1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

HAM bagi Perempuan di Daerah Perang dan Krisis

18 Juli 2008

Upaya itu dilakukan Rama Yade, seorang politisi perempuan Perancis.

Rama Yade, Sekretaris Negara Urusan HAM pada Kementrian Luar Negeri Perancis.Foto: picture-alliance/dpa

HAM merupakan masalah yang hendak ditangani oleh Perancis selama memimpin UE sampai akhir tahun ini. Yang ingin memperjuangkan HAM terutama untuk kaum perempuan di dunia adalah Ramatoulaye Yade-Zimet, sekretaris negara urusan HAM di kementrian luar negeri Perancis. Soal kedua yang diupayakannya adalah menghapuskan sikap anti terhadap kaum homoseksual. Siapakah Ramatoulaye Yade-Zimet dengan panggilan akrab Rama Yade?

Dia mungkin merupakan politisi perempuan termuda yang memegang jabatan penting. Perempuan bertubuh ramping, jangkung dan senantiasa berpakaian rapi itu usianya 31 tahun, tetapi tampak jauh lebih muda. Sejak setahun ia sudah menjadi sekretaris negara urusan HAM di Perancis. Sikapnya yang terus terang boleh dikatakan tidak mempedulikan kaidah diplomatik tradisional. Misalnya ketika pemimpin Libya Muammar Khaddafi berkunjung ke Perancis, Rama Yade menyebutnya sebagai penguasa yang lalim.

Yang sering membuatnya geram adalah kondisi kaum perempuan di wilayah-wilayah krisis seperti di Afrika, dan terutama lagi di Republik Kongo. Belum lama berselang Rama Yade memang baru mengunjungi negara itu selama enam hari. Di wilayah timur Republik Kongo selama ini telah terdapat 300.000 perempuan yang menjadi korban perkosaan. Rama Yade berjumpa dengan puluhan korban, seperti misalnya seorang anak perempuan berusia 15 tahun, yang pernah berulang kali dibawa dengan paksa oleh kelompok pemberontak sebagai budak seks. Sekarang dia sudah menjadi ibu dari dua orang anak, tetapi siapa ayah anak-anak itu, tidak diketahuinya. Dia juga menderita penyakit Aids. Rama Yade mengemukakan, di Kongo dia belajar mengenal sisi terburuk manusia.

"Saya mendengarkan semua kisah para perempuan itu. Dan ketika pada malam hari kembali ke hotel, saya muntah karena muak. Saya juga sudah ke Darfur dan tempat lainnya. Tetapi apa yang saya lihat di Republik Kongo mengalahkan tempat-tempat lainnya. Yang terjadi di Kongo disebut sebagai 'Femizida'. Karena yang secara sistemasis dihancurkan adalah perempuan dalam satu masyarakat. Secara tidak langsung artinya menghancurkan masyarakat itu sendiri. Sebab tidak ada yang bisa jalan tanpa perempuan."

Tak lama setelah perjalanan yang ibaratnya penuh mimpi buruk itu, Rama Yade berpidato di depan Dewan Keamanan PBB di New York. Pada kesempatan itu dia menuntut langkah konkrit untuk memberikan perlindungan lebih baik pada kaum perempuan di Kongo. Masa kepemimpinan Perancis di UE hendak dimanfaatkannya agar Eropa punya pedoman baru. Sasaran yang ingin dicapainya adalah memberantas kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Sebab sejak tahun 1998 UE menetapkan pedoman untuk misalnya menentang hukuman mati, memberikan perlindungan lebih besar bagi para pejuang HAM atau menuntut hak bagi anak-anak. Itu hendaknya diperluas lagi untuk melindungi perempuan.

"Secara konkrit artinya. bila pedoman mengenainya sudah disahkan, semua kedutaan besar negara-negara Eropa di seluruh dunia memperoleh tugas untuk memperhatikan hak-hak perempuan dan senantiasa waspada. Kedutaan-kedutaan itu harus aktif bila ada seorang perempuan yang mengalami ketidak-adilan, bila hak-hak dasar mereka dilanggar. Dan harus dibiayai pula proyek-proyek yang membantu perempuan yang menjadi korban kekerasan untuk kembali ke kehidupan biasa.

Ini juga merupakan sasaran yang sejak lama diperjuangkan oleh berbagai organisasi HAM. Hasilnya, sebulan lalu, tepatnya tanggal 20 Juni PBB mensahkan resolusi nomor 1820 yang isinya secara resmi mengecam pedas kekerasan seksual terhadap kaum perempuan di wilayah peperangan dan wilayah krisis, dan bahwa hal itu harus segera dihentikan di semua tempat.

Untuk mewujudkan pedoman hukum di tingkat Eropa, Liga HAM internasional telah melakukan lobi selama satru setengah tahun. Tetapi baru pemerintah Perancislah yang membuka diri untuk menanggapi masalah itu. Walaupun begitu Souhayr Belhassen, ketua organisasi induk dari Liga HAM melancarkan kritik, karena naskah semula dari pedoman olahan organisasinya itu sama sekali tidak dipertahankan oleh pemerintah Perancis.

"Dalam naskah pemerintah Perancis tidak lagi menyangkut hak perempuan secara umum, melainkan hanya melindungi perempuan dari kekerasan. Jadi tuntutan kami dipangkas. Hak perempuan menyangkut soal melahirkan anak misalnya, tidak diikut-sertakan. Padahal itu masalah yang cukup besar, bukan hanya di negara-negara belahan selatan bumi, melainkan juga di beberapa negara Eropa, seperti Malta, Polandia dan Irlandia. Bagi kaum perempuan di selatan, itu menyangkut hak untuk meningkatkan emansipasi. Tentunya upaya mengatasi tindak kekerasan terhadap perempuan memang penting, tetapi itu saja tidak cukup. Kami menginginkan naskah yang memberikan perlindungan lebih luas terhadap hak-hak perempuan."

Souhayr Belhassen dan rekan-rekan seperjuangannya berharap pedoman itu dapat diperluas lagi selama masa kepemimpinan Perancis dalam UE. Dalam hal ini ia sependapat dengan Ramatoulaye Yade-Zimet, Sekretaris Negara urusan HAM Perancis. Kata Rama Yade:

"Saya hanya bisa membicarakan penderitaan kaum perempuan dan juga mengambil langkah yang sesuai. Karena di banyak negara perempuan masih harus berupaya keras untuk memperoleh hak-haknya. Mereka sangat membutuhkan perasaan mendapat dukungan di luar negeri. Bahwa mereka itu tidak sendirian. Ini penting sekali." (dgl)