1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Goenawan Mohamad: UU Penistaan Agama Menunjukkan Iman Lemah

12 April 2019

Goenawan Mohamad menilai konsep kekhalifahan adalah ilusi. Dalam Pilpres kali ini dia mengaku akan mengungsi jika Prabowo menang. Kenapa?

Deutschland Leipzig Buchmesse | Goenawan Mohamad
Foto: DW/H. Pasuhuk

DW: Jokowi membawa panji-panji Islam Nusantara buat menghadang ideologi konservatif Islam. Apakah Liberalisme di Indonesia dalam konteks kebebasan individu telah gagal?

Memang kebebasan individu sebagaimana kita lihat di barat belum dihayati secara merata dan saya kira terlalu pagi untuk mengatakan itu tertanam di pikiran orang Indonesia atau tidak, perlu telaah lebih lanjut. Memang tekanan dari lingkungan sangat penting, di Bali terutama. Kemudian ada komunitas-komunitas baru seperti masjid, pengajian yang memberi warna terhadap kolektivitas. Individu dianggap sebagai pengganggu dan barangkali ini warisan dari masa lalu ketika orang hidup dengan membagi kemiskinan. Kemiskinan kan begitu merata sehingga orang harus saling menolong, akibatnya yang dibagi kemiskinan. Misalnya di pertanian, sawah itu digarap oleh lebih banyak orang daripada yang seharusnya, yang disebut involusi agraria. Akhirnya semua orang harus dapat, tapi sedikit-sedikit. Kejiwaaan semacam itu saya kira berlanjut terus. Jadi memang kebebasan individu belum menjadi ide atau model kehidupan.

Bagaimana Anda mendefinisikan sikap politik Anda dan seberapa jauh ideologi Anda berjarak dengan pendukung Jokowi?

Saya tidak tahu pendukung Jokowi satu atau tidak dan apakah Jokowi berlandaskan ideologi? Dia juga seorang pragmatis. Pertama dia merupakan seorang pengusaha dan tukang kayu, tentu saja dia harus banyak bernegosiasi dengan kenyataan. Dia berkata ideologinya Pancasila. Saya tidak tahu apa saya punya ideologi, bagi saya pemikiran harus kreatif, sikap harus kreatif. Ia harus menciptakan sesuatu yang baru dan harus lentur terhadap perubahan yang makin lama makin cepat. Apakah saya pragmatis, apakah saya kiri atau kanan, saya tidak bisa mengatakan. Kiri kanan sudah lewat yah. Bagian utama dari kehidupan sosial adalah keadilan dan kemerdekaan. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Nah bagaimana mengombinasikan hal ini adalah proses yang harus diperkelahikan secara terus menerus. Tapi ada patokan di depan mata kita bahwa itu harus diperjuangkan. Tidak ada rumus, tapi ada panggilan sebetulnya.

Apakah dalam perkembangan demokrasi dan kedewasaan berpolitik di Indonesia, kita kehilangan stimulus dari kelompok kiri sejak ia diberangus pada 1965?

Ya, itu mengherankan, ketimpangan sosial kan tinggi. Jokowi sangat prihatin sebenarnya. Dia pernah mengatakan pada saya ketimpangan sosial di Indonesia itu terburuk setelah Rusia. Karena itu dia ingin mengatasinya lewat pembagian sertifikat dan seterusnya. Dia serius. Mungkin karena dia juga waktu mudanya mengalami ketimpangan itu. Apakah pendukung Jokowi seperti itu? Saya kira tidak semua. Sebetulnya problemnya bukan ideologis. Tapi kalau kita bandingkan dengan Prabowo dalam dua atau tiga debat ini, pertama retorika Prabowo adalah nasionalisme yang agak kuno serupa tahun 1950-an.  Misalnya dia bilang tidak mau impor, semacam Autarki. Kecenderungan Autarki yang di zaman sekarang sudah kadaluarsa. Republik Rakyat Cina saja harus impor kedelai dari Amerika. Prabowo bahkan ingin mencegah impor air. Memangnya kita mau impor air? Itu kan retorika yang agak berlebihan. Yang kedua pandangannya tentang pertahanan. Pandangan Prabowo tentang pertahanan masih tentang perang tahun 1950-an juga, bahkan sebelumnya, yaitu negara bangsa yang saling berperang dan ancaman antar negara bangsa. Sekarang kan tidak terjadi. Dalam hal ini Jokowi lebih maju. Di dalam pidato di depan IMF dia mengatakan ada tiga tantangan yang dihadapi dunia, yaitu perubahan iklim, perang nuklir, kecepatan perubahan teknologi yang mungkin bisa destruktif bagi masing-masing negara. Karena itu yang diperlukan kerja sama internasional, bukan memperkuat perlombaan senjata.

