Hak asasi minoritas dan imigran diserang kaum populis. Pemerintah yang mengelak dari tanggungjawab untuk melindungi pengungsi juga ikut menyerang hak mereka. Demikian ditegaskan Sekjen PBB Antonio Guterres.
Iklan
Sekjen PBB Antonio Guterres menyampaikan isu sensitif tersebut di depan Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa hari Senin ini. Gutteres menekankan, "Kita melihat bertambahnya fenomena populisme dan ekstrimisme yang sama sekali tidak wajar." Ia menambahkan, itu berasal dari rasisme yang terus tumbuh, juga rasa anti orang asing, anti semitisme dan anti Muslim. Hal itu disampaikan Guterres ketika ia membuka sesi perundingan awal tahun Dewan HAM PBB.
Rohingya: Genosida di Pelupuk Mata
Minoritas muslim di Myanmar hidup di bawah kezaliman mayoritas. Mereka terusir dari rumah sendiri, tidak memiliki kewarganegaraan dan selamanya dinistakan. Inilah potret kelompok etnis paling tertindas di dunia saat ini.
Foto: AP
Pelarian Kaum Terbuang
Sering disebut sebagai minoritas paling teraniaya di dunia, eksistensi Rohingya di Myanmar ibarat bertepuk sebelah tangan. Mereka tidak diakui sebagai warga negara, tidak punya hak sipil dan terjajah di tanah sendiri. Hingga kini ratusan ribu kaum Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh, Thailand, Malaysia dan Indonesia.
Foto: Getty Images/Afp/C. Archambault
Warisan Kolonialisme
Konflik antara etnis di Myanmar adalah warisan era kolonialisme. Sejak Inggris menduduki kawasan Arakan alias Rakhine 1825, ratusan ribu kaum muslim Bangali diangkut ke Rakhine untuk bekerja. Inggris juga membangun sistem Zamindari yang mengizinkan tuan tanah asal Bangladesh menduduki lahan-lahan milik masyarakat pribumi.
Foto: Reuters
"Buruh Ilegal"
Membanjirnya buruh migran asal Chittagong mendorong pertumbuhan perekonomian kolonial di Rakhine. Namun masyarakat pribumi kian tersisih. Sejahrawan mencatat, saat itu mayoritas Buddha di Rakhine meyakini lahan dan lapangan kerja buat mereka dirampas oleh "kaum pendatang ilegal."
Foto: Getty Images/Afp/C. Archambault
Separatisme Kelompok Islam
Pada dekade 1940an, sebagian warga muslim Rohingya mendeklarasikan kesetiaan pada Pakistan yang dipimpin Muhammad Ali Jinnah. Mereka bahkan mengundang Islamabad untuk menduduki Rakhine. Ketika ditolak, kelompok tersebut melancarkan gerakan jihad yang bertujuan membentuk negara Islam di utara Rakhine.
Foto: Getty Images
Pembantaian di Arakan
Ketegangan etnis di Rakhine meruncing setelah Inggris mempersenjatai kelompok muslim Rohingya untuk melawan pasukan Jepang selama Perang Dunia II. Celakanya pasukan yang diberi nama Chittagonian V Force itu lebih banyak meneror warga pribumi beragama Buddha yang cendrung mendukung Jepang. Puncaknya terjadi pada 1942 ketika warga Buddha terlibat saling bantai dengan gerilayawan Rohingya.
Foto: Reuters/Soe Zeya Tun
Tanpa Pengakuan
Setelah kemerdekaan, Myanmar tahun 1948 menetapkan Undang-Undang kewarganegaraan yang tidak mencantumkan Rohingya sebagai salah satu etnis yang diakui negara. Buntutnya etnis minoritas itu tidak mendapat kewarganegaraan dan semakin rentan terhadap diskriminasi.
Foto: Reuters/M.P.Hossain
Petaka di Negeri Jiran
Situasi di negara bagian Rakhine kian runyam menyusul Perang Kemerdekaan Bangladesh 1971 yang mendorong eksodus pengungsi ke Myanmar. Tahun 1975 Duta Besar Bangaldesh di Myanmar, Khwaja Mohammed Kaiser, mengakui ada sekitar 500.000 pengungsi Bangladesh yang melarikan diri ke Rakhine.
