Kejahatan Kemanusiaan Perusahaan Fesyen terhadap Uighur
26 Mei 2023
Skechers, Zara, dan beberapa merek fesyen lainnya tengah menghadapi pengaduan yang diajukan oleh sekelompok LSM di Paris, yang menuduh mereka mengambil untung dari perampasan hak minoritas Uighur di Cina.
Iklan
Kelompok aktivis menuntut penyelidikan terhadap sejumlah merek fesyen internasional terkemuka, dan menuduh perusahaan-perusahan itu terlibat dalam tindakan kejahatan terhadap anggota komunitas etnis Uighur di Cina.
Sebuah laporan pengaduan terbaru telah diajukan di Paris minggu lalu oleh organisasi kampanye antikorupsi Sherpa, kelompok Ethics on Labels, Institusi Uighur Eropa, dan seorang perempuan asal Uighur yang ditahan di sebuah kamp yang dikelola oleh pemerintah Cina di wilayah Xinjiang.
Pengaduan tersebut menyebut anak perusahaan asal Prancis dari raksasa pakaian Jepang Uniqlo dan perusahaan induknya, Fast Retailing. Selain itu, Inditex, pemilik merek fesyen Zara, rumah mode Prancis SMCP, dan produsen alas kaki asal Amerika Serikat (AS), Skechers, merupakan beberapa nama perusahaan pakaian yang disebut dalam laporan pengaduan tersebut.
Pengaduan tersebut juga berfokus pada dugaan adanya pelanggaran di wilayah Xinjiang, Tiongkok. Organisasi hak asasi manusia (HAM) meyakini bahwa lebih dari satu juta orang yang sebagian besar adalah Muslim Uighur, telah ditahan di "kamp-kamp pelatihan ulang", di mana banyak di antara korban yang dipaksa bekerja di luar kehendak mereka.
Inilah Negara Sarang Perbudakan
Jutaan manusia ada dalam perbudakan modern dunia. Sebagian negara bahkan ikut memetik keuntungan dari praktik keji tersebut. Indonesia masuk dalam daftar sepuluh besar Indeks Perbudakan Global edisi 2018.
Foto: picture-alliance/e70/ZUMA Press
1. India
Sekitar 270 juta penduduk India masih hidup di bawah garis kemiskinan. Menurut Indeks Perbudakan Global, negeri raksasa di Asia Selatan itu saat ini masih mencatat jumlah pekerja paksa sebanyak 18.354.700 orang. Sebagian besar bekerja di sektor informal. Sementara sisanya berprofesi prostitusi atau pengemis.
Foto: picture alliance/Photoshot
2. Cina
Maraknya migrasi internal kaum buruh menjadikan Cina lahan empuk buat perdagangan manusia. Pemerintah di Beijing sendiri mengakui hingga 1,5 juta bocah dipaksa mengemis, kebanyakan diculik. Saat ini lebih dari 70 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Menurut Indeks Perbudakan Global, Cina masih memiliki sekitar 3.864.000 budak.
Foto: Reuters
3. Pakistan
Sebanyak 3.186.000 penduduk Pakistan bekerja sebagai budak di pabrik-pabrik dan lokalisasi. Angka perbudakan tertinggi tercatat di dua provinsi, Sindh dan Punjab. Sejumlah kasus bahkan mengindikasikan orangtua di sejumlah wilayah di Pakistan terbiasa menjual putrinya untuk dijadikan pembantu rumah tangga, pelacur, nikah paksa atau sebagai bayaran untuk menyelesaikan perseteruan dengan suku lain.
Foto: Roberto Schmidt/AFP/GettyImages
4. Korea Utara
Berbeda dengan negara lain, sebanyak 2.640.000 budak di Korea Utara bukan bekerja di sektor swasta, melainkan untuk pemerintah. Eksploitasi buruh oleh pemerintah Pyongyang sudah lama menjadi masalah. Saat ini sebanyak 50.000 buruh Korut dikirim ke luar negeri oleh pemerintah untuk bekerja dengan upah minim. Program tersebut mendatangkan lebih dari 2 miliar Dollar AS ke kas negara.
Foto: picture alliance/AP Photo/D. Guttenfelder
5. Nigeria
Tidak sedikit perempuan Nigeria yang dijual ke Eropa untuk bekerja sebagai prostitusi. Namun sebagian besar buruh paksa mendarat di sektor informal di dalam negeri. Tercatat sebanyak 1.386.000 penduduk Nigeria bekerja di bawah paksaan.