Di mana-mana Populis Kanan sedang menggurita. Ada Donald Trump di AS, Rodrigo Duterte di Filipina, Jair Bolsonaro di Brazil hingga Aliansi Nasionalis Italia atau bahkan Brexit. Kenapa Anda yakin Indonesia kebal terhadap fenomena serupa?

Di Eropa kan ada problem lain, yaitu imigrasi dan kejenuhan atau desilusi dengan persatuan Eropa. Karena banyak keputusan ditentukan di Brussel, sementara resonansinya di tingkat lokal dan nasional tidak ada. Lalu di Eropa ada dua reaksi. Pertama sangat lokal sekali dan lalu nasional. Sekarang reaksi itu menajam. Karena mungkin Uni Eropa tidak lagi mampu memberi inspirasi baru.

Nah Indonesia tidak ada masalah imigran, tidak berada di bawah suatu union supranasional. Maka itu tidak terjadi. Tapi yang terjadi adalah semacam gerakan konservatif dalam kehidupan sehari-hari dan dalam beragama. Tidak hanya di kalangan Islam tapi juga Kristen. Masalah-masalah seperti LGBT menjadi sangat tabu, bahkan sangat riskan untuk dibicarakan. Lalu adanya UU penistaan agama yang menunjukkan aura kecemasan, delusi pada agama. Menunjukkan iman yang lemah. Tapi konservatisme mencerminkan kelemahan iman sebetulnya.

Kenapa ada tren seperti itu, kenapa Indonesia gagal menjadi alat identifikasi diri?

Itu pertanyaan menarik. Kalau kita bandingkan dengan musim semi arab, ia meledak menimbulkan demokrasi dan yang muncul adalah fundamentalis, kecuali di Maroko. Di Mesir muncul lalu ditekan dan ditindas. Di Indonesia justru ketika rezim Soeharto jatuh, suara partai islam dalam pemilu mengecil, PKS tidak besar. Tapi kemudian Revolusi Iran sudah mulai berpengaruh sejak tahun 1970an, bahkan trennya sudah ada ketika ICMI berusaha lebih Islam daripada sebelumnya. Ini bisa dimengerti karena perubahan basis sosial di Indonesia. Tapi kemudian masuknya paham Salafi dari dunia Arab dan mungkin karena kegagalan dari dunia modern memberikan jaminan kebahagiaan pada masyarakat. Dunia modern artinya dunia yang tidak didominasi oleh agama. Mungkin campuran itu semua. Yang pasti tidak ada satu sebab di situ.

Artinya agama akan menjadi semakin penting dalam politik. Bersama Joko Widodo dan Prabowo Subianto kita sedang mencari corak Islam yang akan mendominasi Indonesia. Apakah menurut Anda Islam Transnasional bisa hidup di bawah alam demokrasi dan Pancasila?

Yang disebut Islam transnasional kan Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir hidup dalam ilusi. Ide bahwa tidak ada negara bangsa kan problematis. Bagaimana mendirikan khilafah? Siapa yang mendirikan khilafah? Siapa yang menjadi khalifah? Siapa yang memilih? Mereka berasumsi bahwa masyarakat sudah sempurna, sebaliknya demokrasi berasumsi bahwa masyarakat tidak sempurna. Demokrasi bertolak dari asumsi bahwa manusia baik, tapi juga bisa bersifat jahat. Manusia baik maka bisa memperbaiki keadaannya, dan manusia bisa jahat karena itu perlu dikontrol. Nah kekhalifahan berasumsi bahwa manusia sempurna. Persoalannya apa ada manusia sempurna dan bagaimana menggantinya jika terjadi sesuatu? Itu tidak dijawab oleh Hizbut Tahrir. Semakin tidak bisa dijawab semakin keras. Tapi akhirnya gerakan-gerakan ini menjadi terisolir, apalagi yang mengkafirkan orang lain. Suatu gerakan itu bisa berkembang kalau membuka diri pada kesetaraan dalam satu tujuan. Kalau dunia modern dianggap najis dan harus dilawan maka harus kerja sama dengan yang lain, tapi gerakan ini, terutama Salafi, sangat puritan. Manusia harus murni dan setiap percampuran akan dicurigai, akibatnya kan menutup diri.

