TK Muslim di Jerman Ditutup Karena Bacaan Yang Tidak Layak
Alexander Pearson
27 Maret 2019
"Al Nur“, satu-satunya taman kanak-kanak Islam di Rheinland Pfalz ditutup karena terbukti menggunakan bahan bacaan yang dianggap tidak layak untuk murid taman kanak-kanak.
Foto: picture-alliance/dpa/P. Zschunke
Iklan
Satu-satunya taman kanak-kanak Islam di negara bagian Jerman, Rheinland Pfalz, kalah banding di pengadilan dan harus ditutup. Pengadilan tata usaha negara Jerman membenarkan adanya kekhawatiran pemerintah negara bagian setempat akan hubungan taman kanak-kanak tersebut dengan ideologi Islam tertentu.
Menurut pengadilan tata usaha kota Mainz, keputusan pemerintah mencabut lisensi "Al Nur" berdasarkan bukti adanya hubungan antar pengelola TK Al Nur dengan ideologi Salafi ekstrimis.
Pengadilan menegaskan, hubungan tersebut akan menyulitkan anak-anak di TK Al-Nur untuk berintegrasi dengan masyarakat Jerman dan membatasi kebebasan mereka.
Upaya Arab Nil-Rhein, asosiasi yang mengelola taman kanak-kanak Al Nur, untuk menjaga jarak dengan kaum Salafi, dinilai kurang meyakinkan oleh pihak pengadilan.
TK Islam di Jerman
Sebuah taman kanak-kanak Muslim di Karlsruhe, Jerman berperan dalam proses integrasi budaya. Sejak ada TK Islam, seperti TK Halimah, makin banyak ibu Muslim di Jerman yang kembali bekerja lebih awal setelah melahirkan.
Foto: DW/N. Steudel
Memenuhi kebutuhan orangtua Muslim
Ide mendirikan TK Muslim Halima muncul di tahun 1993 untuk memenuhi kebutuhan orangtua beragama Islam di Jerman.
Foto: DW/N. Steudel
Motivasi utama
Saat itu yang menjadi tujuan adalah mengajarkan anak-anak tentang materi agama seperti berdoa, mengenal budaya Islam atau hari besar penting seperti Idul Adha dan Idul Fitri.
Foto: DW/N. Steudel
Baca buku cerita
Selain pengenalan budaya atau ritual Muslim pada umumnya, di TK ini juga dilakukan kegiatan-kegiatan yang sama dengan TK pada umumnya di Jerman, seperti misalnya membaca buku cerita.
Foto: DW/N. Steudel
Belajar disiplin
Seperti layaknya TK pada umumnya di Jerman, di TK Muslim ini anak-anak juga belajar disiplin, misalnya menggosok gigi sesudah makan. Gelas-gelas diberi nama agar tak tertukar.
Foto: DW/N. Steudel
Wajah pendidik
Berikut wajah salah satu pengajar di taman kanak-kanak Muslim, Mirela Dedajic. Daftar tunggu untuk bisa diterima di TK Muslim sangat panjang. Banyak yang langsung mendaftarkan anaknya setelah baru dilahirkan.
Foto: DW/N. Steudel
Pendidik berbahasa Jerman
Şeyma Bozkurt sudah bekerja di TK Halima sejak awal berdirinya TK Halima. Ia keturunan Turki dan menguasai bahasa Jerman dengan sempurna.
Foto: DW/N. Steudel
Menguasai minimal dua bahasa
Berikut foto kedua pendidik bersama anak-anak TK yang lucu-lucu. Anak-anak lain di TK Halima biasanya menguasai bahasa Arab dan Jerman. TK Halima berikut akan segera dibuka. Anak-anak mulai umur 1 tahun bisa diterima di sana. Para pengelola berharap, dengan demikian akan semakin banyak anak beragama Kristen yang didaftarkan.
Foto: DW/N. Steudel
7 foto1 | 7
"Kami menerima konstitusi"
Ketua Arab Nil-Rhein, Samy El Hegrasy, akan kembali mengajukan banding di tingkat pengadilan yang lebih tinggi. Menyusul keputusan pemerintah negara bagian untuk mencabut lisensi di bulan Februari lalu, Hagrasy menolak semua tuduhan atas keterkaitannya dengan asosiasi lain yang mendukung salafisme.
"Kami menyetujui dan menghormati konstitusi yang berlaku," ujarnya.
Tetapi kekhawatiran pemerintah negara bagian setempat mulai timbul setelah terbukti adanya literatur tidak pantas yang digunakan sebagai bahan pembelajaran di TK Al Nur , serta fakta bahwa Arab Nil-Rhein pernah bekerja dengan figur dari gerakan Salafi.
Pengadilan tata usaha kota Mainz menunda penutupan taman kanak-kanak Al Nur dari 31 Maret sampai 30 Apil untuk memberi waktu kepada orang tua murid TK untuk mempersiapkan pendaftaran anak-anaknya ke TK yang baru. (ck/vlz)
Menyusuri Jejak Islam di Jerman
Beragam masjid dan komunitas Islam, sebagian kecil tempat menarik yang dikunjungi 14 intelektual Muslim Indonesia saat studi trip "Life of Muslims in Germany". Lokasi mana saja yang mereka singgahi? Berikut rangkumannya.
Foto: Privat
Singgah di Masjid Indonesia
Masjid Al-Falah, nama masjid milik warga Indonesia yang terletak di Berlin. Masjid yang dikelola Indonesische Weisheits und Kulturzentrum (IWKZ) dulunya merupakan pub. Para Intelektual muda yang mengikuti study trip Goethe tersebut tiba tepat Sholat Jumat sehingga bisa menikmati kuliner indonesia yang dijual untuk membiayai operasional masjid. Tiap tahun 4000 Euro harus dikumpulkan secara swadaya.
