Aktivis remaja Greta Thunberg mengatakan bahwa sebenarnya dunia bisa bertindak cepat saat menyadari adanya krisis. Hal ini terlihat dari tindakan drastis untuk meredam laju pandemi corona.
Iklan
Aktivis iklim Greta Thunberg mengatakan perubahan drastis yang terlihat dalam aktivitas ekonomi dan sosial akibat wabah corona menunjukkan bahwa sebenarnya dunia juga bisa bertindak cepat untuk mengekang laju perubahan iklim.
"Virus corona adalah kejadian yang mengerikan ... tidak ada hal positif yang berasal darinya," kata remaja asal Swedia itu dalam sebuah wawancara online, Selasa (24/03).
"Namun (keadaan) ini juga menunjukkan satu hal: Sekali kita berada dalam krisis, kita dapat melakukan sesuatu dengan cepat, bertindak cepat," kata Greta yang kini berusia 17. Saat masih berusia 15 tahun, Greta melakukan protes mogok sekolah untuk menunjukkan aksi peduli iklim yang memicu gerakan pemogokan iklim oleh para kaum muda di seluruh dunia.
Pemerintah di seluruh dunia merespon penyebaran wabah corona dengan menutup kegiatan bisnis, sekolah-sekolah dan fasilitas publik lain. Negara-negara juga melarang pertemuan dan berkumpulnya orang-orang, membatasi dan menghentikan operasi transportasi, serta mengusulkan dana talangan berskala besar agar ekonomi bisa tetap bertahan.
“Kita dapat bertindak cepat, mengubah kebiasaan dan memperlakukan krisis seperti layaknya sebuah krisis," ujar Greta. COVID-19 sejauh ini telah menginfeksi hampir 400.000 orang di seluruh dunia dengan lebih dari 17.000 kasus kematian, menurut pusat informasi penyebaran wabah corona di Johns Hopkins, AS.
2019: Aksi Demonstrasi di Seluruh Dunia
Jutaan orang turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi karena diskriminasi etnis, korupsi, kurangnya demokrasi, hingga perubahan iklim. Dari Cina ke Chili, Sudan ke Prancis, orang-orang menuntut perubahan.
Foto: Reuters/T. Siu
Stabilitas Hong Kong terguncang
Aksi protes terjadi di seluruh Hong Kong pada bulan Juni akibat Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi yang diajukan pemerintah daerah Hong Kong kepada Cina. Meskipun RUU itu ditarik pada bulan September, unjuk rasa terus berlangsung dan menuntut demokrasi penuh dan penyelidikan terhadap aksi kekerasan yang dilakukan polisi.
Foto: Reuters/T. Peter
Lebih satu juta orang turun ke jalan
Besarnya gerakan protes warga telah menempatkan para pemimpin Hong Kong dan Beijing dalam krisis politik, di tengah tuduhan bahwa Cina merusak status khusus wilayah itu di bawah perjanjian "satu negara, dua sistem". Terkadang, lebih dari satu juta orang turun ke jalan. Di tengah gejolak, pemilu Hong Kong berlangsung. Kubu pro-demokrasi memperoleh kemenangan besar untuk pertama kalinya.
Foto: Reuters/T. Siu
Greta berang, dunia mendengarkan
Beberapa bulan setelah Greta Thunberg melakukan protes seorang diri di depan parlemen Swedia, sejumlah aksi juga terjadi di seluruh dunia, diikuti hingga jutaan orang. Demonstrasi meluas dan dikenal dengan nama Fridays for Future (Jumat untuk Masa Depan), menyebabkan 4.500 aksi mogok di lebih dari 150 negara. Pendekatan langsung Thunberg memaksa pemerintah untuk mengumumkan krisis iklim.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Kappeler
Menentang diskriminasi agama di India
Parlemen India meloloskan rancangan undang-undang (RUU) yang menawarkan amnesti kepada imigran gelap non-Muslim dari tiga negara yakni Pakistan, Bangladesh dan Afghanistan. Langkah ini memicu protes nasional karena adanya diskriminasi berdasarkan agama di dalam RUU tersebut. PM India Narendra Modi bersikeras RUU itu menawarkan perlindungan bagi orang-orang yang melarikan diri dari penganiayaan.
