Gletser Jerman Diprediksi Habis Mencair dalam 10 Tahun
30 April 2021
Lima gletser Jerman yang berada di Pegunungan Alpen Bayern diprediksi mencair lebih cepat dan hancur dalam kurun 10 tahun, demikian diungkapkan para ahli. Mencairnya gletser akan berdampak pada naiknya permukaan laut.
Iklan
Ilmuwan gletser Christoph Mayer mengatakan lima gletser di Bayern telah mencair dan hanya tersisa 124 hektar es, setara dengan 36 lapangan sepak bola. Luas gletser saat ini 88% lebih sedikit dibandingkan dengan kondisi sekitar tahun 1850.
Meski kecil, nasib mereka sebagai indikator iklim "sangat penting," kata Mayer.
Di antara sisa-sisa es yang hancur itu, termasuk dua gletser Schneeferner yang menyelimuti puncak tertinggi Jerman, Zugspitze, dengan lapisan utara yang lebih tebal dilaporkan mencair sebanyak 250 liter setiap 30 detik. Gletser Schneeferner di Pegunungan Alpen Bayern adalah gletser tertinggi dan terbesar di Jerman.
"Gletser Alpen terakhir Bayern bisa hilang hanya dalam 10 tahun," kata Menteri Lingkungan Thorsten Glauber dari Partai Pemilih Bebas, mitra junior dalam kabinet koalisi Perdana Menteri Bayern Markus Söder, seraya menambahkan bahwa gletser mencair lebih cepat dari perkiraan sebelumnya.
"Penyebab dan efek timbal balik secara definitif terletak pada perubahan iklim," Mayer menekankan.
Dampak Dahsyat Perubahan Iklim
Perubahan iklim akan membawa efek dahsyat bagi manusia penghuni Bumi. Penerbangan, pelayaran dan aktivitas sehari-hari terancam bahaya berbagai fenomena alam ekstrem dan dampaknya.
Foto: picture-alliance/dpa
Badai dan Petir Makin Intensif
Energi panas beraksi seperti bahan bakar bagi awan badai. Jika temperatur global terus naik, aktivitas badai dan petir akan makin intensif. warga di kawasan badai akan makin menderita. Jumlah kebakaran hutan akibat sambaran petir akan meningkat. Petir ciptakan gas rumah kaca NOx di atmosfir yang secara tak langsung meregulasi gas rumah kaca lainnya, seperti ozon dan methana.
Foto: picture-alliance/dpa
Gunung Es Sumbat Samudra
Gletser di Greenland lumer dan pecah menjadi bongkahan gunung es yang mengapung di samudra Atlantik Utara. Lembaga maritim internasional melaporkan, bulan April 2017 tercatat 400 bongkahan gunung es menghalangi jalur pelayaran. Naiknya temperatur memicu makin banyak gunjung es pecah dan mengapung ke laut terbuka.
Foto: Getty Images/J. Raedle
Aktivitas Vulkanik Meningkat
Sepertinya tidak ada korelasi antara perubahan iklim dengan naiknya aktivitas gunung api. Nyatanya Bumi memiliki dinamika yang sulit diprediksi. Contohnya di Islandia, gunung api dan gletser sudah ko-eksis puluhan ribu tahun. Saat lapisan es setebal 2 km mencair, tekanan terhadap kerak Bumi berkurang dan akibatnya aktivitas vulkanisme dan magmatisme meningkat tajam.
Foto: Getty Images/S. Crespo
Gurun Makin Gersang dan Meluas
Gurun pasir sebetulnya penuh dengan kehidupan. Baik di tingkat bakteria maupun flora dan fauna khas. Tapi jika suhu terus naik, koloni bakteri akan musnah, dan juga flora dan fauna gurun mati. Akibatnya gurun makin gampang dilanda erosi dan terus meluas.
Foto: picture-alliance/Zuma Press/B. Wick
Turbulensi Udara Makin Hebat
Perubahan iklim akibat aktivitas manusia juga memiliki kaitan dengan makin hebatnya turbulensi udara di atmosfir. Penelitian yang dilakukan Universitas Reading, Inggris meenunjukkan, jika kadar karbon dioksida meningkat dua kali lipat, kasus turbulensi udara di jalur penerbangan akan naik sekitar 150 persen. Ini berarti ancaman risiko penerbangan juga meningkat.