Foto: Reuters/M.P.Hossain
Arus Balik
Negosiasi pemulangan pengungsi Bangladesh berlangsung alot antara dua pemerintah. Bangladesh ironisnya menolak mengakui sekitar 200.000 pengungsi yang telah dipulangkan oleh Myanmar. Setelah melewati perundingan panjang, Myanmar setuju menampung para pengungsi tersebut. Proses pemulangan pengungsi pada dekade 1990an yang berada di bawah pengawasan PBB itu berlangsung brutal.
Foto: DW/C. Kapoor
Genosida di Pelupuk Mata
Proses rekonsiliasi antara etnis Rohingya dan mayoritas Buddha di Rakhine berakhir pahit menyusul kerusuhan 2012. Dipicu oleh pemerkosaan dan pembunuhan perempuan Rakhine oleh tiga pria muslim, mayoritas Buddha menyisir kawasan muslim dan membantai 200 penduduk Rohingya. Lebih dari 100.000 ribu terpaksa mengungsi dan kebencian terhadap etnis Rohingya semakin membara di Myanmar.
Foto: picture-alliance/dpa
Bedil Menyalak
Jurang antara mayoritas di Myanmar dengan minoritas muslim melebar seiring perang kemerdekaan yang dilancarkan kaum radikal Islam. Berbagai kelompok, antara lain Rohingya Solidarity Organisation (RSO), mengimpikan negara Islam tanpa kaum Buddha Myanmar. November 2016 silam sekitar 69 gerilayawan separatis Rohingya dan 17 aparat keamanan Myanmar tewas dalam aksi baku tembak di utara Rakhine
Foto: AP
10 foto1 | 10
"Melecehkan HAM adalah penyakit, dan ini penyakit yang terus menyebar," demikian Guterres saat tampil pertama kali di depan dewan sejak ia memangku jabatan sebagai Sekjen PBB itu menekankan, "Dewan HAM PBB harus jadi bagian penyembuh penyakit menular ini."
Diskusikan politik imigrasi Trump
Badan tertinggi PBB yang mengurus hak asasi manusia itu menggelar pertemuan guna mendiskusikan politik AS di bawah presiden Donald Trump, yang berupaya membatasi imigrasi dari sejumlah negara dengan warga mayoritas Muslim. Trump juga menyatakann akan mendeportasi migran yang tidak punya dokumen resmi.
World Stories - US: Illegals immigrants Fear Deportation under Trump
12:00
Dewan HAM juga akan mendiskusikan langkah sejumlah negara Eropa yang menyatakan hendak membatasi gelombang pengungsi dari Timur Tengah.
AS mengklaim kursinya di Dewan HAM PBB di bawah Donald Trump. Sebelumnya AS mengancam akan keluar dari dewan sebelum habis masa keanggotaan tahun 2019. Ancaman tersebut serta langkah AS di bawah Trump, memicu kekhawatiran pada masa depan dewan PBB itu. Sebagian besar kesuksesan Dewan HAM PBB belakangan ini merupakan hasil dukungan AS di bawah Barack Obama. AS memiliki kursi di Dewan HAM PBB selama hampir delapan tahun masa kepresidenan Obama.
Guterres tidak menyinggung dengan tegas pemerintah AS dalam pidatonya. Tetapi ia memberikan peringatan keras mengenai beberapa isu yang kerap dikaitkan dengan Donald Trump oleh para aktivis dan penggiat HAM. Sekjen PBB ini menyebut hak imigran dan pengungsi "diserang."
Pemeran Utama bagi Solusi Krisis Pengungsi
Krisis pengungsi di Eropa kini capai titik tergawat. Jerman dengan politik Pintu Terbuka dipuji sekaligus dikritik picu arus migran tak terkendali. Inilah aktor utama yang bisa jadi solusi krisis pengungsi Eropa.
