Grup Anti Uni Eropa Tolak Usulan Kesepakatan Inggris-Eropa
3 Februari 2016
Perdana Menteri Inggris, David Cameron memuji naskah kesepakatan keanggotaan Uni Eropa, yang dipandang Inggris sebagai kemajuan nyata. Sebaliknya grup anti Uni Eropa menolak, dengan menyebutnya sebagai "semir kotoran".
Iklan
Rancangan naskah untuk mempertahankan Inggris sebagai bagian dari Uni Eropa disampaikan Presiden Uni Eropa Donald Tusk pada hari Selasa (02/02). Termasuk dalam rancangan naskah itu dana kesejahtaraan pekerja migran Eropa yang baru bisa diklaim setelah empat tahun dan perlindungan bagi negara-negara yang tidak menggunakan mata uang euro.
Cameron menyebut usulan itu sebagai "paket yang kuat dan berkuasa" dan menggabungkan "perubahan yang sangat penting", demikian dia tagaskan dalam sebuah pidato di Chippenham, barat daya Inggris.
Serta merta pihak oposisi eurosceptics yang anti bergabungnya Inggris dengan Uni Eropa menuduh usulan itu sebagai langkah ‘menyemir kotoran‘ , karena tak lama lagi akan digelar referendum tentang keanggotaan Inggris di dalam Uni Eropa.
Sementara itu surat kabar Inggris juga tak kalah pedas berkomentar: "Kesepakatan Uni Eropa- Cameron adalah lelucon" , demikian judul Daily Express. Sedangkan Daily Mail menyebutnya sebagai "Delusi besar!"
Daily Telegraph melaporkan bahwa sejumlah menteri kabinet mengancam untuk memberontak atas apa yang digambarkannya sebagai kesepakatan "encer". Bahkan sekutu politik Cameron, walikota London, Boris Johnson, mengritik laporan mengenai usulan "kartu merah" di parlemen nasional untuk memblokir undang-undang Uni Eropa. Johnson mengatakan dia memiliki "keraguan" tentang sistem yang sedang diperdebatkan. Johnson menambahkan bahwa ia percaya ada "masih banyak lagi yang perlu dilakukan" untuk reformasi Uni Eropa. "Saya pikir, akan lebih baik kalau kita punya rem dari diri sendiri bahwa kita juga bersedia memanfaatkannya ... Itu yang harus kita mampu lakukan," ujarnya di radio LBC.
Namun demikian sokongan datang dari menteri dalam negeri Inggris, Theresa Mei. Ia mengatakan "memang masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, tapi ini adalah dasar bagi sebuah kesepakatan".
Mantan menteri pertahanan Inggris Liam Fox yang mendukung Inggris meninggalkan Uni Eropa mengatakan: "Tak satu pun dari perubahan ini mendekati janji perubahan mendasar kepada masyarakat".
Pemimpin anti Uni Eropa - UK Independence Party (UKIP) Nigel Farage mengatakan bahwa proposal itu bisa dianggap kemenangan yang "terus terang menggelikan". "Pada dasarnya kita hampir pada situasi dimana mayoritas dewan menteri dapat memblokir undang-undang baru,"
Leave.EU, sebuah kelompok yang berkampanye dengan istilah Brexit, menyebut rencana ini sebagai "hal licik dan lelucon": "Bahkan David Cameron yang licin dan tidak asing dalam melanggar janji pada Uni Eropa, tidak mampu mempertahankan paket berharganya yang disebut reformasi," kata salah satu dari kelompok itu, Arron Bank.
Namun kelompok kampanye "Britain Stronger in Eropa", menyambut baik rencana Uni Eropa sebagai sesuatu yang baik untuk Inggris. "Kita dapat memperoleh hal yang terbaik dari kedua dunia - memperkuat perekonomian dan posisi kita di panggung dunia melalui keanggotaan kita dalam Uni Eropa, sementara kita punya kontrol yang lebih besar untuk melindungi kepentingan Inggris," kata Stuart Rose, ketua organisasi "Britain Stronger in Eropa".
Analis di London School of Economics, Tim Oliver, mengatakan Cameron akan merasa "lega" telah menggolkan satu perjanjian yang bisa disetujui oleh para pemimpin Uni Eropa. "Kesepakatan itu merupakan sesuatu kemenangan," katanya.
Jajak pendapat saat ini memperlihatkan warga Inggris yang mendukung negaranya untuk keluar dari Uni Eropa hanya memiliki selisih jumlah yang sedikit dibanding mereka yang berpendapat sebaliknya.
10 Risiko Politik Paling Besar Tahun 2016
Krisis 12 bulan terakhir diperkirakan akan tambah buruk. Tahun ini sudah dibuka dengan konflik Arab Saudi-Iran. Tapi itu rupanya bukan risiko utama! Berikut prediksi risiko politik oleh Eurasia Group untuk 2016.