Foto: UNICEF/NYHQ2010-1152/Asselin
6. Iran
Sebanyak 1.289.000 populasi di Iran terjebak perbudakan. Perdagangan perempuan dan gadis muda dari Iran untuk perbudakan modern, khususnya ke negara-negara Arab di Teluk Persia, adalah praktik umum di sana. Misogini dan korupsi yang merajalela menjadi faktor utama pendorong kenaikan angka perbudakan di Iran.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Taherkenareh
7. Indonesia
Menurut catatan Walk Free Foundation, kebanyakan buruh paksa di Indonesia bekerja di sektor perikanan dan konstruksi. Paksaan juga dialami tenaga kerja Indonesia di luar negeri seperti di Arab Saudi atau Malaysia. Secara umum Indonesia berada di urutan kesepuluh dalam daftar negara sarang perbudakan dengan jumlah 1.220.000 buruh paksa.
Foto: Getty Images
8. Republik Demokratik Kongo
Serupa dengan negara-negara Afrika Sub Sahara lain, Republik Demokratik Kongo mencatat angka tertinggi dalam kasus perbudakan anak. Sebagian besar bekerja di sektor informal, prostitusi atau bahkan dijadikan tentara. Jumlah budak di RD Kongo mencapai 1.045.000 orang.
Foto: AFP/Getty Images
9. Rusia
Pasar tenaga kerja Rusia yang mengalami booming sejak beberapa tahun silam banyak menyerap tenaga kerja dari berbagai negara bekas Uni Sovyet seperti Ukraina, Uzbekistan, Azerbaijan atau bahkan Korea Utara. Saat ini sebanyak 794.000 buruh paksa bekerja di Rusia. Celakanya langkah pemerintah yang kerap mendiskriminasi buruh dari etnis minoritas justru membantu industri perbudakan.
Foto: picture-alliance/dpa
10. Filipina
Berdasarkan Indeks Perbudakan Global, dikatakan bahwa Filipina memiliki prevalensi perbudakan modern tertinggi ke-12 dengan 784.000 populasinya berkerja dalam perbudakan. Pada tahun 2018, Departemen Kehakiman Filipina menerima sebanyak 600.000 gambar dan video anak-anak Filipina yang menjadi korban perbudakan seks hingga dilecehkan. (rn/kp/hp)
Foto: Human Rights Watch/Mark Z. Saludes 2015
10 foto1 | 10
Para aktivis mengatakan bahwa perusahaan retail pakaian itu ikut terlibat dalam aksi kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, perbudakan modern yang diperparah, dan perdagangan manusia.
Secara khusus, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) itu juga percaya bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak memiliki kendali penuh terhadap subkontraktor mereka, yang menyebabkan perusahaan itu menjual barang-barang dengan komponen yang berasal dari pabrik-pabrik yang melakukan kerja paksa.
"Perusahaan-perusahaan multinasional yang menggunakan produk katun dari wilayah ini atau menggunakan subkontraktor yang diuntungkan oleh program pemerintah Cina, tidak dapat mengabaikan bahwa produk mereka dibuat dengan menggunakan tenaga kerja paksa dari etnis Uighur," demikian tulis laporan pengaduan tersebut. "Dengan memasarkan produk-produk tersebut, industri fesyen ini telah mengambil untung atas aksi kejahatan serius yang dilakukan pada komunitas ini."
Laporan itu juga mengungkapkan bahwa "20% produksi katun dunia berasal dari wilayah Uighur, sehingga satu dari lima garmen katun bisa jadi tercemar oleh pekerja paksa etnis Uighur."
Namun, pemerintah Cina menolak klaim atas kerja paksa tersebut dan menegaskan bahwa kamp-kamp itu merupakan pusat kejuruan yang dirancang untuk menghentikan penyebaran ekstremisme.
Desain Unik yang Menentang Selera Estetika Khalayak Ramai
03:49
Amerika Serikat melarang produk Xinjiang
Dalam sebuah pernyataan kepada tim DW, juru bicara Fast Retailing di Tokyo mengatakan bahwa pihaknya telah mengetahui adanya keluhan tersebut dari laporan media.
Iklan
"Meskipun kami belum diberitahu oleh pihak berwenang, jika dan ketika diberitahu, kami akan bekerja sama sepenuhnya dengan penyelidikan untuk menegaskan kembali bahwa tidak ada kerja paksa dalam rantai pasokan kami," ujar raksasa industri fesyen tersebut.