Politik pun diganti dengan kekerasan. Karena kekerasan menunjukkan ideologi ketidaksabaran dan ketidaksabaran ideologi. Makin mencemaskan keadaan, makin keras pula mereka. Saya selalu mengutip Edward Said bahwa Imperialisme yang melanda dunia menyebabkan bermacam-macam bangsa bertemu. Lalu timbul reaksi untuk menemukan identitas. Tapi dalam saat yang sama, orang atau kelompok tidak bisa menjadi satu corak saja. Gerakan kemurnian takut pada pengaruh asing, timbul sikap paranoia. Bahkan Islam sendiri kan tidak murni Arab, tidak murni seolah-olah sebelum Islam tidak ada apa-apa. Tawaf, Ka’bah dan bahkan kata-kata dalam Al-Quran ada dari sebelumnya. Jadi ilusi tentang kemurnian akan menyebabkan keterasingan. Contoh paling baru adalah Islamic State. Berbeda dengan komunisme, meski punya penyakit yang sama soal kemurnian ideologi, tapi Komunisme selalu bertolak dari front persatuan nasional. Itu yang dicoba PKI. Jadi ada suatu kerjasama yang membuka diri. Lagipula Komunisme atau Marxisme lebih punya daya tarik universal, artinya masalah keadilan lebih universal dan tidak bertolak dari identitas yang disucikan dari keabadian. Serupa agama yang identitasnya sangat ketat. Marxisme kan variasinya banyak dan semangatnya awalnya bersifat ilmiah, lebih terbuka. Meski di bawah Joseph Stalin menjadi rusak.

Anda mengalami rentang sejarah yang panjang sejak Orde Lama. Bagaimana kira-kira sejarah akan menilai periode pertama pemerintahan Joko Widodo?

Saya tidak tahu bagaimana sejarah akan menilai. Tapi dalam pengalaman saya ada dua presiden yang selalu dikerubuti orang, Soekarno dan Jokowi. Kalau Soeharto kan orang pasti orang takut. Seandainya Gusdur (Abdurrahman Wahid) lebih lama mungkin bisa ke situ. SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) tidak, dia kembali ke tentara yang bersikap formal, cenderung berjarak. Jokowi aneh karena dia tidak karismatik. Orangnya kurus dan sangat biasa. Beda dengan Bung Karno yang berdiri saja sudah angker dan beraura. Tapi memang orang mengerubungi Jokowi. Saya lihat orang-orang menyukai dia. Jokowi melayani itu dengan baik, sabar. Dulu kan ada istilah pemimpin yang bersifat solidarity maker dan administrator. Jadi prototipenya seperti Bung Karno dan bung Hatta. Bung Karno bisa merangsang semangat tapi administrasi berantakan. Jokowi anehnya seperti Bung Hatta tapi lebih punya daya tarik. Ujungnya masyarakat yang memilih. Mungkin dewasa ini masyarakat menginginkan pemimpin yang bisa diakses. Kemudian orang yang benar-benar bekerja dan bersih. Jokowi saya kira memberikan kesan demikian.

Apakah kita berada di persimpangan, antara model pemimpin modern yang ringan dan terbuka dan yang masih bergaya lama?

Selalu ada persimpangan, kan ada Syahrir, Bung Karno. Sekarang polanya tidak jauh berbeda tapi isinya berbeda. Mungkin Jokowi lebih pragmatis, karena perngusaha, menyelesaikan masalah. Saya lihat kurang ada visi, visinya berkembang seiring berjalan. Infrastruktur, dia mulai pandangan penting itu untuk ekonomi dan kesatuan bangsa, untuk keadilan juga. Saya lihat dia paling kena ke keadilan sosial. Tidak banyak bicara. Tapi saat ia berkata kepada saya serius sekali. Sejarah akan mencatat problem kita desentralisasi. Meski ada prestasi lokal seperti di Surabaya, Banyumas. Di Lampung ada yang bagus. Aceh lumayan. 

Tapi kelaparan di Papua juga kesalahan pemerintah daerah, pendidikan yang lemah adalah kesalahan pemerintah provinsi, intoleransi pun demikian

Anda pernah mengangkat isu intoleransi kepada presiden?

Pernah, dia punya ide sendiri. Dia tidak suka, kalau ada tanya ideologi ya Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Saya ke keluarganya, tiga hari yang lalu saya lihat ibunya berdoa demi kemenangan anaknya. Ibunya alim, baca tarekat, panjang. Ada kiai, bahasanya Arabnya fasih, tapi logatnya Jawa. Jokowi bisa shalat, tapi dibilang orang tidak bisa shalat. Dia sangat luwes, lebih cocok ke Nahdlatul Ulama karena ada pengaruh lokal dan Islam menjadi pegangan utama. Kalau dipikir jangan-jangan NU, tapi keluarganya PMI. Di dalam Soeharto intensif, orang yang tidak beragama dianggap komunis. Dulu pramuka harus bisa syahadat, shalat. Saat saya memimpin Tempo, ternyata banyak yang saya kira Islam Abangan ternyata shalat jumat. Bambang Harimurti yang anak tentara juga shalat. Jokowi ketika tahun 1965 baru berusia 5 tahun. Dia tidak dibentuk sepenuhnya oleh kebudayaan Jawa, setiap hari di Solo orang ngomongin itu. Keluarganya bukan priyai. Seperti dia sama anaknya, santai dan egaliter.

