1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Guru Para Intelektuil dan Pemberontak

Andy Budiman29 Juli 2013

Seorang filsuf asal Jerman menjadi intelektuil penting di Indonesia. Lewat filsafat, ia melahirkan generasi intelektuil serta kelompok muda pemberontak yang berani menentang rezim Orde Baru.

Foto: gemeinfrei

Awal `70an adalah masa konsolidasi awal kekuasaan Orde Baru. Periode yang ditandai dengan proyek teknokrasi. Masa ketika keputusan politik direduksi menjadi urusan teknis, zonder diskusi apalagi perdebatan.

Untuk menopang proyek teknokratisasi, dunia pendidikan didorong mencetak “manusia pembangunan”, sebuah generasi yang punya keahlian teknis untuk menopang pertumbuhan ekonomi namun tanpa sikap kritis.

Pada periode itulah seorang pastor muda asal Jerman, ditugaskan melawan arus. Franz Magnis-Suseno, seorang Imam muda dari Serikat Jesuit, pada awal `70an bersama rekan-rekannya dari ordo Fransiskan mendirikan Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, di Jakarta.

Generasi Pemberontak

Pada saat arus utama pendidikan diarahkan untuk membangun keterampilan teknis, STF Driyarkara menawarkan kritisisme. Mempertanyakan kembali arti kemajuan dan proyek modernisme yang menjadi mainstream rezim pembangunan saat itu.

Sekolah filsafat Driyarkara adalah magnet bagi para pembangkang. Inilah oase bagi pikiran bebas. Membuka kesempatan untuk mempelajari dan mendiskusikan hal-hal tabu seperti Marxisme, yang secara resmi dilarang oleh pemerintah Orde Baru.

Michael Dhadack Pambrastho, adalah aktivis mahasiswa Bandung awal ‘90an. Ia termasuk orang yang terpikat dengan “pikiran bebas” di sekolah filsafat yang didirikan Franz Magnis.


“Aku begitu antusias. Senin siang berangkat dari Bandung mengejar kelas filsafat yang dimulai sore di Driyarkara Jakarta. Selesai kuliah, malam itu juga langsung pulang ke Bandung karena paginya ada kuliah.“

Tapi hambatan jarak dan keterbatasan finansial sebagai mahasiswa, memaksa ia berhenti.

“Maka dengan sedih kutinggalkan masa-masa bulan madu dengan filsafat,“ kenang Dhadack.

Tapi kursus itu membekas. Selain memperkuat kritisisme, kelas filsafat itu mempertemukannya dengan para aktivis mahasiswa dari kota lain.

Savic Aliel`ha adalah contoh lain. Ia adalah tokoh gerakan mahasiswa `98 yang terpikat dengan suasana diskursif dan terbuka yang ditawarkan sekolah yang didirikan Franz Magnis.

“Karena membuka cakrawala yang luas bagi tumbuhnya pemikiran kritis dan--dalam skala tertentu -- subversif,“ kata Savic, tokoh Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (FAMRED), sebuah organisasi mahasiswa paling radikal pada masa orde baru, kepada Deutsche Welle.

Tentang Franz Magnis yang menjadi pembimbing akademiknya semasa kuliah di STF Driyarkara, Savic berkomentar: ”Ia mengajarkan mahasiswa untuk berfikir filosofis dan kritis“.

Bagaimana komentar Goenawan Mohamad tentang sosok Franz Magnis? klik untuk baca selengkapnya

Dalam perbincangan dengan Deutsche Welle saat berkunjung ke Bonn baru-baru ini, Franz Magnis mengatakan: “Filsafat menarik, karena para filsuf mengajukan pertanyaan-pertanyaan kunci dalam bidang etik, politik, dan seni yang tidak ditampung di dunia akademik Indonesia pada masa itu“.

“Jadi kami mengisi sebuah lubang di pasar ide-ide.”

Menurut Magnis, filsafat membantu mahasiswa menjawab pertanyaan tentang siapa itu manusia? Bagaimana Negara harus disusun? dan di manakah kebohongan-kebohongan dalam ekonomi.

Hal lain, STF Driyarkara sejak awal menerapkan sikap terbuka terhadap seluruh pemeluk agama.

Guru Para Intelektuil

Kebijakan STF Driyarkara, mencerminkan sikap inklusif Franz Magnis. Sekolah katolik ini membuka diri lebar-lebar bagi mahasiswa dari kalangan agama lain. Semua diperlakukan sama dan dihormati.

