Dalam wawancara dengan DW, direktur Setara Institute Hendardi memaparkan tentang fobia komunisme yang masih kuat merebak di tengah masyarakat dan dimanfaatkan berbagai pihak demi kepentingan politik jangka pendek.
Iklan
Deutsche Welle: Bentrokan di YLBHI akhir pekan lalu menjadi polemik panjang, hingga akhirnya ada yang berpendapat diskusi terkait komunis harus dilarang. Sebenarnya apa yang terjadi di balik semua ini?
Hendardi: Sebetulnya aparat keamanan yang berhadapan dengan perisitwa semacam ini sering menghadapi ambivalensi atau dilema. Dan sering kali tindakannya tidak seragam dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain. Di beberapa tempat polisi cukup tegas, tetapi seperti di LBH kemarin saya kira polisi cukup lamban. Kemudian (mereka) menggunakan alasan yang dicari-cari seperti soal perizinan diskusi, yang sebetulnya tidak diperlukan sejauh itu dilakukan di kalangan terbatas, tertutup dan tidak melibatkan massa. Sebenarnya syarat-syarat itu sudah terpenuhi, tapi kita tahu, polisi tetap melarang. Saya kira ada perhitungan suka tidak suka di balik ini, yang dilakukan polisi. Jadi bukan sekedar perhitungan hukum, tapi juga berdasarkan kalkulasi politik. Saya kira di luar ini ada yang kemudian ikut bermain. Polisi cukup hati-hati, karena polisi baru dapat menghalau mereka dini hari dan itu juga harus dengan keras juga. Memang agak aneh, karena jarang sekali demonstrasi di Indonesia atau di Jakarta pada khususnya dilakukan tengah malam.
Lewat setara insitute Anda juga menyebutkan ada pihak yang tengah memainkan isu ini. Apakah pihak ini sedemikian kuatnya hingga bisa mempengaruhi kepolisian?
Sebelumnya sudah ada pernyataan-pernyataan dari kelompok-kelompok yang selama ini dikenal intoleran yang menyatakan apa yang dilakukan di LBH itu sebagai kegiatan komunis. LBH tidak menutupi hal ini, bahwa memang ini diskusi terbuka. Terbuka dalam pengertian hanya undangan-undangan yang diajukan untuk mengikuti seminar. Ketika mereka mengetahui hal tersebut, hantu komunis pun dipakai. Hantu komunis sebagai suatu alasan atau argumen, saya kira, ini berkaitan erat dengan momentum politik yang lebih besar pada masa mendatang, seperti pemilihan presiden dan lain-lain. (Hal ini) sudah dimulai sekarang. Jadi semua bumbu, baik Rohingya, PKI dan sebagainya kemudian digoreng untuk tujuan yang lebih jauh. Saya kira, sikap Panglima TNI yang meminta Angkatan Darat menyiarkan film tentang G30S - yang jelas-jelas digunakan untuk propaganda di masa lalu- itu mau didaur-ulang kembali, sementara usaha masyarakat untuk mengungkap sejarah tidak pernah diberikan ruang. Ini menunjukkan adanya kepentingan tersendiri, termasuk dari TNI.
Bagaimana Rezim NAZI Hitler Promosikan Antisemitisme Lewat Film
Rezim Nazi dengan cerdik membungkus sentimen antisemitisme dalam film-film komersial yang mereka bantu pendanaannya. Ini memang jadi bagian strategi propaganda mereka.
Foto: picture-alliance/akg-images
Film dengan narasi propaganda antisemitisme
"Jud Süss," salah satu film propaganda Nazi yang paling terkenal, yang sekarang dilarang untuk umum. Disutradarai oleh Viet Harlan tahun 1940. Harlan menceritakan kisah seorang bankir Jerman-Yahudi Joseph Süss Oppenheimer dan menggambarkan dia sebagai Yahudi konteks propraganda Nazi. "Jud Süss" ketika dirilis pertama kali ditonton oleh jutaan warga Jerman.
Foto: picture-alliance/akg-images
Membungkus antisemitisme dalam seni
Dalam filmnya, Harlan menonjolkan prasangka antisemit lewat plot dan karakternya. Seorang penulis Jerman-Yahudi pernah mengatakan, "Jud Süss" adalah "bentuk anti-Semitisme artistik yang paling kejam dan disempurnakan." Seroang pengamat film menulis, "Film ini secara terbuka memobilisasi ketakutan dan agresi seksual dan mengarahkannya untuk kepentingan antisemitisme.
Foto: Unbekannt
"Sutradara maut"
Penulis biografinya menyebut Veit Harlan sang "sutradara maut," karena dia total mengabdikan diri pada ideologi Nazi. Setelah Jerman kalah dalam Perang Dunia II, Veit Harlen sempat diadili, tapi masih tetap bisa bekerja setelah menjalani masa larangan kerja beberapa tahun.
Foto: picture-alliance/dpa
Bagaimana memperlakukan film propaganda sekarang?
Setelah perang, banyak sekali tulisan dan ulasan tentang Viet Harlan dan filmnya "Jud Süss". Sutradara Oskar Roehler mengolah material ini dan membuat film melodramatis "Jud Suss: Film Ohne Gewissen (film tanpa nurani)" (2010).
Foto: picture-alliance/dpa/Concorde Filmverleih
Joseph Goebbels, otak di belakang layar
Nazi dengan cepat menyadari bahwa bioskop bisa punya efek ampuh untuk propaganda. Joseph Goebbels, juru propaganda Nazi, lalu menggunakan media untuk mempromosikan ideologi anti Yahudi. Departemennya membuat banyak film propaganda, uga dalam budaya dan pendidikan.
Foto: picture-alliance/akg-images
Film dokumenter palsu
Film anti-Semit buatan Nazi lainnya adalah "Der ewige Jude" (Yahudi abadi) yang dirilis beberapa bulan setelah "Jud Süss" pada tahun 1940. Film yang dibuat oleh Fritz Hippler ini menunjukkan pemandangan dari Ghetto di Warsawa. Film ini menunjukkan kehidupan seniman Yahudi dan tradisinya, yang digabungkan dengan kutipan-kutipan pidato Hitler. Film ini diperkenalkan sebagai film dokumenter.
Foto: picture-alliance/akg-images
Sutradara favorit Hitler: Leni Riefenstahl
Leni Riefenstahl adalah salah satu pembuat film Nazi yang mencoba membersihkan namanya setelah 1945. Dia bertanggung jawab untuk membuat film dalam demonstrasi-demonstrasi massal Nazi, yang menjadi bagian sentral dari dari mesin propaganda.
Foto: picture alliance/Keystone
Propaganda lewat layar perak
Kebanyakan film propaganda Nazi dibuat antara tahun 1933 dan 1945 dengan porsi anti-Semitisme yang lebih kecil dibandingkan dengan "Jud Süss." Beberapa film bahkan direvisi saat produksi. Film historis "Bismarck" (1940) pada awalnya direncanakan sebagai film propaganda yang jauh lebih agresif.
Foto: Picture-alliance/akg-images
8 foto1 | 8
Apa yang membuat masyarakat sedemikian mudah dimobilisasi lewat fobia atau hantu komunisme seperti istilah Anda tadi?
Sejauh sejarah memang tidak bisa dibicarakan secara terbuka, sejauh sejarah tidak bisa diungkap secara terang dan tidak bisa dinikmati oleh publik, sejauh itu pula, institusi-institusi politik yang dominan masih bisa menyatakan kebenaran dalam satu persepektif. Tugas Presiden Jokowi untuk membenahi hal-hal semacam ini. Setidaknya, ia harus menegur Panglima TNI yang menghidup-hidupkan lagi hantu komunis yang pada kenyataannya tidak pernah ada. Secara konsepsi sudah usang, dan secara nyata juga tidak ada praktik komunis yang bisa hidup di sini. Di belahan bumi lain juga sudah surut. Jika kita menghidup-hidupkan itu, bisa jadi lelucon bagi masyarakat dunia.
