Grace Natalie: Kami Anti Diskriminasi, Bukan Anti Agama
23 November 2018
Ketua Umum PSI Grace Natalie menegaskan hanya menolak perda agama yang bersifat diskriminatif, terutama terhadap perempuan dan minoritas. Dia mendesak agar peraturan daerah mengacu pada UUD 1945 dan Pancasila.
Iklan
Grace Natalie ingin mewacanakan maraknya peraturan daerah bernafas agama yang cendrung bersifat diskriminatif. Namun apa lacur, terobosannya itu malah membuahkan tudingan penistaan agama. Ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu dilaporkan oleh Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) dan mempertaruhkan elektabilitas partainya dalam Pemilu Legislatif 2019.
Kepada DW Grace mengaku tidak memusingkan tudingan miring yang diarahkan kepadanya. Menurut perempuan berusia 36 tahun itu PSI sejak awal sudah konsisten menyuarakan sikap anti intoleransi. Diskurs yang dibangun partai kaum muda itu tergolong berisiko, mengingat giatnya kelompok konservatif memberangus kebebasan berpendapat lewat pasal penistaan agama.
Berikut kutipan wawancaranya.
DW: Kenapa mempermasalahkan Perda Syariah bisa dianggap penistaan agama?
Grace Natalie: Yang kami permasalahkan adalah adanya ketidakadilan, intoleransi dan perlakuan diskriminatif. Kalaupun kalau kami nanti mendapat suara di DPR RI atau DPD, kami menyatakan kami tidak akan mendukung produk hukum yang berlandaskan pada agama tertentu. Karena Indonesia ini begitu beragam dalam agama dan keyakinan. Kalau kita membuat produk hukum yang berdasar pada nilai-nilai agama tertentu saja, maka sangat berpotensi menimbulkan perlakuan yang tidak adil kepada kelompok masyarakat lain.
Kisah Perempuan Muslim Melawan Diksriminasi di Myanmar
Minoritas Muslim di Myanmar biasanya menutup diri lantaran mengkhawatirkan intimidasi kelompok Buddha garis keras. Namun Win Lae Phyu Sin, seorang blogger Muslim, justru memilih sebaliknya.
Foto: Reuters/A. Wang
Perempuan Muslim Modern
Perempuan muda berusia 19 tahun ini menjadi pusat perhatian saat peluncuran produk kecantikan di Yangon. Pasalnya dia termasuk segelintir blogger kecantikan yang mengenakan jilbab. "Saya tidak menyesali keputusan mengenakan jilbab" kata Win. "Jilbab adalah kunci buat saya. Saya bisa berpergian kemanapun dan melakukan apapun yang saya suka."
Foto: Reuters/A. Wang
Rentan Diskriminasi
Kaum Muslim hanya berjumlah 5% dari 50 juta penduduk Myanmar. Kebanyakan mengeluhkan tidak bisa membangun masjid baru selama satu dekade terakhir dan kesulitan menyewa rumah dari pemilik beragama Buddha. Diskriminasi dan persekusi sistematis terhadap minoritas Muslim sedang marak di Myanmar. Lebih dari 700.000 anggota etnis Rohingya misalnya terpaksa melarikan diri ke Bangladesh.
Foto: Reuters/A. Wang
Persekusi Tanpa Akhir
Kaum muslim di Myanmar juga mengeluhkan tidak mendapat kartu identitas penduduk dan ditolak masuk ke sejumlah rumah ibadah. Demikian laporan Human Rights Network tahun lalu. Akibatnya kebanyakan kaum Muslim tidak bisa menikmati fasilitas yang disediakan pemerintah Myanmar.
Foto: Reuters/A. Wang
Pemberdayaan Perempuan
Buat sebagian murid Win Lae Phyu Sin, perawatan wajah dan kecantikan lebih dari sekedar urusan penampilan, tetapi juga membangun rasa percaya diri di tengah mayoritas Buddha. "Saya melihat perempuan berjilbab merias wajahnya dan dia terlihat sangat cantik," kata Hay Mann Aung tentang Win Lae Phyu Sin. "Saya ingin terlihat cantik seperti dia," imbuhnya.
