Hampir 10 Juta Anak Terancam Putus Sekolah Secara Permanen
13 Juli 2020
Krisis akibat pandemi menyebabkan hampir 10 juta anak terancam putus sekolah secara permanen, demikian laporan badan amal Save the Children. Pemerintah didesak berinvestasi dalam pendidikan di tengah kondisi darurat ini.
Iklan
Organisasi bantuan kemanusiaan untuk anak-anak Save the Children, merilis laporan pada Senin (13/07) bahwa 9,7 juta anak yang terkena dampak penutupan sekolah akibat pandemi COVID-19, berisiko tak pernah bisa kembali belajar di sekolah.
Badan amal asal Inggris yang mengutip data UNESCO ini menunjukkan bahwa pada bulan April, sebanyak 1,6 miliar pelajar tidak memiliki akses belajar langsung ke sekolah dan universitas, sebagai bagian dari langkah-langkah pencegahan penyebaran COVID-19. Angka itu berarti sekitar 90 persen dari populasi pelajar dunia.
"Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, seluruh generasi anak-anak di seluruh dunia mengalami gangguan pendidikan," tulis badan amal itu dalam laporan terbaru “Save our Education”.
Laporan itu juga menyebut bahwa dampak krisis ekonomi akibat pandemi dapat menambah 90 hingga 117 juta anak-anak ke dalam jurang kemiskinan. Hal ini akan berdampak pada angka penerimaan sekolah.
Hampir 10 juta anak diperkirakan putus sekolah permanen
Dengan banyaknya anak-anak muda yang dituntut untuk bekerja untuk menghidupi keluarga mereka atau anak perempuan yang dipaksa menikah dini, dapat menyebabkan antara tujuh hingga 9,7 juta anak putus sekolah secara permanen.
Pada saat yang sama, badan amal itu memperingatkan bahwa krisis ekonomi dapat menyebabkan kekurangan anggaran pendidikan sekitar $ 77 miliar atau Rp 1,114 triliun, di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah pada akhir tahun 2021.
"Sekitar 10 juta anak mungkin tidak pernah kembali ke sekolah - ini adalah darurat pendidikan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan pemerintah harus segera berinvestasi dalam pendidikan,” kata kepala eksekutif Save the Children, Inger Ashing.
"Malah, kita berisiko mengalami pemotongan anggaran luar biasa yang akan menunjukkan ketimpangan besar antara si kaya dan si miskin, dan antara anak laki-laki dan perempuan."
Badan amal itu mendesak pemerintah dan para pemberi donor untuk menginvestasikan lebih banyak dana untuk rencana pendidikan global baru, agar dapat membantu anak-anak kembali ke sekolah ketika keadaan sudah aman. Namun di tengah kondisi yang serba tak menentu ini, Save the Children masih mendukung sistem pembelajaran jarak jauh.
"Kami tahu anak-anak yang paling miskin dan paling terpinggirkan, yang sudah tertinggal paling jauh di belakang, telah menderita kerugian terbesar, tanpa akses ke pembelajaran jarak jauh - atau pendidikan apa pun - selama setengah tahun akademik," kata Ashing.
UNESCO: “Pendidikan Untuk Semua“ Masih Utopia
UNESCO memperingatkan bahwa tujuan-tujuan penting pendidikan dunia tak akan bisa dicapai seperti yang ditargetkan. Ini mengakibatkan merugikan bagi anak-anak dan remaja.
Foto: picture alliance/Robert Harding World Imagery
Lima Jalan Keluar dari Krisis
“Pendidikan untuk semua“ adalah agenda UNESCO yang harus diwujudkan sampai tahun 2015. Melihat perkembangan sekarang, bisa diramalkan bahwa satupun dari lima tujuan tersebut tak akan bisa dicapai. Saat ini sedang terjadi “Krisis Pendidikan Global “ mulai dari pendidikan prasekolah sampai tingkat lanjutan. Dan yang paling memprihatinkan adalah krisis kemampuan baca tulis orang dewasa.
Foto: Kathrin Harms/MISEREOR
Tujuan Pertama: Perkembangan Anak Usia Dini
Di Jamaika anak-anak dengan perkembangan lambat dari keluarga prasejahtera secara teratur, melalui sebuah tes mendapat bantuan secara mental dari psikolog. Hasilnya 42 persen dari mereka bisa berpenghasilan lebih baik dari teman sebayanya saat berusia 20 tahun. Yaman, Somalia dan Burkina Faso adalah negara-negara di mana anak-anak kecil di negara tersebut harus dirawat sebelum memasuki sekolah.
Foto: picture-alliance/dpa
Kedua: Pendidikan Dasar Menyeluruh
Negara-negara di selatan Sahara harus mengejar ketertinggalan. Sekitar seperlima dari seluruh anak-anak usia sekolah dasar di negara-negara ini tak bersekolah. Diperkirakan, semua anak laki-laki akan bisa menikmati pendidikan sekolah dasar tahun 2021 sedangkan anak peremuan tahun 2086. Negara terbaik, di mana jumlah anak tak sekolahnya turun 85 persen adalah Laos, Ruanda dan Vietnam.