Foto: DW/D. Cupolo
Angela Merkel, Jerman
Kanselir Jerman, Angela Merkel dipuji sekaligus dikritik tajam dalam krisis pengungsi. Kini arus pengungsi ke Jerman memang turun. Tapi itu bukan hasil politik Merkel, melainkan karena 10 negara lain sudah menutup pintu perbatasannya. Politik pintu terbuka Merkel dinilai bisa runtuhkan Uni Eropa, jika dalam waktu dekat tidak bisa tercapai kesepakatan politik bersama Eropa.
Foto: Reuters/F. Lenoir
Jean-Claude Jüncker, Uni Eropa
Presiden Komisi Eropa yang juga PM Luxemburg, Jean-Claude Jüncker menjadi sasaran kritik anggota Uni Eropa, karena ragu dan tidak tegas menangani krisis pengungsi. Informasi gelombang pengungsi yang siap masuk Eropa sudah diberikan dinas rahasia awal tahun silam. Tapi Uni Eropa tidak bertindak tepat dan biarkan krisis berlarut. Kini Jüncker harus mainkan peran kunci dalam KTT pengungsi.
Foto: Reuters/V. Kessler
Werner Faynmann, Austria
Kanselir Austria Werner Faymann adalah tokoh utama yang mengritik tajam kebijakan pintu terbuka Jerman yang sebelummya tidak dikonsultasikan matang dengan negara tetangga. Austria kewalahan terima serbuan pengungsi yang ingin masuk Jerman. Faynmann menggelar konferensi dengan 10 negara Balkan dan negara lain di rute pengungsi serta memaksa untuk penetapan batasan maksimal kuota pengungsi.
Foto: picture-alliance/dpa/H. Punz
Alexis Tsipras, Yunani
Realita bahwa Yunani jadi korban utama kebijakan Jerman tak bisa ditutupi. Jutaan pengungsi dari Suriah, Irak, Afghanistan dan negara lainnya terus mengalir ke Yunani via Laut Tengah. PM Yunani Tsipras mengeluh, negaranya yang masih dirundung krisis berat, tanggung beban tak adil dalam krisis ini dan makin kewalahan tangani pengungsi. Yunani kini kirim balik sebagian pengungsi ke Turki.
Foto: Reuters/A.Konstantinidis
Ahmet Davutoglu, Turki
PM Turki Ahmet Davutoglu adalah tokoh utama lainnya dalam solusi krisis pengungsi. Uni Eropa sudah tegaskan, kerjasama dengan Turki adalah tema sentral. Tapi taruhannya amat tinggi. Turki dnjanjikan kompensasi 3 milyar Euro. Presiden Turki, Erdogan yang lebih berkuasa dibanding Davutoglu lecehkan janji bantuan Uni Eropa terlalu kecil. Ia juga ancam kirim gelombang tsunami pengungsi ke Eropa.
Foto: Reuters/U. Bektas
5 foto1 | 5
Tanggung jawab sesuai Piagam PBB
Sementara pimpinan Dewan HAM PBB, Zeid Ra'ad Al Hussein mengatakan, negara-negara anggota PBB harus membela badan internasional itu dari serangan "aktor politik, yang mengancam sistem multilateral atau bermaksud menarik diri dari sistem itu." Ia menambahkan, "Kami tidak akan bersantai-santai." Hak kita, hak orang lain, masa depan planet ini tidak boleh dan tidak bisa dikesampingkan oleh aktor politik yang mencari untung bagi diri sendiri. Demikian al Hussein.
Guterres juga mengatakan, diskusi dalam dewan HAM tidak akan membahas pembagian tanggungjawab antar negara yang menerima pengungsi, melainkan membagi tanggungjawab di bawah Piagam PBB. Namun demikian, 47 negara yang menandatangani kesepakatan HAM dalam pertemuan selama empat pekan, hanya akan memfokuskan diri pada negara yang situasinya saat ini dianggap paling berbahaya, yaitu Suriah, Myanmar dan Burundi. Dan tidak membahas tren lebih besar di dunia yang dijabarkan Guterres.
ml/as (afp, dpa)
Memahami Krisis Global Lewat Lensa
Fotografer Jepang, Yusuke Suzuki soroti kondisi paling memilukan di dunia. Suriah, Afghanistan, krisis pengungsi. Berkat karyanya, ia dapat penghargaan dari Berlin Foto Biennale untuk fotografer muda berbakat.
