Bagaimana tantangan yang dihadapi Presiden Joko Widodo dalam masa jabatan kedua dan bagaimana pula peran organisasi Islam?
Iklan
Pemilu 2019 dianggap sebagai pemilu yang mempolarisasi masyarakat. Menurut cendikian muslim Paramadina, Luthfi Assyaukanie, ada beberapa faktor yang menjadi faktor polarisasi tersebut yakni kepentingan ekonomi politik dan agama. Kepada Deutsche Welle ia menyampaikan beratnya tantangan yang akan dihadapi Presiden Joko Widodo dalam lima tahun ke depan.
DW: Pemerintahan baru di depan mata. Tantangan apa yang akan dihadapi pemerintahan Presiden Joko Widodo pada periode kedua ini?
Luthfi Assyaukanie: Tantangan pertama yang akan dihadapi oleh Jokowi adalah menyatukan masyarakat kita, pemilih kita yang terpolarisasi akibat pemilu, baik sebelum dan menjelang pemilu. Kita tahu bahwa masyarakat kita terbelah antara pendukung Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Saya kira tantangan terbesar adalah itu, bagaimana ia memberikan gestur yang positif untuk merangkul lawan-lawan yang selama ini di kubu Prabowo. Saya melihat Jokowi sudah berusaha melakukan itu, jadi dia dalam siaran pers, media sosial yang saya ikuti, Jokowi berusaha merangkul orang-orang yang selama ini tidak memilihnya. Saya kira itu tantangan pertama yang harus ia hadapi.
Tantangan berikutnya adalah, bagaimanapun dengan approval rating Jokowi yang lumayan tinggi, kalau kita lihat dari survei kepuasan publik terhadap kerja Jokowi cukup tinggi, 60-70% puas, tetapi 60-70% ini tidak berkorelasi dengan pilihan massa terhadap dia. Meskipun angkanya cukup tinggi, 55%. Kalau di Amerika ini sudah disebut dengan kemenangan telak, lebih dari 10%, atau 10%. Namun, angka ini lebih kecil dari approval rating yang Jokowi dapatkan.
DW: Pertanyaannya adalah, ke mana itu orang-orang yang puas?
LA: Ada beberapa penjelasannya, salah satunya adalah bahwa berita-berita palsu itu bermain intens di sosial media, di masyarakat, di rumah-rumah ibadah itu yang melatari orang-orang pada satu sisi menyukai Jokowi, tetapi pada sisi lain dia tidak memilih Jokowi. Itu tantangan terbesar.
Saya tidak tahu cara mengatasinya, tetapi aspek-aspek seperti bagaimana kanal-kanal informasi berjalan itu harus diperhatikan. Kedua adalah solusi umum mendidik dan mencerahkan masyarakat agar mereka tidak menelan mentah-mentah begitu saja informasi yang mereka dapatkan. Tantangan-tantangan seperti ini sangat riil.
DW: Jokowi diharapkan menjadi sosok yang lebih tegas, namun malah mengambil langkah yang yang bertentangan dengan hak asasi, misal soal hukuman mati, lalu membatasi kebebasan, pembubaran ormas, kemudian yang terakhir adalah pembatasan media sosial?
LA: Ini adalah dilema besar yang dihadapi Jokowi sekarang ini. Di satu sisi, negara diminta untuk tegas menindak dan mengantisipasi tindak kerusuhan yang akan meluas. Tidak ada jalan lain kecuali polisi dan aparat keamanan untuk bertindak jelas. Aturannya jelas, misalnya setelah jam 18.00, massa tidak boleh berkumpul melakukan demonstrasi. Kalau masyarakat tetap melakukan itu, berarti melanggar hukum. Daripada nanti lahir potensi kesemrawutan, itu harus ada tindakan tegas. Menurut saya, apa yang dilakukan polisi kemarin sudah benar, bahkan itu standarnya lumayan lunak, cara pendekatan, dll. Di negara demokrasi-demokrasi yang sudah mapan, kalau ada demonstrasi seperti itu, aparat langsung sikat, karena pertama itu akan mengganggu ketentraman umum, bukan 10.000 atau 1.000 orang yang melakukan demonstrasi itu yang menjadi perhatian, tetapi bagaimana menyelamatkan 10 juta warga Jakarta agar tetap hidup dengan aman dan nyaman. Itu yang harus lebih diperhatikan. Dasar tindak kepolisian yang agak represif adalah menyelamatkan warga yang lebih besar, di samping melanggar hukum.
