Gugatan Pidana bagi Pelaku Pembakaran Hutan
16 September 2019Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengklaim telah bersikap tegas dalam menindak pelaku pembakaran hutan dan lahan selama lima tahun terakhir ini. Dalam konferesi persnya di Gedung BNPB, Sabtu (14/09), Direktur Jenderal Penegakan Hukum LHK, Rasio Ridho Sani, mengatakan pihaknya hingga saat ini terus bekerja dalam upaya mengatasi kebakaran hutan dan lahan yang sedang terjadi.
Sebelumnya KLHK mengaku telah banyak melayangkan gugatan administratif dan gugatan perdata bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan saat kebakaran hebat sepanjang tahun 2015 lalu. Kini KLHK akan menambahkan gugatan pidana dan berbagai pasal berlapis baik itu penjara, denda, dan perampasan keuntungan bagi pelaku kejahatan lingkungan kepada para pelaku pembakaran hutan khususnya yang berasal dari korporasi.
"Kita akan melakukan kerja multi-door, bekerja sama dengan kepolisian agar tidak hanya disidik soal lingkungan hidup tapi juga undang-undang kehutanan dan perkebunan,” ujar Ridho.
"Kita akan dapat mengatasi kebakaran hanya jika kita dapat mengubah perilaku masyarakat dan korporasi, dan kita akan mengambil tidakan tegas untuk melakukan itu,” tambahnya.
KLHK juga telah menyegel 42 lahan konsesi milik perusahaan dan 1 lahan perorangan yang terbakar yang diduga milik pelaku pembakaran hutan. Dari 42 lahan konsesi tersebut, 34 berlokasi di Kalimantan dan 8 lahan konsesi di Sumatera.
Tercatat empat korporasi dan satu perorangan telah ditetapkan sebagai tersangka. Empat korporasi tersebut adalah PT. ABP yang merupakan perusahaan sawit di Kalimantan Barat, PT. AEL perusahaan sawit di Kalimantan Barat, PT. SKN perusahaan sawit di Kalimantan Barat, serta PT. KS, di Kalimantan Tengah. Satu di antaranya merupakan asal Singapura dan sisanya berasal dari Malaysia.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Rusmadya Maharuddin, menyoroti kelanjutan dari tindakan penyegelan tersebut yang dinilainya sangat penting dalam mengatasi permasalahan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
"Tahun-tahun sebelumnya ‘kan juga banyak yang disegel tetapi publik nggak jelas akhir ceritanya sepeti apa,” ujarnya kepada DW Indonesia, Senin (16/09) pagi.
Baca juga:Perusahaan Pembakar Hutan Masih Menunggak Denda
Harus selaras
Manajer Kampanye Eksekutif Nasional WALHI, Wahyu A. Perdana, berpendapat upaya pemulihan lingkungan dang anti rugi mutlak menjadi tanggung jawab pemilik konsesi berdasarkan peraturan yang ada.
"Sayangnya pemerintah tidak pernah tegas terhadap korporasi pemegang konsesi. Dalam Pasal 88 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebut pertanggungjawaban mutlak hingga klausul ‘tanpa perlu unsur pembuktian bersalah',” ujar Wahyu saat diwawancarai DW Indonesia.
Ia juga menzampaikan perlu dilakukannya review izin dan audit lingkungan, khususnya pada kawasan konsesi yang terbakar berulang dari tahun ke tahun. Pemerintah juga harus menunjukkan sikap yang selaras terhadap kasus kebakaran hutan dan lahan sedang terjadi.
"Sayangnya dalam putusan Citizen Lawsuit Karhutla, pemerintah justru melakukan upaya hukum luar biasa melalui Peninjauan Kembali (PK), padahal putusan tersebut berdampak pada hak asasi masyarakat, khususnya dalam kasus Karhutla,” pungkas Wahyu.
Kerugian besar
Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), luas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dalam periode Januari – Agustus 2019 mencapai 328.724 hektare. Provinsi Riau merupakan wilayah terluas yang mengalami kebakaran hutan yakni mencapai 49.266 hektare disusul Kalimantan Tengah seluas 44.769 hektare. Kebakaran ini pun menimbulkan kabut asap yang tebal.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Munardo, menyebut kurangnya peran serta pejabat daerah dalam menyelesaikan kasus kebakaran hutan dan lahan. Menurut Doni, masih ada pejabat derah yang tidak pernah hadir mengikuti rapat koordinasi kebakaran hutan walaupun sudah di undang. "Padahal 99 persen penyebab kebakaran adalah manusia, dan 80 persennya dari lahan yang bekas terbakar, dan ini dijadikan kebun,” cetus Doni.
Ia pun khawatir kebakaran hutan dan lahan ini dapat menimbukan kerugian yang besar bagi Negara seperti yang terjadi pada thaun 2015 silam, ketika negara mengalami kerugian sebesar 16,1 milliar dollar AS.
Akibat kabut asap yang muncul, jarak pandang yang hanya mencapai 500 meter menyebabkan empat bandara di Kalimantan terpaksa ditutup. Ini jauh dari batas minimal jarak pandang penerbangan yakni 3.500 meter. Ada pun empat badara yang ditutup antara lain Bandara Kalimarau Berau (Kalimantan Timur), Bandara Juwata Tarakan (Kalimantan Utara), Bandara APT Pranoto Samarinda (Kalimantan Timur), dan Bandara Syamsudin Noor Banjarbaru (Kalimantan Selatan).
Kepada DW Indonesia, Corporate Communications Strategic of Lion Air Group, Danang Mandala Prihantoro, menyampaikan terdapat 81 jadwal penerbangan dibatalkan akibat kabut asap tersebut. Kabut asap menyebabkan jarak pandang pendek dan tidak memenuhi persyaratan keselamatan penerbangan untuk proses lepas landas dan mendarat.
Baca juga: Siaga Kebakaran Lahan dan Hutan di Musim Kemarau
rap/rzn (The Straits Times, tirto, Kompas)