Foto: Colourbox/M. Gann
Laut Jadi Keruh dan Pekat
Akibat perubahan iklim, curah hujan meningkat, dan sungai-sungai yang bermuara ke laut makin banyak membawa sedimen lumpur. Laut jadi keruh dan gelap. Fenomena ini sudah diamati terjadi di pesisir Norwegia. Dampaknya banyak flora dan fauna laut tidak lagi mendapat cahaya matahari dan mati.
Foto: imago/OceanPhoto
Manusia Jadi Lebih Mudah Stres
Situasi perasaan manusia juga amat peka terhadap perubahan iklim. Para hali psikologi sosial sejak lama mengamati fenomena makin hangatnya iklim dengan naiknya perilaku impulsiv dan aksi kekerasan. Terutama di negara kawasan khatulistiwa diamati orang makin mudah stres. Juga pemanasan global bisa memicu konflik global, akibat perebutan sumber daya alam seperti air dan bahan pangan.
Foto: Fotolia/Nicole Effinger
Kasus Alergi Makin Parah
Makin hangat Bumi, di belahan Bumi utara musim semi datang lebih cepat dan musim panas tambah panjang. Dampaknya tanaman pemicu alergi makin panjang masa berbunganya. Penghitungan volume serbuk sari pemicu alergi diramalkan naik 2 kali lipat dalam tiga dekade mendatang. Artinya musim alergi juga tambah panjang dan penderitaan penderitanya makin parah.
Foto: imago/Science Photo Library
Hewan Lakukan Evolusi Jadi Kerdil
Hewan kecil, terutama mamalia, populasinya akan berkembang biak dengan cepat. Inilah respons evolusi yang lazim yang terlihat dalam beberapa periode pemanasan global jutaan tahun silam. Di zaman Paleocen hingga Eocen sekitar 50 juta tahun silam, saat suhu Bumi naik sampai 8 derajat Celsius, hampir semua mamalia "mengkerdilkan" diri untuk beradaptasi.
Foto: Fotolia/khmel
Penyebaran Benih Tanaman Terhambat
Yang juga sering diremehkan terkait efek pemanasan global, adalah perilaku serangga, misalnya semut. Riset Harvard Forrest di Massachusetts menunjukkan, semut yang berperan dalam penyebaran benih tanaman, memilih tidak beraktivitas jika suhu naik. Juga kegiatan koloni melakukan sirkulasi nutrisi pada tanah berhenti. Semut akan aktiv lagi jika suhu kembali normal. Editor:Ineke Mules(as/ap)
Foto: CC BY-SA 4.0/Hans Hillewaert
10 foto1 | 10
Studi Bayern ini bertepatan dengan studi global yang diterbitkan pekan ini di jurnal Nature, yang menunjukkan bahwa 220.000 gletser kehilangan 31% lebih banyak salju dan es setiap tahun dibandingkan 15 tahun sebelumnya. Hilangnya lapisan es juga dilaporkan memicu tanah longsor.
Gletser yang mencair berdampak pada 21% kenaikan permukaan laut, dan ini belum termasuk mencairnya lapisan es di seluruh Greenland dan Antartika tidak, kata studi tersebut enam bulan jelang Konferensi iklim PBB berikutnya, COP26, di Glasgow.
Pencairan gletser yang kian cepat, yaitu sebanyak 298 miliar metrik ton es dan salju per tahun setara dengan kita menenggelamkan Swiss di bawah 7,2 meter air setiap tahun, kata ahli glasiologi Zurich, Romain Hugonnet.
Separuh dari hilangnya gletser ini terjadi di Amerika Serikat dan Kanada, dengan mencairnya lapisan es Alaska "termasuk di antara yang tertinggi di planet ini," kata penulis artikel Nature yang dipimpin oleh Hugonnet dari Universitas ETH Zurich.
Bahkan gletser dataran tinggi Tibet juga terpengaruh, berdampak pada jutaan orang yang setiap harinya mencari sumber air di hilir, kata penelitian tersebut. Pencairan itu mencerminkan terjadinya "peningkatan suhu global" akibat pembakaran batu bara, minyak dan gas, kata Hugonnet.
Iklan
Kenaikan permukaan laut
Gletser menjadi "peringatan" krisis iklim, bukan hanya indikator awal perubahan iklim, kata Michael Zemp dari Layanan Pemantauan Gletser Dunia.
"Kenaikan permukaan laut akan menjadi masalah yang lebih besar saat kita melewati abad ke-21," kata Mark Serreze, Direktur Pusat Data Salju dan Es AS, yang menggunakan alat observasi satelit secara ekstensif.