Foto: Reuters/A. Wang
Jembatan Kebudayaan
Upaya Win Lae menghadirkan warna muda dan modern pada wajah Muslim Myanmar dengan mengenakan busana yang berpadu serasi dengan warna jilbabnya atau dengan dandanan yang menekankan kecantikan wajahnya, sukses menyedot penggemar non partisan. Ia mampu menonjolkan sisi positif kaum minoritas yang sering disalahpahami oleh masyarakat Myanmar.
Foto: Reuters/A. Wang
Meniti Sukses di Medsos
Win kini memiliki 6.000 pengikut di Facebook dan ribuan penggemar di kanal media sosial yang lain. Lebih dari 600 murid ikut serta dalam program pelatihan tentang bagaimana mengenakan kosmetika atau membangun studio kecantikan di rumah sendiri. Sejak awal tahun, sekitar 150 kursus yang ditawarkan Win selalu penuh pengunjung.
Foto: Reuters/A. Wang
Mengundang Permusuhan
Tapi upaya Win bukan tanpa cela. Ia berulangkali mendapat ejekan atau serangan verbal di media sosial ketika ketahuan ia seorang Muslimah. Sebaliknya kelompok Islam konservatif mengritiknya karena dianggap merusak moral perempuan Muslim di Myanmar. Namun Win tidak peduli. "Saya cuekin saja. Ada banyak pekerjaan yang harus saya tuntaskan," tukasnya. (rzn/as: Reuters)
Foto: Reuters/A. Wang
7 foto1 | 7
Dalam pidato di HUT PSI kami mengemukakan tiga misi partai. Tiga misi ini terkait dengan platform perjuangan kami atau DNA kami, yaitu antikorupsi dan antiintoleransi. Ini dua problem besar bangsa pada hari ini, menurut kami. Oleh karena itu tiga misi tersebut kami katakan yang pertama, kami akan melindungi pemimpin-pemimpin reformis di tingkat nasional dan lokal dari politisi-politisi hitam, kedua PSI akan mencegah kebocoran dan penghamburan uang di parlemen, ketiga kami akan mencegah lahirnya ketidakadilan, intoleransi dan tindakan diskriminatif. Lalu kami tidak akan mendukung perda-perda injil dan perda Syariah ketika kami masuk ke parlemen.
Ini tidak ujug-ujug, tapi kami memiliki kajian akademis yang kami jadikan rujukan. Kajian ini juga kami bawa ke Polda Metro Jaya untuk mengklarifikasi dasar kenapa kami memberikan pernyataan demikian. Beberapa tahun yang lalu bahkan sudah ada sejumlah tokoh nasional yang menyerukan hal serupa, misalnya alm. Hasyim Muzadi, atau Dr. Haidar Natsir, ada juga Buya Syafi'i Ma'arif.
Kita melihat ini ada masalah intoleransi, kemudian di daerah ada perda-perda diskriminatif yang mendasarkan pada moralitas dan agama, yang sangat berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat. Temuan Komnas Perempuan juga mengkonfirmasikan hal serupa. Tahun lalu Komnas mengeluarkan laporan terkait banyaknya perda diskriminatif, sebagian bersandar pada nilai-nilai agama. Kemudian 333 atau hampir 80% dari perda diskriminatif tersebut menyasar kaum perempuan dan minoritas.
Oleh karena itu kami mengatakan PSI tidak akan mendukung lahirnya perda-perda agama. Dalam pandangan kami produk hukum harus universal dan tidak parsial, serta bisa berlaku adil dan menjamin kesetaraan buat semua warga negara.
Apakah menurut Anda kelompok radikal berupaya membatasi kebebasan lewat perda agama?