Kisruh Berdarah Protes Hasil Pilpres
Eskalasi kekerasan memuncak 21 Mei malam dan menyisakan sejumlah korban tewas. Presiden Joko Widodo mengatakan tidak akan menolerir para perusuh dan memerintahkan penangkapan atas mereka yang terlibat pelanggaran hukum.
Foto: AFP/B. Ismoyo
Eskalasi Berawal Dari Lemparan Batu
Sedikitnya enam orang meninggal dunia dan ratusan luka-luka saat massa pendukung Prabowo Subianto bentrok dengan aparat keamanan saat memrotes hasil penghitungan suara di depan gedung Bawaslu, Jakarta. Kisruh diklaim berawal ketika pendemo melempar batu ke arah barisan kepolisian.
Foto: AFP/B. Ismoyo
Api di Jalan Raya
Para pendemo mengamuk saat hendak dibubarkan polisi. Sebagian lalu merusak asrama Brigade Mobil Kepolisian dan membakar sejumlah kendaraan. Polisi menangkap sejumlah orang yang diduga sebagai provokator kerusuhan. Kabarnya sebuah mobil ambulans milik partai Gerindra juga ikut diamankan setelah kedapatan membawa batu untuk demonstran.
Foto: AFP/D. Krisnadhi
Arus Balik di Media Sosial
Sebelum aksi protes, Prabowo Subianto sempat meminta massa pendukungnya agar tetap berlaku damai dan tenang. Namun himbauan itu tidak digubris sebagian pendemo. Akibatnya tagar #TangkapPrabowo menggema di Twitter dengan lebih dari 220 ribu cuitan. Netizen juga menyoroti pidato Amien Rais yang menyamakan aksi polisi layaknya PKI dengan menyerukan penangkapan tokoh Partai Amanat Nasiona (PAN) itu.
Foto: AFP/B. Ismoyo
Mempermasalahkan Angka, Menggoyang Negara
Massa yang tergabung dalam Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat (GNKR) menuntut agar penghitungan suara diulang lantaran mencurigai kecurangan sistematis. Prabowo Subianto sendiri berniat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Namun gugatan sebelumnya ke Bawaslu ditolak lantaran BPN hanya mengirimkan tautan berita online sebagai barang bukti.
Foto: Reuters/W. Kurniawan
Manuver SBY dari Singapura
Koalisi Prabowo-Sandiaga Uno mulai mengalami keretakan. Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono yang sebelumnya mendukung capres 02 berbalik badan mengakui hasil penghitungan suara dan memberikan ucapan selamat atas kemenangan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin. Ucapan serupa sebelumnya sudah dilayangkan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan kepada Joko Widodo.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Tudingan Miring Kepolisian
Polisi mengklaim demonstrasi di Jakarta bukan aksi spontan, melainkan telah direncanakan. Sejumlah demonstran diklaim mengaku mendapat bayaran untuk ikut bergabung dalam aksi protes. Pemerintah sebelumnya berusaha meredam demonstrasi dengan menebar isu makar kepada kubu oposisi.
Foto: DW/R.A. Putra
Pukulan Balik Pemerintah
Menteri Koordinasi Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto, mengaku pemerintah memblokir akses media sosial demi menghadang penyebaran kabar palsu. Hal ini dipicu oleh maraknya fitnah kepada kepolisian yang diposisikan berhadapan dengan "umat Islam." Wiranto juga mengklaim telah mengantongi daftar berisikan nama-nama terduga provokator kerusuhan.
Foto: DW/R.A. Putra
Manuver Hukum Jelang Pelantikan
BPN Prabowo-Sandiaga memiliki waktu hingga 11 Juni untuk mengajukan gugatan terkait hasil penghitungan suara kepada Mahkamah Konstitusi. Seusai jadwal yang telah ditetapkan KPU, proses hukum tersebut akan berakhir pada 24 Juni saat pembacaan keputusan. Sementara presiden dan wakil presiden terpilih akan dilantik pada bulan Oktober 2019. (rzn/rap/hp: dari berbagai sumber)
Foto: DW/R.A. Putra
8 foto1 | 8
DW: Kalau dilihat dari bagaimana pengaruh politisasi agama dalam pemilu ke depan, gerakan Islam sendiri di Indonesia akan seperti apa?
