1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Green Fashion: Pewarnaan Tradisional yang Berkelanjutan

23 Mei 2020

Pewarnaan tekstil menjadikan industri pakaian sebagai pencemar air terbesar kedua di dunia. Bertram Flesch, asal Jerman berkiprah meningkatkan kesadaran publik terhadap masalah ekologi dibalik pakaian sehari-hari.

Indonesien Sukkha Citta Company
Foto: Sukkha Citta Company

Pewarna tekstil yang berbasis bahan kimia telah menjadikan industri pakaian sebagai pencemar air terbesar kedua di dunia. Pewarna sintetis bertanggung jawab terhadap 20% pencemaran air secara global.

Faktanya, ada 72 bahan kimia beracun dalam air yang berasal dari pewarnaan tekstil dan 30 di antaranya tidak pernah bisa dihilangkan. Bahan kimia itu akan terus bereaksi dan terus merusak kualitas air di sungai.

Itu sebabnya, warga Jerman Bertram Flesch, mengambil sikap untuk menyadarkan banyak orang tentang masalah apa yang sebenarnya terjadi di balik pakaian yang kita kenakan setiap hari.

Bertarm Flesch, COO Sukkha Citta yang menggagas pewarnaan tekstil alami yang ramah lingkungan.Foto: Sukkha Citta Company

Chief Operating Officer dari Sukkha Citta ini mengklaim bahwa tujuan utamanya bukan menjadi “fashion brand”, namun lebih jauh tentang pemberdayaan para pengrajin.

Ia mengatakan ada solusi untuk masalah dampak pencemaran air dari pewarnaan tekstil, yakni dengan pewarnaan alami. Ia menyebutnya sebagai pakaian dengan proses pewarnaan alami pertama di Indonesia yang 100% bisa dilacak, bersih, dan memberdayakan para pengrajinnya.

“Pada dasarnya ini adalah pewarnaan pakaian pertama di Indonesia yang 100% bisa dilacak asa usulnya. Kami tahu persis dari mana bahan-bahannya berasal, juga memberdayakan, karena kami memanfaatkan bahan-bahan yang bersumber dari komunitas pertanian lokal, dan bebas bahan kimia,” ujar Bertram kepada DW Indonesia.

Pewarnaan alami tradisional

Flesch menambahkan bahwa teknik ini cukup langka di sektor pewarnaan pakaian karena banyak yang masih menggunakan bahan kimia untuk mempercepat prosesnya. Meski tak memungkiri, ia dan tim menghadapi tantangan berat karena pewarnaan alami biasanya sulit untuk mencapai konsistensi warna yang diinginkan. 

Pewarnaan sintetis hanya membutuhkan satu kali proses pencelupan agar warna langsung menempel di pakaian, sedangkan pewarnaan alami setidaknya butuh 10 kali pencelupan.

“Awalnya pakaian berwarna putih. Kamu celupkan pertama kali, lalu kamu angkat, warnanya kehijauan. Lalu bereaksi dengan oksigen di udara dan berubah menjadi biru muda, dan kamu harus mengulang proses ini hingga 10 kali, dan setiap kali pencelupan akan berubah lebih gelap, hingga akhirnya kamu mendapatkan warna yang kamu inginkan,” sebutnya.

Pewarnaan dengan bahan alami perlu proses hingga 10 kali pencelupan dan sulit mendapat konsistensi warna.Foto: Sukkha Citta Company

Meski tak mudah, melalui Sweet Indigo -nama produk untuk pakaian dari pewarnaan alami karya Sukkha Citta, Bertram dan tim pada dasarnya ingin meningkatkan kesadaran publik terkait masalah pencemaran lingkungan dari teknik pewarnaan pakaian sintetis. Ia dan timnya bekerja bersama pengrajin dan penduduk desa bukan dengan pabrik. “Kami ingin memastikan yang pengrajin lakukan tidak merusak lingkungan mereka sendiri.”

Bagaimana memastikan pewarnaan alami tidak mengakibatkan deforestasi?

Pewarnaan alami yang mengambil sumber dari alam, menurut pria Jerman itu jika tidak dilakukan dengan cara yang benar bisa berakibat pada deforestasi.

Bertram menjelaskan pewarna alami bukan serta merta menjadi “obat mujarab” atau solusi sempurna untuk masalah pencemaran lingkungan. Sangat penting baginya untuk mengetahui dari mana bahan-bahan pewarna alami itu berasal.

Bekerja sama dengan pengrajin lokal, seluruh bahan-bahan pewarna alami tersebut mereka tanam sendiri bersama komunitas-komunitas pertanian.

Bahan-bahan pewarna Sweet Indigo diperoleh dari tanaman budidaya bekerjasama dengan petani lokal yang tidak membabat hutanFoto: Sukkha Citta Company

“Seperti Indigo, kami tanam di tempat komunitas pengrajin kami sendiri, kami tahu dari mana bahan itu berasal, bagaimana itu ditanam, bagaimana itu dipanen,” jelasnya.

Ia mengatakan pewarna alami dari kayu mahoni misalnya, dihasilkan dan diproses secara berkelanjutan. Komunitas pertanian mengambil kulit pohon mahoni yang sebelumnya telah ditebang untuk penggunaan kehutanan. Para pekerjanya pun mengetahui seberapa banyak bahan alami yang bisa diambil, sehinggga pohon masih bisa tumbuh setelah diambil kulitnya.

Meski dampaknya sepadan, butuh produksi berbulan-bulan

“Ini sangat sulit, butuh waktu lebih lama, butuh biaya lebih besar, tapi secara bersamaan  kami melihat banyak orang selaras dengan ide ini,” ujarnya.

Sejak awal berdiri, Sukkha Citta mempunyai misi untuk tak hanya meningkatkan kesadaran publik terhadap masalah lingkungan, namun juga pemberdayaan para pengrajin perempuan lokal. Bertram ingin para pengrajin mendapat upah yang adil dari hasil kerajinan mereka.

Inilah kisah yang ingin ia sampaikan kepada para pembeli produknya, sekaligus menunjukkan pada duni bahwa ada cara lebih baik untuk memproduksi pakaian.

Pewarna Tekstil Buatan Bakteri Yang Ramah Lingkungan

03:51

This browser does not support the video element.

Bertram ingin informasi terkait produknya ia sampaikan setransparan mungkin kepada pelanggan. “Sesederhana apa yang kamu pakai, dapat membuat perubahan besar terhadap orang-orang yang membuatnya.”

Bertram ingin publik lebih kritis, ketika membeli suatu produk, seperti bertanya di mana produk pakaian itu dibuat, apakah pembuatnya diberi upah secara adil, dan apakah dibuat dengan sistem berkelanjutan. Menurutnya ketika pembeli kritis menanyakan hal semacam itu, maka industri yang mencemari lingkungan akan berubah.

“Sejak awal kami tidak ingin Sukkha Citta menjadi “Fashion Brand”, kami benar-benar berusaha untuk menyelesaikan masalah eksploitasi perempuan di industri kerajinan dan polusi lingkungan yang sangat besar di industri yang sama,” tutupnya.

Awalnya, Sukkha Citta hanya bekerja bersama tiga pengrajin perempuan di Jawa Tengah. Namun kini mereka mempunyai lebih dari 100 pengrajin, di enam desa yang tersebar di Indonesia.

pk/as