Sebelumnya, kelompok yang sama juga telah mengajukan keluhan serupa pada bulan April 2021 silam. Namun, jaksa penuntut umum di Paris menutup pengaduan mereka dengan alasan bahwa pihaknya tidak memiliki kuasa yurisdiksi untuk menuntut jenis pelanggaran tersebut.
HRW: Cina menekan perusahaan terkait untuk uji kelayakan
Meskipun kelompok Human Rights Watch (HRW) bukanlah salah satu organisasi di balik pengaduan yang diajukan di Paris, para aktivisnya turut memantau dengan seksama terhadap perlakuan Cina kepada kaum minoritasnya itu.
HRW juga mengungkapkan keprihatinan terdalam mereka atas produk-produk yang dibuat dengan adanya unsur kerja paksa itu, telah masuk ke dalam pakaian yang dijual oleh merek-merek fesyen terkenal tersebut.
"Dalam pandangan kami, batasan-batasan yang ditetapkan pemerintah Cina begitu ketat sehingga perusahaan itu tidak dapat melakukan inspeksi uji kelayakan, karena para pengawas mereka tidak dapat hadir di wilayah itu dan memastikan apakah para pekerja diperlakukan secara adil atau tidak," ujar Sophie Richardson, direktur operasi HAM di Cina.
"Perusahaan-perusahaan sering menggambarkan pihak lawan mereka sebagai antibisnis, padahal sebenarnya tidak demikian," katanya kepada tim DW. "Kami berharap semua perusahaan dapat mempublikasikan laporan uji kelayakan HAM mereka untuk memastikan bahwa pihaknya tidak menciptakan atau bahkan berkontribusi terhadap pelanggaran HAM," tegas Richardson.
"Jika kita dapat melalui ujian ini dan memperbaiki masalah-masalah yang ada, maka perusahaan-perusahaan ini dapat terus berjalan," tambahnya.
Bagaimana pun, masalahnya terletak pada kurangnya akses di daerah-daerah di bawah pengawasan ketat oleh pemerintah Cina. Pihak berwenang setempat juga turut memberikan tekanan besar pada perusahaan-perusahaan asing yang ingin mencoba untuk melakukan uji kelayakan tersebut, kata Richardson.
Potret Muslim Uighur di Cina
Cina melarang minoritas muslim Uighur mengenakan jilbab atau memelihara janggut. Aturan baru tersebut menambah sederet tindakan represif pemerintah Beijing terhadap etnis Turk tersebut. Siapa sebenarnya bangsa Uighur?
Foto: Reuters/T. Peter
Represi dan Larangan
Uighur adalah etnis minoritas di Cina yang secara kultural merasa lebih dekat terhadap bangsa Turk di Asia Tengah ketimbang mayoritas bangsa Han. Kendati ditetapkan sebagai daerah otonomi, Xinjiang tidak benar-benar bebas dari cengkraman partai Komunis. Baru-baru ini Beijing mengeluarkan aturan baru yang melarang warga muslim Uighur melakukan ibadah atau mengenakan pakaian keagamaan di depan umum.
Foto: Reuters/T. Peter
Dalih Radikalisme
Larangan tersebut antara lain mengatur batas usia remaja untuk bisa memasuki masjid menjadi 18 tahun dan kewajiban pemuka agama untuk melaporkan naskah pidatonya sebelum dibacakan di depan umum. Selain itu upacara pernikahan atau pemakaman yang menggunakan unsur agama Islam dipandang "sebagai gejala redikalisme agama."
Foto: Reuters/T. Peter
Balada Turkestan Timur
Keberadaan bangsa Uighur di Xinjiang dicatat oleh sejarah sejak berabad-abad silam. Pada awal abad ke20 etnis tersebut mendeklarasikan kemerdekaan dengan nama Turkestan Timur. Namun pada 1949, Mao Zedong menyeret Xinjiang ke dalam kekuasaan penuh Beijing. Sejak saat itu hubungan Cina dengan etnis minoritasnya itu diwarnai kecurigaan, terutama terhadap gerakan separatisme dan terorisme.
Foto: Reuters/T. Peter
Minoritas di Tanah Sendiri
Salah satu cara Beijing mengontrol daerah terluarnya itu adalah dengan mendorong imigrasi massal bangsa Han ke Xinjiang. Pada 1949 jumlah populasi Han di Xinjiang hanya berkisar 6%, tahun 2010 lalu jumlahnya berlipatganda menjadi 40%. Di utara Xinjiang yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, bangsa Uighur bahkan menjadi minoritas.
