1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PanoramaJerman

Goethe: Bintang Pop pada Masanya

2 Oktober 2024

Jauh sebelum zaman internet, "begawan" sastra Jerman ini memiliki pengikut fanatik di kalangan anak muda karena novelnya sangat digandrungi bagai unggahan di media sosial di masa kini.

Goethe kala muda
Goethe dengan siluet karya Johann Ehrenfried Schumann tahun 1775Foto: akg-images/picture-alliance

Novel karya Johann Wolfgang von Goethe "The Sorrows of Young Werther" merupakan terobosan mendunia bagi penulisnya yang masih berusia 25 tahun kala itu, saat bukunya diterbitkan 250 tahun silam.

Konon, Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte membaca novel itu tujuh kali, dan tidak tertarik membicarakan hal lain selain novel itu, hingga akhirnya ia sendiri berjumpa Goethe.

Kisah cinta yang suram dan penuh malapetaka itu menjadi viral pada masanya, menyentuh hati seluruh generasi muda yang membacanya.

Pria muda terserang 'demam' Werther

Werther adalah tokoh utama novel tersebut. Ia hanya disebut dengan nama belakangnya. Pemuda itu jatuh cinta pada Lotte, yang telah bertunangan.

Seiring perasaan Werther terhadap Lotte semakin dalam, Lotte tetap setia pada tunangannya. Akhirnya Werther tidak dapat melepaskan diri dari obsesinya ini dan memilih untuk bunuh diri.

Goethe adalah anggota gerakan sastra Jerman "Sturm und Drang" atau "badai dan tekanan", gerakan akhir abad ke-18 yang antara lain berfokus pada individu serta ekspresi emosi yang intens.

"Werther" memanfaatkan semangat zaman, dan banyak pria muda khususnya yang berempati dan mengidentifikasi diri dengan sang tokoh utama.

Hal ini diungkapkan, antara lain, dengan meniru gaya yang digambarkan dalam novel tersebut. Profesor sejarah sastra abad ke-18 dan ke-19 di Universitas Goethe di Frankfurt, Heinz Drügh mengatakan, orang-orang mencoba berpakaian seperti Werther — misalnya, jaket biru dan rompi kuning — meskipun busananya "cukup tidak biasa" pada saat itu.

Obsesi terhadap karakter yang bernasib malang ini terkadang disebut sebagai "demam Werther." Drügh menggambarkan Werther sebagai "fenomena pan-Eropa," tetapi juga masih sangat populer di Asia Timur saat ini.

Adegan dari buku: Werther membaca untuk cinta sejatinyaFoto: akg-images/picture-alliance

Tapi apakah sebuah novel masih dapat memiliki pengaruh yang begitu besar pada masyarakat saat ini?

 "Saya rasa pengalaman identifikasi yang kuat saat ini lebih banyak berasal dari film dan musik daripada dari sastra," jelas Drügh.

"Werther membuka sesuatu yang baru," katanya, seraya menambahkan bahwa Goethe menggunakannya untuk memulai cara berpikir baru.

Dari perspektif saat ini, Goethe mungkin seperti "bintang pop," Drügh menambahkan "karena identifikasi dengan teks ini sekuat yang sebenarnya dapat terjadi dengan budaya pop saat ini."

Goethe dianggap terlalu harfiah

Namun, pengaruh Werther juga memiliki sisi buruknya.

Setelah novel tersebut diterbitkan, ada sejumlah kasus bunuh diri yang dikaitkan dengan karya tersebut, sebuah fenomena yang kemudian dikenal sebagai "efek Werther."

Goethe sendiri menerbitkan versi kedua novel yang lebih luas yang dimaksudkan untuk membantu para pembaca menjauhkan diri dari Werther.

Istilah "efek Werther" dicetuskan oleh sosiolog David Philipps pada tahun 1974, untuk menjelaskan bagaimana penggambaran bunuh diri yang diromantisasi di media dapat memicu perilaku meniru, terutama di kalangan anak muda.

Siapakah panutan masa kini?

Namun, panutan klasik juga menjadi semakin sulit dipahami.

Berkat media sosial, mentor bagi kaum muda menempati "subsegmen yang tidak lagi nyata," papar psikolog dan psikoterapis yang berbasis di Swiss, Lothar Janssen, kepada DW.

Janssen berbicara tentang "panutan mini" di internet, seperti mereka yang berbagi cara menghadapi penyakit mental di media sosial. Mereka menjangkau masyarakat luas yang dapat mengidentifikasi diri, dengan mereka melalui media sosial yang sebagian besar tidak disaring.

Para ahli menekankan, penting untuk menangani penyakit mental dan bunuh diri secara terbuka. Itulah sebabnya penanganan topik yang tepat di media sangat penting. Untuk menghindari "efek Werther," di mana kehati-hatian harus diambil untuk tidak meromantisasi penyakit mental dan bunuh diri.

Bijak dalam mengidolakan panutan

Dikutip dari Kompas, Psikolog dan akademisi dari Universitas Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta Ratna Yunita Setiyani Subardjo mengatakan, tidak ada yang salah dengan memiliki idola di dalam hidup. Asalkan, jangan sampai karena idola, kesehatan mental menjadi terganggu. 

Terkait fenomena ini, peran orangtua dan lingkungan amat dibutuhkan untuk mengawasi perilaku penggemar terutama di usia remaja.

"Orang tua di antaranya dapat berperan untuk membimbing agar aksi fanatisme bisa lebih bermanfaat, dengan mengambil sudut pandang kerja keras dan bagaimana usaha kreatif sang idola," ujar Ratna. Dengan demikian, idola akan menjadi inspirasi yang mendorong semangat anak muda dalam meraih impiannya.

Sosok panutan masih diminati

Namun, bintang pop tidak sepenuhnya tenggelam. Penyanyi top AS Taylor Swift, misalnya, sangat mirip dengan sosok panutan klasik.

Sebuah komunitas telah terbentuk di sekelilingnya, di mana para penggemar merasa "diayomi dengan baik dan (merasa) nyaman," jelas psikolog Lothar Janssen.

Meskipun Goethe harus melepaskan status bintang popnya, baik sebagai penulis maupun karya-karyanya — termasuk "The Sorrows of Young Werther" — ia tetap terkenal hingga hari ini.

Artikel ini diadaptasi dari bahasa Jerman

Dilengkapi tulisan dari sumber lain.

 

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait