1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Hantu Baru Bernama Anarko-Sindikalisme 

Zaky Yamani
Zaky Yamani
2 Januari 2021

Setelah mengalami banyak hal buruk dalam sejarah, pendekatan aparat terhadap ideologi-ideologi yang berbeda tidak juga berubah: mengedepankan stigma buruk ketimbang mencari kelemahannya dengan membaca. Opini Zaky Yamani.

Gambar ilustrasiFoto: Antara Foto/Basri Marzuki/Reuters

Berbagai sudut Kota Bandung pernah diramaikan oleh spanduk berisi pernyataan anti dan peringatan berbahaya tentang anarko-sindikalisme. Begitu banyaknya spanduk-spanduk itu, saya pikir jumlahnya dengan spanduk peringatan akan bahaya kelompok ISIS dan sang “musuh abadi” aparat negaraIndonesia: komunisme. 

Seperti juga terhadap ISIS dan komunisme, tak ada penjelasan yang utuh dari aparat negara kenapa anarko-sindikalis dianggap berbahaya. Bahkan dengan serampangan, disamakan dengan definisi “anarkis” menurut pemerintah: kekacauan dan kerusuhan. Padahal anarkisme sendiri adalah teori filsafat politik-ekonomi yang memandang negara sebagai perangkat yang berbahaya bagi masyarakat, terutama kelas buruh. 

Sedangkan anarko-sindikalisme adalah cabang dari anarkisme, yang berkonsentrasi kepada pergerakan buruh. Sindikalis merupakan kata Prancis yang berarti serikat buruh. Anarko-Sindikalis berpendapat, serikat buruh merupakan kekuatan yang potensial untuk menuju kepada revolusi sosial, menggantikan kapitalisme dan negara dengan tatanan masyarakat baru yang mandiri dan demokratis.  

Pada tataran teori, tak ada yang berbahaya dari anarko-sindikalisme. Malah sebaliknya, paham ini bisa jadi sparring partner yang menarik bagi para pembela kapitalisme maupun komunisme. Melalui paham ini, apa yang sudah dimaknai secara mapan di kubu kiri dan kanan, dapat diuji kembali kebenarannya di level teori maupun praktik. 

Banyak menarik perhatian kaum muda

Penulis: Zaky YamaniFoto: DW/A.Purwaningsih

Saya pikir, karena kemenarikannya itu, anarko-sindikalisme cukup banyak menarik perhatian generasi muda, terutama yang sudah jenuh dengan perdebatan antara sosialisme demokrat, kapitalisme, dan komunisme. Bagi mereka adalah sebuah tantangan berpikir, ketika ada teori yang menegaskan negara sebagai perangkat yang bisa membahayakan kemanusiaan. 

Faktanya, dari mereka yang mempelajari anarko-sindikalisme memang melakukannya di tahapan praktik: membentuk serikat buruh dengan paham tersebut, dan juga membentuk komunitas-komunitas yang aktif berdiskusi dan juga melakukan aksi demonstrasi. 

Anarkisme dan anarko-sindikalisme sebenarnya bukan barang baru di Indonesia. Soekarno sekali pun, walau tak sepakat secara ideologis, pernah menyebutnya apa yang dilakukan kaum anarkis “dapat menyelamatkan pergaulan hidup manusia.” 

Sedangkan anarkisme bagi kaum muda, tadinya diperkenalkan lewat jalur musik, ketika trend musik punk terjadi di Indonesia—terutama Bandung—pada pertengahan 1990-an, karena kaum punk erat dengan filsafat anarkis. Dari sanalah bermula anarksime dan percabangannya mulai dibaca dan dipelajari oleh kalangan muda saat itu, dan berlanjut ke kalangan muda saat ini. 

Di Indonesia, anarko-sindikalis dan para pengikutnya mulai menarik perhatian pada peringatan Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2019, ketika dengan represif aparat kepolisian membubarkan aksi kelompok ini, dan secara serampangan menangkapi siapa pun yang dianggap sebagai bagian dari kelompok anarko-sindikalis. Sebagian besar dari mereka bahkan mendapatkan aksi biadab berupa penelanjangan dan penggundulan rambut di depan publik. 

Saya pikir, aksi represif aparat kepolisian itu alih-alih membuat para pengikut anarko-sindikalisme jadi takut, malah sebaliknya menimbulkan dendam berkepanjangan. Slogan-slogan antipolisi pun jadi semakin gencar, dan mereka semakin menunjukkan sikap permusuhan kepada polisi. 

Kenapa polisi menindas para pengikut anarko-sindikalis?

Saya pikir karena mereka kelompok yang cukup lemah untuk ditindas—jika dibandingkan dengan kelompok buruh umumnya yang juga merayakan May Day. Saya melihat penindasan kepada kelompok anarko-sindikalis adalah sebuah proyek percontohan, bahwa polisi bisa melakukan represi yang sangat kasar jika kaum buruh mulai “mengganggu”. 

Karena itu, saya menganggap penting fenomena anti-anarko-sindikalisme, karena hal itu bukan semata peringatan bagi para pengikutnya, tapi itu ancaman secara tak langsung pada kelompok buruh secara keseluruhan, dan juga ancaman bagi kebebasan berpikir dan berbicara, yang pada akhirnya mengancam demokrasi. 

Seharusnya, alih-alih melakukan represi dan kampanye hitam, aparat kepolisian seharusnya secara cerdas mempelajari paham itu dan mencari titik lemahnya secara teori. Dengan langkah itu, demokrasi akan lebih terjaga, begitu juga aparat tidak mencoreng wajahnya sendiri dengan tudingan-tudingan yang tak jelas ujung-pangkalnya. 

Saya heran, setelah mengalami banyak hal buruk dalam sejarah bangsa ini, pendekatan aparatterhadap ideologi-ideologi yang berbeda tidak juga berubah: mengedepankan stigma buruk ketimbang mencari kelemahannya dengan membaca. Akhirnya, Indonesia punya hantu baru selain komunisme yang sudah kadung ditakuti. Hantu baru itu bernama anarko-sindikalisme. 

Esok, entah akan muncul hantu apa lagi. 

 

Zaky Yamani 

Kolumnis dan novelis