Kami tidak ingin mempersempit pelakunya hanya pada kelompok radikal, karena ada juga politisi-politisi yang tidak ingin susah menyusun program demi kepentingan elektoral, sehingga yang dijual adalah program atau produk hukum yang dibungkus dengan moral atau agama tertentu. Tetapi ada sejumlah kajian dan survey yang menemukan tren intoleransi yang meningkat, termasuk di kalangan anak muda, bahkan intoleransi politik juga memburuk. Inilah kekhawatiran kami. Maka dalam sikap politik PSI, kita tidak akan mendukung perda-perda yang bernafaskan agama. Mari kita kembali lagi kepada UUD 1945 dan Pancasila. Seharusnya kedua hal ini sudah bisa menjadi patokan dan pedoman untuk membuat produk-produk hukum.
Bukan kami anti terhadap agama tertentu, sama sekali tidak, justru kami ingin ada jaminan agar siapapun pemeluk agama bisa menjalankan keyakinannya dengan aman di Indonesia, sebagaimana dijamin dalam konstitusi.
Kami justru merangkul keberagaman, kebhinekaan dan menjaga itu sesuai konstitusi. Perda kan produk hukum yang lahir dari kesepakatan antara eksekutif dan legislatif, artinya boleh saja dong jika perdanya bertentangan dengan nilai-nilai yang kami perjuangkan, maka kita tidak mendukung atau mengusulkan. Justru yang perlu diklarifikasi adalah, PSI tidak bertentangan dengan agama apapun. Kami jutru ingin mengembalikan agama ke titahnya yang mulia, yakni agar tidak dipolitisasi dan ada jaminan kebebasan beragama untuk semua pemeluk agama.
Kalau seseorang menganut agama tertentu, di daerahnya boleh jadi dia mayoritas, tapi kalau dia pergi ke tempat lain, di mana agamanya bukan mayoritas dan sebab itu dia harus tunduk kepada larangan-larangan yang disesuaikan dengan agama lain, kan ini membatasi haknya sebagai warga negara sesuai yang dijamin konstitusi. Kalau kita mendasarkan pada prinsip-prinsip hukum universal yang menjamin kebebasan dan keamanan untuk semua warga negara, kemanapun orang itu pergi di Indonesia, apapun agamanya, dia tetap bisa menjalankan aktivias ibadahnya dengan baik. Itu yang ingin kami perjuangkan.
Tujuh Fakta Syariah Islam di Aceh
Sejak diterapkan lebih dari satu dekade silam Syariah Islam di Aceh banyak menuai kontroversi. Hukum agama di Serambi Mekkah itu sering dikeluhkan lebih merugikan kaum perempuan. Benarkah?
Foto: AP
Bingkisan dari Jakarta
Pintu bagi penerapan Syariah Islam di Aceh pertamakali dibuka oleh bekas Presiden Abdurrachman Wahid melalui UU No. 44 Tahun 1999. Dengan cara itu Jakarta berharap bisa mengikis keinginan merdeka penduduk lokal setelah perang saudara berkepanjangan. Parlemen Aceh yang baru berdiri tidak punya pilihan selain menerima hukum Syariah karena takut dituding anti Islam.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Kocek Tebal Pendakwah Syariah
Anggaran penerapan Syariah Islam di Aceh ditetapkan sebesar 5% pada Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBA). Nilainya mencapai hampir 700 milyar Rupiah. Meski begitu Dinas Syariat Islam Aceh setiap tahun mengaku kekurangan uang dan meminta tambahan anggaran. DSI terutama berfungsi sebagai lembaga dakwah dan penguatan Aqidah.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Polisi Agama di Ruang Publik
Sebanyak 22 milyar Rupiah mengalir ke lembaga polisi Syariah alias Wilayatul Hisbah. Lembaga yang berwenang memaksakan qanun Islam itu kini beranggotakan 1280 orang. Tugas mereka antara lain melakukan razia di ruang-ruang publik. Tapi tidak jarang aparat WH dituding melakukan tindak kekerasan dan setidaknya dalam satu kasus bahkan pemerkosaan.
Foto: Getty Images/AFP/C. Mahyuddin
Kenakalan Berbalas Cambuk
Menurut Dinas Syariat Islam, pelanggaran terbanyak Syariah Islam adalah menyangkut Qanun No. 11 Tahun 2002 dan No. 14 Tahun 2003. Kedua qanun tersebut mengatur tata cara berbusana dan larangan perbuatan mesum. Kebanyakan pelaku adalah kaum remaja yang tertangkap sedang berpacaran atau tidak mengenakan jilbab. Untuk itu mereka bisa dikenakan hukuman cambuk, bahkan terhadap bocah di bawah umur
Foto: Getty Images/AFP/C. Mahyuddin
Cacat Hukum Serambi
Kelompok HAM mengritik penerapan hukum Islam di Aceh tidak berimbang. Perempuan korban perkosaan misalnya harus melibatkan empat saksi laki-laki untuk mendukung dakwaannya. Ironisnya, jika gagal menghadirkan jumlah saksi yang cukup, korban malah terancam dikenakan hukuman cambuk dengan dalih perbuatan mesum. Adapun terduga pelaku diproses seusai hukum pidana Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/C. Mahyuddin
Petaka buat Perempuan?
Perempuan termasuk kelompok masyarakat yang paling sering dibidik oleh Syariah Islam di Aceh. Temuan tersebut dikeluhkan 2013 silam oleh belasan LSM perempuan. Aturan berbusana misalnya lebih banyak menyangkut pakaian perempuan ketimbang laki-laki. Selain itu penerapan Syariat dinilai malah berkontribusi dalam sekitar 26% kasus pelecehan terhadap perempuan yang terjadi di ranah publik.
Foto: picture-alliance/epa/N. Afrida
Pengadilan Jalanan
Ajakan pemerintah Aceh kepada penduduk untuk ikut melaksanakan Syariah Islam justru menjadi bumerang. Berbagai kasus mencatat tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat terhadap tersangka pelanggar Qanun. Dalam banyak kasus, korban disiram air comberan, dipukul atau diarak tanpa busana. Jumlah pelanggaran semacam itu setiap tahun mencapai puluhan, menurut catatan KontraS
Foto: AP
7 foto1 | 7
Partai Anda cendrung berideologi liberal, bagaimana Anda ingin meyakinkan pemilih muslim tanpa mengorbankan nilai-nilai universal tersebut?
Kalau kami lihat dari respons di media sosial yang masuk, banyak kok teman-teman muslim yang mengapresiasi apa yang kami perjuangkan. Kami percaya di Indonesia masih banyak orang yang berpikiran moderat, artinya dia memiliki keyakinan dan menjalankan ibadah sesuai agamanya, tapi juga masih tetap menginginkan Indonesia agar menjadi rumah yang nyaman buat semua orang.
Buat kami PSI bukan hadir buat pemeluk agama tertentu. Justru kita ingin menjamin kebebasan dan keamanan buat semua warga negara. Tadi siang misalnya saya menghadiri acara peluncuran buku di PP Muhamadiyah. Di sana turut hadir Buya Syafi'i Ma'arif dan beliau mendukung (sikap PSI). Dia seorang cendikiawan muslim yang bacaannya sangat kaya, kita tidak ragu pada keislamannya atau komitmennya kepada kebangsaan. Apakah Buya anti agama tertentu? kan tidak.
Jika fenomena perda agama dan upaya pemberangsan kebebasan berpendapat lewat pasal penistaan agama semakin marak, apa dampaknya buat Indonesia?
Ini akan sangat rentan menggerus persatuan dan kesatuan Indonesia. Kan tidak enak kalau akhrinya jadi balas-balasan. Di tempat lain misalnya ada perda yang berdasarkan agama tertentu dan mendeskreditkan kebebasan pemeluk agama lain untuk beribadah, beraktivitas dan berpakaian, nah di daerah lain orang bisa membuat perda tandingan yang berdasarkan agamanya sendiri. Kan kalau begini tidak enak sekali situasinya. Ini akan membuat perbedaan semakin nyata dan mengarah ke friksi sosial. Ini adalah ancaman yang nyata.