Foto: DW
Mengapa Warga Indonesia Berbeda?
Ketua IWKZ Dimas Abdirama menceritakan bahwa kegiatan di Masjid lebih berfokus sebagai ruang belajar bagi mahasiswa. "Dibandingkan pendatang lainnya, kita mempunya daya pikat kepada pemerintah Jerman yang membutuhkan banyak tenaga ahli," ujar ahli bioteknologi medis itu. Ada sekitar 4000 mahasiswa Indonesia studi di Jerman. Potensi ini menurut Dimas membuat orang Indonesia mudah diterima.
Foto: DW
Melihat Toleransi di Neukölln
Lewat program "Life of Muslims in Germany", 14 kaum intelektual muda Indonesia tidak hanya diajak berkenalan dengan Muslim Indonesia. Mereka juga diajak ke Neukölln untuk melihat bagaimana umat Muslim dari beragam aliran dapat hidup berdampingan. Masjid Al-Salam NBS milik aliran Sunni itu menurut Syekh Muhammad Thaha tidak hanya digunakan sebagai tempat keagamaan tapi juga kegiatan kemanusiaan.
Foto: DW/K. Salameh
Masjid yang Terbuka
Meski mayoritas umatnya adalah Sunni, namun menurut Syekh Thaha, masjid Al-Salam terbuka untuk seluruh jamaah, termasuk Syiah. "Kami tidak memaksakan ajaran tertentu, siapapun bisa datang ke masjid ini,"katanya. Masjid ini juga terbuka bagi seluruh warga Jerman yang ingin mengenal Islam atau warga imigran yang ingin belajar bahasa Arab.
Foto: DW
Alevi, Minoritas yang Mudah Diterima
Di Jerman, mayoritas umat Islam adalah Sunni (74%), namun di posisi ke dua ditempati kelompok asal Turki bernama Alevi (13%). Menurut Claudia Dette, pemandu perjalanan kami, Alevi kelompok yang paling mudah berintegrasi setelah Ahmadiyah. Rahasianya menurut Kadin Sahir adalah karena Syariah bagi Alevi adalah tunduk mengikuti konstitusi yang ada di negara di mana mereka berada.
Foto: DW
Masjid Dalam Gereja
Ibn-Ruysd Goethe, "Masjid Liberal" yang mengakui imam perempuan di Jerman dan terletak di gereja turut disambangi rombongan. "Masjid ini hadir sebagai bentuk protes atas paham ekstrimis di Jerman. Mereka menyebut diri liberal untuk memahami Islam pada konteks sekarang. Pada titik ini mungkin kita bisa sepakat dalam rangka mengaktualkan Islam," kata Ahmad Muttaqin, salah seorang peserta study trip.
Foto: Getty Images/S. Gallup
Menangkal Radikalisme Lewat Masjid
Sebanyak 50,6% 2,2 juta umat Islam di Jerman memiliki latar belakang keturunan Turki, itulah sebabnya di salah satu masjid terbesar milik warga Turki di Berlin, masjid Sehitlik, program yang ditawarkan lebih khusus lagi. Para peserta yang disambut Pinar Cetin, pemimpin Bahira menjelaskan organisasinya bertugas untuk melakuan konsultasi demi mencegah anak muda Muslim terhindar dari paham radikal.
Foto: DW
Mari Belajar Bersama
Tak melulu mengunjungi masjid. Peserta "Life of Muslims in Germany" juga singgah ke lembaga swadaya Morus14. Sebanyak 100 sukarelawan dari berbagai latar belakang budaya dan kelompok meluangkan waktunya mendampingi dan mengajar anak-anak berlatarbelakang imigran. Program seperti ini bertujuan untuk menanggulangi masalah integrasi yang kerap menjadi pekerjaan besar di Jerman.
Foto: DW
Merawat Ingatan
Beberapa museum yang dikunjungi terkait dengan Islam, namun di Museum The Story of Berlin, para peserta berkenalan dengan sejarah Jerman. Kisah Jerman Barat dan Timur serta diskirimasi di era NAZI jadi pengingat bagaimana perbedaan dapat memicu konflik. "Kita kerap melihat sejarah hal yang jauh dari kehidupan. Sementara bagi mereka sejarah hidup bersama kita sekarang," kata Heychael berkomentar.
Foto: DW
Mudah dan Nyaman
Selama berkeliling di Berlin, para peserta hilir mudik menggunakan beragam alat transportasi, seperti kereta bawah tanah. Jadwal yang teratur serta tempat yang nyaman menjadi pengalaman berbeda yang didapat bila dibandingkan dengan transportasi di tanah air. Tak sedikit yang terheran-heran ketika mengetahui sebagian besar tahanan di Berlin justru penumpanjg yang tertangkap tidak membeli tiket.
Foto: DW
Life of Muslims in Germany
Selama hampir 2 minggu, 14 intelektual muda Muslim Indonesia dari berbagai latar belakang komunitas Islam dan profesi di Indonesia tersebut diajak merasakan seperti apa kehidupan umat Muslim di Jerman. Lewat study trip "Life of Muslims in Germany" yang digagas Goethe Insitut Indonesia, peserta dapat mengenal kebijakan Jerman atas 4,7 juta warga Muslim yang hidup di negeri itu. (ts/rzn) Ed:ap