“Banyak siswa Muslim yang ikut, kami ingin memperlihatkan bahwa orang yang takwa tidak perlu berhenti berpikir. Jadi agama dan pikiran itu sebaiknya bersama,” kata Franz Magnis.

Salah seorang murid Franz Magnis adalah Akhmad Sahal, seorang intelektuil muda dari kalangan Nahdatul Ulama (NU), yang kini sedang menyelesaikan studi doktoral tentang sejarah Israel di University of Pennsylvania, Amerika Serikat.

Bagi Sahal, perhatian Franz Magnis yang luas, termasuk dalam soal hubungan antar agama, menunjukkan kiprahnya yang penting.

“Kalau di Islam kita punya Cak Nur dan Gus Dur, di Katolik ada Franz Magnis, selain juga Romo Mangunwijaya…”

Selain Magnis, ketiga intelektual besar lain yang disebut oleh Sahal telah wafat.

Sementara, kolumnis terkenal Goenawan Mohamad menganggap jasa terbesar Franz Magnis adalah mempersiapkan sebuah generasi intelektual bagi Indonesia.

“Sebagai guru di sekolah filsafat terbaik di Indonesia, Franz Magnis menyiapkan para pemikir yang serius, yang penting bagi dunia intelektuil”.

Ia membangun tradisi disiplin atau rigour dalam cara berpikir di kalangan intelektuil Indonesia, kata Goenawan.

Iman dan Akal

Selain itu, bagi Goenawan, Franz Magnis, adalah sebuah contoh.

”Ia jadi tauladan buat berpikir jernih dan berhati nurani. Hidup tanpa mendekatkan diri kepada kekuasaan -- meskipun tidak a priori menolak politik. Ia juga menunjukkan bukti bahwa seorang bisa jadi rohaniawan Katolik tapi tetap terbuka untuk pendapat dari orang yang berbeda Iman.”

Perdebatan antara Iman versus Akal adalah tema besar yang menjadi kontroversi di Indonesia, seiring menguatnya konservatisme agama beberapa waktu terakhir.

Tapi bagi Franz Magnis, Iman dan pikiran bebas bukanlah dua entitas yang saling menegasikan. Orang beriman tidak perlu takut pada pikiran bebas.

“Iman itu bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Orang beriman harus menempatkan Imannya dalam situasi manusia, harus bisa menjawab pertanyaan manusia yang mungkin kritis, untuk itu filsafat membantu,“ kata Magnis.

Pemberani

Franz Magnis adalah intelektual yang berani. Pada masa ketika banyak orang Indonesia masih mengidap komunis phobia ia menulis buku "Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme“.

Buku itu sempat dirazia dari toko-toko buku dan dibakar oleh Aliansi Anti-Komunis yang menuduh Magnis telah menyebarkan ajaran Komunisme. Anggapan yang keliru, karena buku itu justru berisi kritik atas praktek Marxisme.

“Saya tidak pernah menjadi seorang Marxis, saya mengeritik Marx,“ kata Magnis sambil menambahkan bahwa Marx mempunyai pemikiran yang sangat merangsang dan perlu diperhatikan. Mempelajari Marxisme penting karena pemikiran Marx sangat mempengaruhi pikiran manusia sekarang.

Sisi Gelap Manusia

Sejak tahun 1977, Franz Magnis resmi menjadi warga negara Indonesia. Meski sangat mencintai Indonesia, tapi ada satu hal yang selalu mengganggu pikirannya.

“Lima puluh dua tahun lebih tinggal di Indonesia, saya melihat begitu banyak darah mengalir, dan saya melihat bahwa orang-orang yang baik-baik, sepertinya tidak tergerak hatinya saat terjadi pengusiran, penyerangan, atau pembunuhan.”

Kekerasan dan pengusiran warga Syiah adalah ancaman bagi masa depan kehidupan toleransi IndonesiaFoto: picture-alliance/dpa

Magnis merujuk pada tragedi pembantaian pasca`65, konflik etnis, kerusuhan Mei `98 hingga kekerasan sektarian yang dialami pemeluk Ahmadiyah dan Syiah, beberapa waktu terakhir.

“Kok kekerasan seperti itu secara kolektif diterima?“ tanya Magnis lirih.