LA: ini tantangan berikutnya yang harus dihadapi Jokowi, harus diakui bahwa gelombang politik identitas itu semakin menguat selama 5-6 tahun terakhir. Ekspresi politiknya itu memuncak pada kontes-kontes demokrasi, pemilu baik itu tingkat nasional seperti pemilu kemarin atau lokal, seperti pilkada 2017. Sebenarnya ini fenomena yang terjadi di banyak negara.
Dalam kasus Indonesia, yang harus kita lakukan adalah mungkin organisasi-organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah harus lebih aktif lagi, lebih terlibat dalam kegiatan mencairkan mengentalnya politik identitas yang muncul. Dari pihak pemerintah adalah semacam peringatan bahwa agama itu juga harus dikelola. Ingat tidak ketika Jokowi naik ke pemerintahan, salah satu alasan dia tidak mau mengurusi agama, karena dia ingin fokus pada kerja, kerja, kerja. Menurut dia saat itu, agama ada yang mengurus tapi ternyata apa yang dia bayangkan itu berbeda di realitas sosial. Itu harus dikelola. Orang-orang yang ada pada zaman SBY itu diakomodasi, tiba-tiba menjadi liar karena tidak diakomodasi negara. Ekspresinya macam-macam dari yang tidak puas, ada yang selalu mengecam pemerintah. Ini adalah bagian dari pengabaian Jokowi, yang tidak ia sangka bahwa pengabaian itu berdampak negatif. Ke depan mungkin harus ada strategi bagaimana mengelola persoalan –persoalan yang ada, mendekati NU misalnya. Seperti yang kita tahu dalam pemerintahan awal-awal Jokowi itu tidak dilakukan, itu baru dilakukan setelah ada 212, setelah ada kasus Ahok, dst. Baru belakangan Jokowi menyadari hal itu.
DW: Anda melihat dari Nahdlatul 'Ulama sendiri kurang melakukan sesuatu dalam rangka perdamaian dan meredam gerakan-gerakan ekstremisme ini?
LA: NU sebagai organisasi kadang-kadang bermain di dua kaki, sebagai organisasi jamiyah, organisasi sosial, NU pada dasarnya netral, lembaga Islam yang cukup moderat, yang percaya demokrasi adalah sistem yang harus didukung Pancasila adalah platform negara yang final, dst. Persoalannya adalah ada aspek-aspek di dalam NU yang bersifat politis, kita tahu bahwa NU pada tahun 2014 mendukung Prabowo, sekarang mendukung Jokowi. Itu merupakan tindakan politis orang yang sama, tapi bisa switch begitu berubah. NU sebagai gerakan sosial menjadi moderat tetapi tokoh-tokoh elit politiknya bisa menjadi sangat politis.
Lini Masa Drama Pilpres 2019
Pesta demokrasi di tahun 2019 ini menyisakan banyak sekali kisah tak terlupakan. DW sajikan kronologi momen penting Pemilu 2019 kepada Anda.
Foto: Reuters/W. Kurniawan
Dua kandidat di Pilpres 2019
Pada 20 September 2018, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan nama pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk Pemilu 2019. "Hasil rapat menetapkan bahwa 2 calon yang mendaftarkan ke KPU, Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, dinyatakan memenuhi syarat," ujar Ketua KPU Arief Budiman dalam jumpa pers di kantor KPU, seperti dikutip dari Detik.
Foto: picture-alliance/AP Photo/T. Syuflana
Kampanye akbar Prabowo-Sandi
Masa kampanye untuk Pemilu 2019 berlangsung dari 23 September 2018 hingga 13 April 2019. Pasangan 02 melaksanakan kampanye terakhirnya di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) pada Minggu, 7 April 2019. Prabowo menyebutkan bahwa satu juta pendukungnya hadir dalam kampanye itu. Badan Pemenangan Nasional (BPN) mengklaim kampanye akbar pasangan 02 adalah kampanye terbesar di Pilpres 2019.