Foto: USK Photography
Semua Dihancurkan
Yusuke Suzuki masuk ke Aleppo, Suriah lewat perbatasan Turki 2013. Salah satu foto dari seri "City of Chaos" tunjukkan jalan yang dulu jadi lokasi kawula muda "nampang." Suzuki berkata, "Ketika saya tiba di Aleppo, saya baru sadar, di sini tidak ada air, gas, listrik, obat, sekolah, pekerjaan, bahkan susu untuk bayi."
Foto: USK Photography
Dingin Menusuk
"Orang-orang berteriak-teriak ketika selimut dibagikan. Tidak ada yang punya gas untuk memanaskan ruangan, dan musim dingin sangat berat." Yuzuke Suzuki berkunjung ke Aleppo bulan Januari saat musim dingin.
Foto: USK Photography
Berteman
Fotografer Jepang itu masuk Suriah dengan bantuan seorang penghubung, anggota pemberontak Free Syrian Army. Keduanya langsung berteman. Karena itu Suzuki diterima sebagai tamu. Ia tidur dan makan di tempat tinggal sederhana warga kota, yang sudah penuh sesak karena menampung anggota keluarga yang rumahnya hancur terkena bom.
Foto: USK Photography
Di Tengah Front Pertempuran
Fotografer itu juga ikut para pemberontak sampai garis depan. "Sering kami minum teh bersama, dan bergurau. Bahkan di front pertempuran mereka masih saling menceritakan lelucon, saat tembakan pertama dilepaskan." Tapi ketika baku tembak makin gencar, situasi segera berubah. Suzuki merasakan, bukan dirinya saja yang takut mati.
Foto: USK Photography
Tiba Dalam Keadaan Putus Asa
Di pulau Lesbos fotografer Jepang itu mendokumentasikan krisis pengungsi. "Setiap hari datang antara 20 sampai 25 perahu yang penuh sesak dengan manusia", demikian cerita Suzuki.
Foto: USK Photography
Bagaimana Selanjutnya?
Apa yang dialami Yuzuke Suzuki di Lesbos, digambarkannya sebagai "momen yang mengoyak hati". Ia merasa sangat sulit membuat foto orang-orang yang sedang merasakan sakit dan putus asa. "Tapi harus ada orang yang menyebarkan cerita mereka", kata Suzuki.
Foto: USK Photography
Proyek Profesional Pertama di Afghanistan
Yuzuke Suzuki pertama kali membuat karya foto secara profesional,saat berkunjung ke Afghanistan tahun 2006. Ketika itu ia baru berusia 21 tahun. Perjalanan ini mengubah pandangan pribadinya. Awalnya ia ingin jadi gitaris band, setelah perjalanan ke Afghanistan ia memutuskan jadi fotografer.
Foto: USK Photography
Keseharian di Negara Yang Dikoyak Perang
Apa yang diketahuinya sebagai seorang pemuda Jepang tentang perang dan perdamaian? Pertanyaan ini berusaha dijawab Yuzuke Suzuki lewat perjalanannya ke Afghanistan. Ia melihat bahwa hidup sehari-hari tidak hanya terdiri dari kehancuran, melainkan juga keindahan, yang berhasil dipotretnya.
Foto: USK Photography
Foto Yang Dapat Penghargaan
"Saya berusaha mengerti, apa artinya perang. Saya ingin melihat, mendengar dan merasakan, bagaimana orang bisa hidup dalam perang", demikian Suzuki menjelaskan seri foto yang dibuat di Afghanistan. Untuk karya fotografinya yang autentik, ia mendapat penghargaan Berlin Photo Biennale bagi fotografer muda berbakat. Penulis: Nadine Wojcik (ml/as)