Oposisi mengeluhkan pemberangusan kebebasan berpendapat, antara lain lantaran kasus hukum terhadap Ahmad Dhani...

Sayang sekali itu terjadi. Saya tidak setuju Ahmad Dhani diadili, justru dibiarkan saja biar jadi lucu. UU ITE diputuskan oleh parlemen, oposisi juga bertanggungjawab di situ. Tapi kalau kena (UU ITE) teriak. Tapi biarlah. Seperti New York Times tulis, Jokowi menuju otoriter, menurut saya tidak. Melabeli sesuatu tidak mudah, seperti Soeharto adalah rezim militer, menurut saya salah. Rezim militer adalah jika militer menentukan sesuatu tentang politik. Di masa Soeharto semua yang menentukan ya Soeharto, kalau rezim militer ada junta, sementara di ABRI ga ada. Seperti partai sekuler, liberal, meleset. Kiri kanan, apakah Prabowo kiri kalau bicara rakyat. Musolini bicara rakyat, Hitler juga. Hampir kayak seolah-olah Venezuela. Label-label sebaiknya lihat kasus per kasus. Jokowi bisa jadi tidak demokratik jika pengaruh intoleransi menguat, itu kita belum lihat. Masih ada banyak kesempatan untuk merubah itu. Belum selesai politik Indonesia.

Catatan HAM Indonesia di era Joko Widodo belum membaik meski dulu dijadikan alasan untuk tidak memilih capres pelanggar HAM. Apa yang memotivasi Anda memilih Jokowi, karena kinerjanya atau karena mengkhawatirkan kekuasaan Prabowo?

Mula-mula kedua. Waktu dulu saya dukung SBY karena di seberang ada Prabowo sebagai cawapres Megawati. Kemudian saya lihat Jokowi itu bisa saya percaya. Saya pertama ketemu di Solo, saya tidak percaya dia wali kota terbaik. Tapi sebagai contoh masyarakat optimistis. Contoh supir taksi, saya dulu kritik. Terus dia marah ‘ini belum selesai Pak’. Dia melakukan sesuatu dengan baik. Awalnya dia putus asa dengan birokrasi. Begitu besar dan banyak. Pertama dia datang ke kantor banyak orang kerja tapi enggak kerja, akhirnya ada ibu-ibu motong sayur. Dia cari akal di Jakarta bersama Ahok (Basuki Tjahaja Purnama), apa yang bisa dikerjakan, dikerjakan Saat ia jadi gubernur dia bilang dia senang karena uangnya banyak dibandingkan di Solo. Selama ini kan gubernur sebelumnya Fauzi Bowo mengeluh tidak ada uang, kok ini banyak. Buktinya ini banyak, dia beli tanah lalu bangun pasar. Saya pikir ini orang tidak cari-cari alasan. Dia bersih bisa mengatakan uang banyak untuk belanja publik. Saya ikut membangun kota tua, ada investasi dari Cina senilai 3 triliun Rupiah. Kita bisa kok. Ternyata Jakarta besar. Saya rasa orang ini kerja dan bersih. Apalagi melihat anak-anaknya. Mana ada di Indonesia, presiden anaknya jualan martabak dan pisang goreng. Mereka lucu, tidak merasa tinggi. Saya heran itu pendidikannya gimana. Ketika di Solo saya tanya kepada orangtuanya apa yang kalian ajarkan, mereka juga bingung. Rupanya mereka pernah bertanya kepada orangtuanya apa yang boleh dan tidak. Mereka diajarkan agar berbisnis yang ada hubungannya dengan APBD dan APBN.

Jika berandai-andai, sebagai pendukung Jokowi apa yang akan Anda lakukan pada hari kemenangan Prabowo?

Mungkin saya hubungi teman-teman untuk berpikir bagaimana beli pulau, atau pindah ke Bali. Karena menakutkan. Bukan Prabowo-nya, tapi atmosfer yang dibangun karena kebencian. Pilpres kan hanya cari orang yang mau dikontrak lima tahun untuk kerja sebagai kepala negara. Karena agama dan orang seperti Amien Rais, pilpres menjadi soal surga dan neraka, keras sekali dan ini dibumbui dengan kebencian. Saya belum pernah melihat orang difitnah seperti orang memfitnah Jokowi. Misalnya dia umroh, baju ihramnya dibalik pakai photoshop, terus dibilang Kristen PKI. Terus dibilang pekerja Cina ada 10 juta di sini, itu setara penduduk Jakarta. Ngangkutnya bagaimana? Itu menyedihkan. Saya yakin Jokowi bukan pendendam, tapi racun itu kan akhirnya timbal balik. Saya belum pernah melihat Jokowers yang membenci Prabowo seperti Prabowers membenci Jokowi.

Wawancara oleh Rizki Nugraha. Rizki Akbar Putra ikut berkontribusi dalam pembuatan wawancara.

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait