1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hamas dan Fatah Batal Berunding di Kairo

8 November 2008

Tampaknya dua kelompok warga yang bertikai di Palestina, Hamas dan Fatah, masih belum menunjukkan tanda-tanda akan rukun. Sabtu kemarin (08/11), pertemuan Hamas dan Fatah denga juru penengah Mesir, dibatalkan.

Seorang remaja berdiri di bawah bendera Palestina.
Seorang remaja berdiri di bawah bendera Palestina.Foto: AP

Pertemuan itu sebenarnya akan menjadi pertemuan pertama Hamas dan Fatah sejak 18 bulan terakhir. Pemerintah Mesir mengundang kedua kelompok Palestina yang bertikai itu ke Kairo, untuk membuka jalan menuju rekonsiliasi. Namun tiba-tiba Hamas membatalkan untuk hadir. Pemimpin di Damaskus memutuskan untuk memboikot pertemuan itu. Alasannya, Fatah tidak menepati janji untuk membebaskan tahanan Hamas, sebelum pertemuan itu.

Bagi sebagian besar pengamat setempat, keputusan itu bukan hal yang mengejutkan. Jumat lalu (07/11), seorang anggota parlemen Hamas menuding Presiden pemerintah otonomi Mahmoud Abbas membiarkan penangkapan ratusan pengikut Hamas di Tepi Barat Yordan, dan dengan begitu, Abbas melakuan pembantaian terhadap anggota Hamas. Ditambahkan anggota parlemen Hamas itu, wilayah Tepi Barat Yordan tidak diduduki Israel, melainkan kelompok Fatah pimpinan Abbas.

Di Kairo, rencananya kedua pihak yang bertikai Hamas dan Fatah menyingkirkan rasa dendam dan membicarakan pembentukan pemerintahan bersama. Di tahun 2007, pembentukan pemerintahan kesatuan gagal total. Hamas, yang memenangkan pemilu tahun 2006, tahun lalu melucuti senjata petugas keamanan Fatah dan menguasai Jalur Gaza. Sejak itu Jalur Gaza terisolasi dari dunia internasional.

Tapi Presiden Abbas masih bisa melaksanakan kewenangannya di Ramallah. Abbas membentuk pemerintahan peralihan yang akan menjabat hingga masa pemilihan umum berikutnya di bulan Januari 2010. Sementara itu, masa jabatan Abbas sendiri akan berakhir Januari tahun depan. Namun Abbas sudah menegaskan, dirinya akan tetap menjadi presiden setahun lagi. Setelahnya, akan digelar pemilihan parlemen dan pemilihan presiden secara serentak. Hamas menyatakan bahwa tidak akan mengakui Abbas sebagai presiden setelah masa jabatannya berakhir tahun depan, dan akan mencalonkan kandidat sendiri.

Sementara dua kelompok Palestina itu terus bersengketa dan masih belum menunjukkan tanda-tanda akan rukun, warga sipil di Jalur Gaza terus menderita akibat blokir dan embargo yang ditetapkan Israel.

Sabtu kemarin (08/11), sebuah kapal berbendera Siprus melemparkan sauhnya di pelabuhan Gaza. Kapal itu berpenumpang 23 orang, 11 penumpang di antaranya anggota parlemen Eropa, termasuk mantan menteri Inggris Clare Short. Kapal tersebut membawa obat-obatan yang sangat diperlukan warga. Kepada stasiun televisi Al Jazeera, Short menjelaskan alasan perjalanannya ke Gaza.

Ungkapnya, “Kami berharap, masyarakat internasional kembali memperhatikan situasi di Gaza. Blokir itu merupakan pengepungan ilegal. Kami, selain ingin melihat langsung keadaan warga di Gaza dan melaporkannya ke parlemen Eropa, juga ingin menunjukkan rasa solidaritas kami. Kami harap, akan semakin banyak kapal yang datang, karena blokade Jalur Gaza merupakan hal yang keliru dan ilegal. Dan kami anggota parlemen Eropa menentang blokade itu.“(ls)