Foto: Reuters/M. Zmeyev
10. Turki
Setelah partainya AKP menang pemilu 2015, Presiden Erdogan akan dorong penggantian sistem parlemen jadi sistem presidensial. Kemungkinan itu tidak tercapai 2016. Tapi pendukungnya akan rusak bisnis Turki dan iklim investasi. Di bidang keamanan berakhirnya masalah PKK belum kelihatan. Tekanan AS agar Ankara akhiri sepak terjang ISIS tidak akan berhasil, sementara Turki jadi makin rentan serangan.
Foto: Getty Images/AFP/A. Altan
9. Pemilu Berkurang
Lambatnya pertumbuhan ekonomi dan standar hidup rendah akan sulut ketidakpuasan dalam masyarakat. Tapi 2016 tidak banyak digelar pemilu, yang sebenarnya bisa jadi kesempatan rakyat untuk protes terhadap pemerintah. Biasanya, kurangnya pemilu bisa membuat tahun lebih tenang. Tapi mengingat situasi belakangan, kurangnya pemilu bisa tingkatkan demonstrasi di jalanan dan kekerasan.
Foto: picture alliance / dpa
8. Brasil
Presiden Dilma Rousseff bertarung bagi keselamatan posisinya, sementara krisis politik dan ekonomi Brasil diperkirakan makin buruk 2016. Jika Rousseff menang pun, pemerintahannya tidak mungkin beri dorongan politik yang perlu bagi reformasi ekonomi, untuk akhiri defisit negara. Jika ia gagal, pemerintah yang dipimpin Wapres Michel Temer juga tidak akan sukses.
Foto: Getty Images/AFP/Evaristo Sa
7. Pemimpin Yang Sulit Diperhitungkan
Sejumlah pemimpin negara terkenal dengan politik yang tidak bisa diperhitungkan, akan persulit situasi politik internasional 2016. Termasuk di antaranya: Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Turki Erdogan, Wakil Raja Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman, juga Presiden Ukraina Petro Poroshenko. Intervensi mereka saling berkaitan dan bertentangan. Tindakan mereka berimplikasi bagi dunia.
Foto: Reuters/M. Zmeyev
6. Kebangkitan Dunia Teknologi
Berbagai aktor bukan negara yang berpengaruh besar dari dunia teknologi masuk panggung politik, dan punya tujuan sendiri. Mereka ambisius dan beraneka ragam, mulai dari perusahaan Silicon Valley, kelompok hacker juga filantropi. Kebangkitan mereka di dunia politik akan desak pemerintah dan masyarakat, juga sebabkan ketidakseimbangan politik dan pasar.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Tirl
5. Arab Saudi
Negara itu semakin dirongrong situasi labil, dan isolasinya akan dorong negara itu ambil langkah lebih agresif tahun ini di Timur Tengah. Penyebab eksternal kekhawatiran Arab Saudi adalah Iran, yang segera akan bebas sanksi. Ketegangan antar kedua negara belakangan ini juga akan tampak dalam konflik Suriah, Yaman dan daerah lain di Timur Tengah. Foto: Raja Arab Saudi, Salman bin Abdul Aziz Al Saud
Foto: picture-alliance/dpa/Saudi Press Agency
4. ISIS dan Konconya
ISIS (Islamic State) adalah organisasi teror paling kuat di dunia. Pengikutnya dari berbagai negara. Tapi respons internasional tidak sepadan, tidak terarah dan terpecah pada kepentingan tiap pihak. 2016 masalah ini belum teratasi, dan ISIS serta konconya akan gunakan kesempatan. Negara paling rentan teror ISIS: Perancis, Rusia, Turki, Arab Saudi, AS. Juga Irak, Libanon, Yordania, Mesir, Eropa.
Foto: AFP/Getty Images
3. Pengaruh Cina
Cina adalah satu-satunya negara besar yang punya strategi ekonomi global. 2016 Cina jadi penggerak paling penting sekaligus paling tidak jelas, bagi rangkaian peristiwa ekonomi. Ini akan tambah menyulut kecemasan aktor internasional lain, yang tidak siap, tidak mengerti atau tidak setuju dengan prioritas Cina, dan tidak tahu bagaimana memberi respon terhadap Cina.
Foto: picture-alliance/dpa
2. Ketertutupan Eropa
2016 perpecahan Eropa sampai poin kritis, karena konflik timbul antara ketertutupan dan keterbukaan Eropa. Ditambah masalah kesenjangan sosial, pengungsi, terorisme, tekanan politik akar rumput. Ini jadi tantangan bagi prinsip Uni Eropa. Batas luar UE makin bermasalah. Juga Brexit. Ekonomi UE akan tetap utuh, tapi makna persatuan dan sistem sosialnya tidak bertahan.
Foto: picture-alliance/dpa
1. Aliansi Tak Bermakna
Kemitraan Trans Atlantik adalah aliansi paling penting dalam 70 tahun terakhir. Tapi sekarang melemah dan makin tidak relevan. AS tidak menentukan lagi dalam penentuan prioritas Eropa. Intervensi Rusia di Ukraina dan konflik di Suriah akan perjelas perpecahan AS dan UE. Tidak ada yang akan bisa menengahi. Foto: Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden AS Barack Obama