Foto: picture-alliance/dpa/H. W. Young
Hui Yang Dimanja
Kendati lebih dikenal, Uighur bukan etnis muslim terbesar di Cina, melainkan bangsa Hui. Berbeda dengan Uighur, bangsa Hui lebih dekat dengan mayoritas Han secara kultural dan linguistik. Di antara etnis muslim Cina yang lain, bangsa Hui juga merupakan yang paling banyak menikmati kebebasan sipil seperti membangun mesjid atau mendapat dana negara buat membangun sekolah agama.
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Wong
Terorisme dan Separatisme
Salah satu kelompok yang paling aktif memperjuangkan kemerdekaan Xinjiang adalah Gerakan Islam Turkestan Timur (ETIM). Kelompok lain yang lebih ganas adalah Partai Islam Turkestan yang dituding bertalian erat dengan Al-Qaida dan bertanggungjawab atas serangkaian serangan bom di ruang publik di Xinjiang.
Foto: Getty Images
Kemakmuran Semu
Xinjiang adalah provinsi terbesar di Cina dan menyimpan sumber daya alam tak terhingga. Tidak heran jika Beijing memusatkan perhatian pada kawasan yang dilalui jalur sutera itu. Sejak beberapa tahun dana investasi bernilai ratusan triliun Rupiah mengalir ke Xinjiang. Namun kemakmuran tersebut lebih banyak dinikmati bangsa Han ketimbang etnis lokal.
Foto: Reuters/T. Peter
Ketimpangan Berbuah Konflik
BBC menulis akar ketegangan antara bangsa Uighur dan etnis Han bersumber pada faktor ekonomi dan kultural. Perkembangan pesat di Xinjiang turut menjaring kaum berpendidikan dari seluruh Cina. Akibatnya etnis Han secara umum mendapat pekerjaan yang lebih baik dan mampu hidup lebih mapan. Ketimpangan tersebut memperparah sikap anti Cina di kalangan etnis Uighur. Ed.: Rizki Nugraha (bbg. sumber)
Foto: Getty Images
8 foto1 | 8
Perusahaan ragu untuk membuat Cina marah
Roy Larke, dosen senior bidang pemasaran di Universitas Waikato, Selandia Baru, dan seorang pakar ritel dan perilaku konsumen, menunjukkan bahwa merek-merek fesyen itu "memiliki kewajiban etis dan moral untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia."
Raksasa industri pakaian seperti Uniqlo dari Jepang, pasti memahami betul "konsekuensi komersial yang mungkin terjadi jika pihaknya terbukti gagal dalam kewajiban ini," tambahnya.
Namun, Uniqlo telah terbukti cukup ragu-ragu untuk menarik diri dari Rusia setelah invasinya ke Ukraina pada Februari 2022 silam, dan bahkan menunggu hingga Agustus untuk dapat "menghentikan sementara" operasi bisnisnya. Keputusan itu diambil setelah sebelumnya pihak mereka mengumumkan bahwa perusahaan itu akan tetap berada di pasar Rusia meski mendapat reaksi keras dari publik.
"Dibandingkan dengan sikap moral sebuah perusahaan, tentu saja ada masalah seberapa besar kepedulian pelanggan terhadap merek tersebut, terutama ketika merek itu menyediakan produk berkualitas dengan harga yang terjangkau," kata Larke.
"Untuk Uniqlo dan banyak merek fesyen internasional lainnya, ada juga masalah dalam menghadapi kritik terhadap hal ini dan masalah rantai pasokan lainnya di Cina, sementara pada saat yang sama, Cina adalah pasar yang cukup penting bagi industri ini," tambahnya.
Setidaknya terdapat sekitar 925 toko Uniqlo yang tersebar di seluruh wilayah Cina, dibandingkan dengan hanya sekitar 720 toko di Jepang negara asalnya. Cina menjadi bagian penting dari upaya merek fesyen ini untuk mencapai pemasukan 5 triliun yen (setara Rp535 triliun) dalam penjualan tahunan global mereka.
"Sebagai pemain global, Uniqlo tidak boleh terlihat mendukung pelanggaran hak asasi manusia yang kini telah terbukti, tetapi sama halnya, Uniqlo juga tidak boleh membuat marah pemerintah Tiongkok. Dan seperti halnya sebagian besar merek fesyen internasional lainnya, Uniqlo memiliki hak untuk dianggap tidak bersalah hingga terbukti sebaliknya," tegas Larke. (kp/yf)