Foto: Getty Images/E. Wray
Kampanye akbar Jokowi-Ma'ruf
Kampanye terbesar pasangan 01, yang diselenggarakan di GBK pada 13 April 2019, diberi tajuk "Konser Putih Bersatu". Acara tersebut didukung oleh ratusan artis kondang tanah air, seperti Slank, Glenn Fredly dan Ruth Sahanaya. Ketua TKN Jokowi-Ma'ruf, Erick Thohir meyakini jumlah peserta yang hadir lima kali lipat lebih banyak dari massa kampanye akbar Prabowo-Sandi.
Foto: DW/R. Akbar Putra
TPS unik meriahkan pemilu
Setelah masa tenang pada 14-16 April 2019, masyarakat pun merayakan pesta demokrasi terbesar di Indonesia pada 17 April. Banyak panitia pemilu memanfaatkan momentum ini untuk menyalurkan kreatifitas mereka. Di foto tampak tempat pemungutan suara (TPS) dihiasi dengan gambar pahlawan super dari Marvel. TPS ini berlokasi di Kelurahan Sempidi, Kabupaten Badung, Bali.
Foto: DW/K. Surya Sanjaya
Pemilu yang kompleks
Pemilihan presiden yang dibarengi dengan pemilihan anggota legislatif menyisakan duka untuk para pejuang demokrasi. Lebih dari 500 petugas pemilu meninggal dunia dan ribuan dirawat di rumah sakit. Dalam keterangan resminya, Kementerian Kesehatan menyatakan beragam penyakit dalam, seperti gagal jantung, hipertensi dan stroke, menjadi penyebab utama meninggalnya para petugas.
Foto: Reuters/W. Kurniawan
Jokowi menang
KPU mengumumkan hasil pemilu pada Selasa (21/05) dini hari. KPU menyatakan pemenang Pilpres 2019 adalah pasangan 01, Jokowi-Ma'ruf dengan perolehan suara sekitar 55,5 persen (85.607.362 suara). Sementara Prabowo-Sandi berhasil mendulang sekitar 44,5 persen suara (68.650.239 suara). Jokowi menyampaikan pidato kemenangannya di depan warga Kampung Deret, Johar Baru, Jakarta Pusat.
Foto: Rusman - Biro Pers Sekretariat Presiden
Massa rusuh
Prabowo-Sandi menyatakan menolak hasil Pilpres 2019 dan berniat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Para pendukung pasangan 02 menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Bawaslu, Jakarta Pusat. Bentrok antara massa dengan aparat keamanan pecah pada Selasa (21/05) malam hingga Rabu (22/05) dini hari. Delapan orang meninggal dan ratusan luka dalam kerusuhan ini.
Foto: AFP/B. Ismoyo
Jokowi tanggapi kericuhan
Pada konferensi pers 22 Mei di Istana Merdeka, Presiden Jokowi menegaskan bahwa ia tidak akan memberikan toleransi pada siapa pun yang mengganggu keamanan dan persatuan negara. Dalam keterangannya, Presiden Joko Widodo menjamin bahwa situasi dapat dikendalikan dan masyarakat tidak perlu merasa khawatir. Jokowi juga mengajak semua pihak untuk kembali menjaga kerukunan bersama.
Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden/Kris
Ratusan perusuh ditangkap
Saat terjadi bentrok 21-22 Mei, aparat gabungan TNI-Polri berhasil menangkap ratusan pendemo yang menjadi provokator aksi. Ditemukan bahwa kebanyakan perusuh yang ditangkap berasal dari luar Jakarta dan adalah massa bayaran karena polisi juga menemukan puluhan amplop berisi uang sejumlah 200 ribu hingga 500 ribu rupiah. Bersama mereka juga didapati senjata tajam, bom molotov dan busur panah.
Foto: Reuters/W. Kurniawan
Demo selesai, pasukan oranye beraksi
Kamis (23/05) kondisi di sekitar Gedung Bawaslu, Jakarta, telah steril dari massa unjuk rasa. Tidak ada kerumunan orang yang berkumpul di sana seperti hari-hari sebelumnya. Pasukan oranye dari Dinas Kebersihan DKI Jakarta pun turun ke jalan membersihkan sampah dan sisa-sisa benda yang dibakar dalam demonstrasi dua hari itu.(Teks: Zakia Ahmad/hp)