Wawancara: Yusuf Pamuncak (rzn/vlz)
Umat yang Terbelah: Pandangan Mayoritas Muslim Tentang Syariah dan Negara
Apakah Al-Quran dan Syariah Islam harus menjadi konstitusi di negara muslim? Inilah hasil jajak pendapat yang digelar Pew Research Centre di delapan negara sekuler berpenduduk mayoritas muslim
Foto: Ahmad Gharabli/AFP/Getty Images
Malaysia
Hasil jajak pendapat Pew Research Centre tahun 2015 silam mengungkap lebih dari separuh (52%) penduduk muslim Malaysia mendukung pandangan bahwa konstitusi negara harus mengikuti Syariah Islam secara menyeluruh. Sementara 17% mewakili pandangan yang lebih moderat, yakni ajaran Al-Quran hanya sebagai acuan tak resmi penyelenggaraan negara. Sisanya (17%) menolak pengaruh agama pada konstitusi.
Foto: Getty Images/M.Vatsyayana
Pakistan
Dari semua negara berpenduduk mayoritas muslim, Pakistan adalah yang paling gigih menyuarakan penerapan Syariah Islam sebagai konstitusi negara. Sebanyak 78% kaum muslim mendukung pandangan tersebut. Hanya 2% yang mendukung sekularisme dan menolak pengaruh agama dalam penyelenggaraan negara.
Foto: Reuters/P.Rossignol
Turki
Pengaruh Kemalisme pada masyarakat Turki masih kuat, kendati politik agama yang dilancarkan partai pemerintah AKP. Hanya sebanyak 13% kaum muslim yang mendukung Syariah Islam sebagai konstitusi, sementara mayoritas (38%) mewakili pandangan moderat, yakni Al-Quran sebagai acuan tak resmi. Uniknya 36% penduduk tetap setia pada pemisahan agama dan negara.
Foto: Getty Images/C. McGrath
Libanon
Mayoritas kaum muslim Libanon (42%) yang memiliki keragaman keyakinan paling kaya di dunia menolak pengaruh agama pada konstitusi. Adapun 37% penduduk mendukung Al-Quran sebagai acuan tak resmi penyelenggaraan negara. Hanya 15% yang menuntut penerapan Syariah Islam secara menyeluruh.
Foto: J.Eid/AFP/Getty Images
Indonesia
Hingga kini Indonesia masih berpedoman Pancasila. Tak heran jika 52% kaum muslim menolak penerapan menyeluruh Syariah Islam. Namun mereka mendukung pandangan bahwa prinsip Al-Quran harus tercerminkan dalam dasar negara. Sebanyak 22% penduduk menginginkan Syariah sebagai konstitusi dan 18% menolak pencampuran antara agama dan negara.
Foto: Getty Images/O. Siagian
Yordania
Penduduk muslim di Yordania tergolong yang paling konservatif di dunia. Sebanyak 54% menginginkan Syariah Islam sebagai landasan negara. Sementara 38% menolak Syariah, namun mendukung pandangan bahwa konstitusi tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran. Hanya 7% yang memihak Sekularisme sebagai prinsip dasar negara.
Foto: S. Samakie
Nigeria
Sebagian besar kaum muslim Nigeria (42%) lebih mendukung faham Sekularisme ketimbang Syariah Islam. Di negeri yang sering dilanda konflik agama itu hanya 22% yang mengingingkan Syariah Islam sebagai konstitusi. Sementara 17% mewakili pandangan moderat, dan puas pada konstitusi yang tidak melanggar hukum Islam.
Foto: DW/Stefanie Duckstein
Palestina
Tahun 2011 hanya 38% penduduk Palestina yang mendukung Syariah sebagai konstitusi, pada 2015 jumlahnya berlipatganda menjadi 65%. Sementara 23% mewakili pandangan yang lebih moderat terkait penerapan Syariah. Hanya 8% yang menolak agama mencampuri urusan negara. (rzn/hp - Pew Research Centre, Economist)