1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hamas

6 Januari 2009

"Hamas“ singkatan dari "Harakat al-Muqāwamat al-Islāmiyyah", artinya gerakan perlawanan Islam.

Pendukung Hamas saat menghadiri pawai di Gaza City, Minggu (14/12/08). Puluhan ribu pendukung Hamas merayakan HUT ke 21 organisasi militan tersebut yang ditandai dengan pawai dan unjuk kekuatan.Foto: AP

Organisasi ini muncul tiba-tiba di Jalur Gaza dan di Tepi Barat saat pecahnya Intifada dan menentang pengaruh internasional PLO. Persaingan dengan PLO inilah tujuan dukungan yang dulu diberikan Israel kepada orang-orang dan kelompok yang lalu muncul mendadak sebagai "Hamas".

Tahun 1978, Sheikh Ahmed Yassin yang ketika itu berusia 49 tahun mendaftarkan secara resmi kepada pemerintah Israel sebuah perhimpunan bernama "Al-Mujamma Al Islami". Perhimpunan yang bertujuan mengurusi keperluan warga Palestina. Yassin adalah pemimpin muslim di Gaza yang menderita lumpuh sejak muda.

Israel memberikan persetujuan. Ketika itu memang ada keinginan untuk mengubah status perwakilan tunggal PLO. Upaya tersebut gagal. Tahun 1987, Hamas dengan cepat berprakarsa dan menyerukan intifadanya sendiri.

Kesamaan latar belakang ideologis dengan gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir menjadikan Hamas anti Israel. Hamas bukan hanya menganggap wilayah yang ditaklukkan Israel tahun 1967 sebagai kawasan pendudukan yang harus dibebaskan, melainkan seluruh wilayah Israel.

Tahun 1988 Hamas menetapkan anggaran dasar. Di dalamnya antara lain tercantum, sampai sekarang tidak diubah, bahwa yang diinginkan adalah mengibarkan bendera Allah di setiap meter persegi tanah Palestina. Warga Yahudi harus dihabisi dan tidak boleh menghabiskan waktu dengan prakarsa, usulan dan konferensi internasional. Palestina adalah negara Islam.

Ketika Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina PLO menegosiasikan perjanjian Oslo tahun 1993, Hamas tidak bersedia mengakui kesepakatan itu. Karenanya, Hamas juga tidak bersedia untuk mengikuti pemilu tahun 1996.

Baru pada awal tahun 2006 Hamas ikut dalam pemilu dan keluar sebagai pemenang. Hamas diuntungkan oleh sistem pemilu regional, tapi terutama oleh memuncaknya kejengkelan rakyat terhadap praktik korupsi dan nepotisme di kalangan pemerintah otonomi Palestina.

Hamas memenangkan 74 dari 132 kursi parlemen dan dengan demikian menggantikan Fatah yang selama ini memimpin di Palestina.

Banyak pendukung Fatah yang terkejut dan tidak menerima hasil pemilu. Tapi yang lebih terkejut lagi adalah pihak luar negeri. Walaupun dunia internasional mendorong pelaksanaan pemilu yang demokratis, orang tetap tidak siap menerima hasilnya.

Kecuali jika Hamas meninggalkan sikap anti-Israelnya yang radikal dan mengakui perjanjian Oslo serta perlunya proses perdamaian bagi Timur Tengah. Selama itu tidak terjadi, dunia barat -terutama Uni Eropa dan Amerika Serikat- tidak akan mendukung pemerintahan Hamas terpilih.

Pada musim panas 2007, Hamas melucuti kekuasaan Fatah di Jalur Gaza dan mengambil alih kontrol di wilayah itu. Dunia internasional dan Israel tidak bersedia mengakui kenyataan baru di lapangan.

Bahkan ketua PLO Mahmud Abbas, yang juga Presiden Palestina, menolak. Blokade ketat diberlakukan terhadap Gaza, yang berkibat buruk bagi rakyat di kawasan pantai itu.

Setelah bentrokan berulang dengan Israel, pada musim panas 2008 Hamas menyepakati gencatan senjata enam bulan. Situasi saat itu relatif tenang, tapi Israel tetap memepertahankan tekanan terhadap penduduk Gaza.

Tanggal 19 Desember Hamas tidak bersedia memperpanjang gencatan senjata dan muncullah eskalasi yang pada akhirnya menggiring pada perang terbuka. (rp)