Foto: Reuters/D. Sissiqui
Warga Irak merasa "hidup lebih buruk" setelah era Saddam Hussein
Pada Oktober, rakyat Irak turun ke jalan untuk memprotes korupsi, pengangguran, dan pengaruh Iran terhadap pemerintahan negara itu. Demonstrasi berlangsung memburuk, mengakibatkan 460 orang tewas dan 25.000 lainnya terluka. PM Irak Adil Abdul-Mahdi mengundurkan diri, yang kemudian kembali memicu kemarahan lebih lanjut.
Foto: Reuters/A. Jadallah
Tinju solidaritas di Beirut
Pengunjuk rasa di berbagai penjuru Lebanon mengecam pemerintah yang dianggap gagal mengatasi krisis ekonomi. Meskipun PM Lebanon, Saad Hariri mengundurkan diri, para pemimpin protes menolak untuk bertemu dengan pengganti sementaranya dan menuntut pencabutan rencana kenaikan pajak bensin, tembakau, dan panggilan telepon Whatsapp.
Foto: Reuters/A. M. Casares
Protes kenaikan BBM Iran meluas di 21 kota
Pada bulan November, kerusuhan di Iran dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 50 persen. Lebih dari 200 ribu orang turun ke jalan hingga aksi demonstrasi ini meluas di 21 kota. Departemen Luar Negeri AS mengatakan lebih dari seribu orang terbunuh, menjadikan tragedi ini periode paling berdarah di Iran sejak Revolusi Islam 1979.
Foto: Getty Images/AFP
Revolusi Sudan
Pengunjuk rasa di Sudan meminta pemerintahan darurat yang dipimpin militer untuk segera melakukan pembongkaran dan pengadilan penuh terhadap kroni-kroni rezim presiden yang baru saja dimakzulkan, Omar Al Bashir. Konflik berdarah ini menewaskan sedikitnya 113 orang. Pada Agustus lalu, perwakilan rakyat dan pihak militer menandatangani deklarasi konstitusi untuk membentuk pemerintahan transisi.
Foto: picture-alliance/dpa/AP
Amerika Latin mengutuk kebijakan penghematan pemerintah
Ribuan orang protes di pusat ibu kota Chili, Santiago dan sejumlah kota besar lainnya. Mereka menuntut perbaikan sistem kesehatan, pensiun dan pendidikan. Tidak hanya Chili, beberapa negara Amerika Latin terjadi protes serupa pada tahun 2019, termasuk Bolivia, Honduras dan Venezuela, di mana upaya untuk menyingkirkan Presiden Venezuela Nicolas Maduro memuncak pada bulan Mei.
Foto: Reuters/I. Alvarado
Prancis goyah
Akhir 2018, massa gerakan rompi kuning melakukan aksi unjuk rasa. Mereka berasal dari daerah pedesaan yang mengeluhkan wacana kenaikan pajak bahan bakar. Sejak itu gerakan rompi kuning telah meluas ke semua kelompok. Pada bulan Desember, serikat pekerja Prancis melakukan aksi mogok di jalan, menentang reformasi sistem pensiun.
Foto: Reuters/P. Wojazer
Pertarungan kemerdekaan Catalonia
Setelah sembilan pemimpin separatis Catalonia dipenjara oleh Mahkamah Agung Spanyol, gelombang kemarahan baru meletus hingga melumpuhkan kota Barcelona. Lebih dari setengah juta orang terlibat dalam demonstrasi ini. Aksi mogok dan kerusuhan di berbagai daerah melumpuhkan arus transportasi publik hingga memaksa penundaan pertandingan sepakbola Barcelona vs Real Madrid. (Teks: Leah Carter/ha/hp)
Greta mendesak para aktivis iklim untuk turut membantu untuk mengatasi pandemi COVID-19 dan melanjutkan aktivisme iklim mereka dengan cara yang aman. "Pertama-tama, saat ini, kita perlu membantu dengan cara apa pun yang kita bisa untuk mendukung masyarakat serta orang-orang yang membutuhkan," katanya.
"Apa yang kami katakan untuk dilakukan semua orang adalah dengarkan para ahli dan dengarkan ilmu pengetahuan, dan itulah yang perlu kita lakukan dalam kasus ini juga," katanya. Krisis yang terjadi akibat virus corona "tidak berarti kita harus sepenuhnya meninggalkan aktivisme kita," tambahnya.
"Kita bisa melakukannya secara online dan di rumah. Kita hanya perlu kreatif dan menemukan cara-cara baru," ujar Greta.