keanggotaan dalam gereja ditetapkan berdasarkan keyakinan seseorang, dan bukan karena hubungan finansial seseorang dengan organisasi gereja. Tetapi pengadilan di Leipzig tidak setuju dan memutuskan, bahwa mereka yang keluar dari keanggotaan gereja atas keputusan sendiri, juga tidak boleh menjadi pengurus gereja lagi. Tidak peduli apa alasan mereka untuk keluar dari gereja.

Hartmut ZappFoto: picture-alliance/dpa

Tidak Bayar Pajak, Tidak Dapat Sakramen

Sebelum pengadilan memutuskan hal itu, pengamat telah menyatakan, jika pengadilan mendukung argumentasi Zapp, akan timbul keraguan terhadap seluruh sistem pajak gereja Jerman.

Sistem itu telah berlaku sejak abad ke-19. Semua orang Jerman yang secara resmi terdaftar beragama Katolik, Protestan atau Yahudi diwajibkan membayar pajak gereja sebesar 8% sampai 9% dari pemasukan. Jumlah itu langsung dipotong dari pemasukan oleh kantor urusan pajak, kemudian disalurkan ke gereja sesuai agama orang bersangkutan.

Mereka yang tidak mau membayar pajak gereja, dapat keluar dari keanggotaan dalam gereja dengan membuat pernyataan resmi. Inilah yang dilakukan banyak orang dalam tahun-tahun belakangan ini. Sejak skandal pelecehan seksual terhadap sejumlah anak-anak oleh pastur dan imam Katolik, gereja Katolik Jerman semakin kekurangan anggota.

Uskup Agung Jerman Robert ZollitschFoto: picture-alliance/dpa

Tahun 2011 saja, sekitar 126,000 orang keluar dari keanggotaan di gereja. Jumlah warga Jerman beragama Katolik hampir 25 juta, sementara jumlah seluruh penduduk Jerman 81,844 juta. Semakin kecilnya jumlah anggota gereja Katolik telah lama meresahkan para uskup, karena dari pajak itu, gereja Katolik mendapat pemasukan milyaran setiap tahunnya.

Dekrit Kontroversial

Sebelum pengadilan menjatuhkan keputusannya Rabu lalu, Konferensi Uskup Jerman sudah menimbulkan kontroversi dengan mengeluarkan dekrit, yang memperingatkan warga Katolik yang berhenti membayar pajak. Mereka akan dikeluarkan sepenuhnya dari aktivitas religius.

Walaupun mereka tidak sepenuhnya dikeluarkan dari gereja Katolik, umat tidak diperbolehkan ikut serta dalam banyak aktivitas gereka. Kaum Katolik yang tidak membayar pajak tidak boleh lagi mendapat sakramen, kecuali sakramen terakhir yang diberikan sebelum seseorang meninggal dunia.

Mereka juga tidak boleh ikut dalam pengakuan iman, perjamuan suci dan penguatan. Selain itu mereka dilarang bekerja di gereja dan sekolah-sekolah atau rumah sakit milik gereja. Mereka tidak diijinkan menjadi wali pada sakramen permandian atau ikut serta dalam aktivitas paroki.

Gambar simbol gereja KatolikFoto: DW

Kritik Reformer terhadap Konferensi Uskup Jerman

“Ini menjadi pemotongan drastis bagi status seseorang dalam gereja,” demikian dikatakan Klaus Lüddicke, seorang pakar hukum gereja dari Münster dalam wawancara dengan Deutsche Welle. “Seseorang jadi hampir tidak punya kemungkinan untuk aktif,” ditambahkannya.

Tetapi ia menekankan, gereja Katolik tidak sepenuhnya menutup pintu bagi mereka yang memilih untuk meninggalkan gereja. “Orang tetap boleh menghadiri misa,” kata Lüddicke. Tetapi tidak bisa mendapat sakramen perjamuan suci, demikian ditambahkannya.

Gereja ‘Sia-Siakan Kesempatan'

Setelah meninggal, mereka yang tidak membayar pajak gereja tetap mendapat pelayanan penguburan, karena itu biasanya diatur pemerintah setempat dan bukan gereja. Tetapi penguburan secara Katolik yang dipimpin pastur tidak diperbolehkan.

Keputusan itu telah menyulut kemarahan banyak anggota gereja Katolik yang liberal dan mendukung reformasi. Larangan penguburan secara Katolik tidak bisa diterima, demikian pendapat Sigrid Grabmeier, juru bicara gerakan reformasi dalam gereja Katolik, “We are Church”.

Gereja Katolik terbesar di Köln, Kölner DomFoto: DW/F.Görner

Ia menambahkan, bimbingan spiritual sangat dibutuhkan terutama oleh keluarga yang ditinggalkan. Grabmeier juga menekankan, “Gereja menyia-nyiakan banyak kesempatan untuk merangkul warga dan menyertai orang yang sedang menghadapi kesulitan,” kata Grabmeier.

Sedikit Keringanan

Taman kanak-kanak Katolik, rumah jompo, sekolah dan rumah sakit tetap terbuka bagi mereka yang meninggalkan keanggotaan di gereja. Karena banyak dana institusi ini berasal dari pembiayaan publik, dan bukan dari pajak gereja, walaupun dijalankan oleh gereja.

Di masa depan, mereka yang mempertimbangkan untuk meninggalkan gereja juga akan diundang untuk bertukar pikiran dengan pastur yang bertugas di parokinya. Gereja Katolik tampaknya tidak bersedia sepenuhnya melepaskan mereka yang bermaksud keluar dari gereja.