Foto: Hoang Dinh Nam/AFP/Getty Images
Ketiga: Pendidikan Lanjutan
Banyak remaja tidak mendapat ketrampilan dasar yang harusnya diperoleh di sekolah lanjutan. Defisit yang membahayakan. Contohnya kematian per tahun akibat malaria di Republik Demokrasi Kongo adalah sekitar seperlima dari kematian malaria yang terjadi di dunia. Menurut laporan PPB jumlah ini harusnya bisa berkurang sekitar 35 persen jika setiap kepala keluarga mendapat pendidikan yang sesuai.
Foto: Thomas Einberger/Brot für die Welt
Keempat: Perang Melawan Buta Huruf
Tujuan ke-4 UNESCO adalah menurunkan jumlah orang buta huruf di seluruh dunia. India menempati posisi teratas dengan sekitar 287 juta orang dewasa yang selain tak bisa menulis juga tak bisa membaca. Hal ini hampir tak mengalami perubahan selama bertahun-tahun. Padahal tingkat melek huruf yang tinggi menjadi syarat bagi kemajuan sosial dan ekonomi.
Foto: Sam Panthaky/AFP/Getty Images
Kelima: Kesetaraan Gender
Menurut UNESCO langkah terpenting ke-5 untuk menjamin pendidikan menyeluruh adalah mengusahakan persamaan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Makin miskin sebuah masyarakat serta makin tinggi tingkat pendidikan yang dicita-citakan biasanya makin meningkat pula ketidakberuntungan perempuan. Perubahan cepat di bidang persamaan kesempatan antara laki-laki dan perempuan terjadi di Turki.
Foto: picture-alliance/dpa
Menutup Biaya Sendiri?
UNESCO memperingatkan adanya kekurangan dana untuk pendidikan dasar anak-anak dunia, sekitar 19 juta Euro, serta makin sedikitnya jumlah dana bantuan yang diberikan kepada UNESCO. Sekarang masing-masing negara harus mengusahakan sendiri kekurangan uang ini. Sebagai contoh posistif adalah Benin, Ethiopia dan Afganistan yang tidak seperti negara lainnya tidak memotong anggaran pendidikan.
Foto: DW/R. Elham
Pendidikan Menyelamatkan Hidup
Di seluruh dunia, tercatat sekitar 57 juta anak-anak masih belum mempunyai akses terhadap pendidikan. Hal ini mempunyai dampak luas. Jika saja anak perempuan di seluruh dunia bisa menikmati pendidikan sekolah dasar, maka tingkat kematian ibu saat melahirkan bisa turun sekitar dua pertiga persen.
Foto: AP
Sekolah Saja Tak Cukup
Menurut UNESCO, sepertiga anak-anak usia sekolah dasar tak mendapat pengetahuan dasar yang penting di sekolah. Tuntutannya: diseluruh dunia jumlah guru harus ditambah sekitar 1,6 juta orang. Ini berarti, di Malawi setiap tahunyan pertumbuhan guru harus ditingkatkan 15 persen. Tak seperti yang direncanakan, yakni satu guru untuk 40 siswa, saat ini di Malawi, seorang guru mengajar 76 siswa.
Foto: picture-alliance/dpa
Kebaikan dan Darurat
Kekurangan guru terjadi dimana-mana, terutama di negara-negara berkembang. Akibatnya bisa jadi inovatif. Misalnya di Kamboja, karena kekurangan guru negara ini mendorong terlaksananya pembelajaran terpadu yang diperuntukkan bagi warga segala usia dan juga menugaskan guru dari kalangan etnik minoritas.
Foto: picture alliance/Robert Harding World Imagery
10 foto1 | 10
12 negara paling berisiko
Save the Children juga mendesak kreditor komersial untuk menunda pembayaran utang bagi negara-negara berpenghasilan rendah -sebuah langkah yang mereka sebut dapat membuat pemerintah menggunakan dana sebesar $ 14 miliar atau Rp 202 triliun untuk program pendidikan.
"Jika kita membiarkan krisis pendidikan ini berlangsung, dampaknya pada masa depan anak-anak akan bertahan lama," kata Ashing.
"Janji yang telah dibuat dunia untuk memastikan semua anak memiliki akses ke pendidikan berkualitas pada tahun 2030, akan mengalami kemunduran selama bertahun-tahun," tulis badan amal tersebut, mengutip PBB.
Laporan itu mencantumkan 12 negara, yang mempunyai risiko paling tinggi terhadap anak-anak yang tertinggal dalam akses pendidikan, yakni Niger, Mali, Chad, Liberia, Afghanistan, Guinea, Mauritania, Yaman, Nigeria, Pakistan, Senegal, dan Pantai Gading.
Sebelum krisis, diperkirakan 258 juta anak-anak dan remaja sudah kehilangan akses belajar di sekolah, kata badan amal itu.