Komunisme Sudah Mati Dimangsa Kapitalisme
Ideologi komunisme sudah bangkrut seiring runtuhnya Tembok Berlin, bubarnya Uni Sovyet dan Pakta Warsawa. Ironisnya negeri komunis kini lebih lihai bicara pertumbuhan ekonomi ketimbang ideologi.
Foto: Fotolia/Savenko Tatyana
Rusia
Biang komunisme Eropa ini menyadari runtuhnya ideologi yang digagas Karl Marx dan dikembangkan oleh Lenin dan Stalin seiring bubarnya Uni Sovyet. Pemimpin Rusia saat ini, Vladimir Putin tidak lagi banyak bicara soal ideologi, melainkan lebih menekankan ekpsor migas, penjualan senjata dan berebut hegemoni kekuatan global.
Foto: picture alliance/landov/A. Zhdanov
Cina
Embahnya komunisme di Asia ini menyadari bahwa ekonomi lebih penting dari ideologi. Petinggi Partai Komunis di Beijing lebih panik saat ekspor anjlok dan konjungktur turun, ketimbang saat Kongres Rakyat macet. Cina masih terapkan sistem satu partai, tapi terus membangun zona ekonomi istimewa dimana-mana untuk genjot ekspor. Negara ini juga memberi utang 1 Trilyun US Dollar kepada Amerika Serikat.
Foto: Reuters/D. Sagolj
Vietnam
Negara Asia lain yang masih mengusung ideologi komunisme ini, sudah sejak dua dasawarsa banting setir mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Komunis Vietnam digdaya pada tahun 70-an dengan menumbangkan kekuatan Amerika. Namun tahun 90-an menyadari, kemakmuran dan ekonomi lebih penting dibanding ideologi.
Foto: AFP/Getty Images
Korea Utara
Satu-satunya negara Asia yang diyakini masih setia pada ideologi komunisme adalah Korea Utara. Tapi Kim Jong Un kini lebih tertarik pada permainan kekuasaan global, dengan ancaman senjata nuklirnya ketimbang penguatan ideologi. Politik dinasti Kim kini kelihatan jauh lebih penting dari komunisme, yang lebih banyak digunakan menenangkan rakyat yang lapar dan miskin.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Kuba
Komunisme di Kuba pelan-pelan sekarat bersama lengsernya Fidel Castro. Penerusnya yang juga adiknya Raul, lebih membuka diri untuk pertumbuhan ekonomi. Pelan tapi pasti Kuba membuka pasarnya dan berfokus pada kepentingan ekonomi ketimbang ideologi. Rakyat sudah muak dengan kemiskinan dan pembodohan selama 5 dasawarsa diktatur komunis.
Foto: picture-alliance/dpa/O. G. Mederos
Laos
Sejak lebih dari satu dekade Laos yang berpartai tunggal sibuk menggulirkan liberalisasi pasar untuk membenahi perkonomian. Hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi di atas 8% hampir setiap tahun. Tapi serupa Cina, jiran Indonesia itu masih setia pada konsep Marxis/ Leninis dan tidak segan menangkap atau menghilangkan paksa aktivis kemanusiaan jika diperlukan.
Foto: Getty Images/AFP/H. Dinh Nam
6 foto1 | 6
Apa komentar Anda bila para politisi seperti dari Nasdem yang angkat suara dan mengusulkan agar diskusi komunis dilarang, padahal kebenaran mengenai peristiwa 1965 belum sepenuhnya dibuka.
Saya kira dia politisi ketinggalan zaman. Da tidak mengikuti perkembangan di dunia dan masih terpaku seolah-olah itu menjadi kebenaran yang dipuja-puja dan dipegang terus. Seharusnya dia menyuarakan bahwa orang yang berpikir, yang berkeyakinan lain, harus diberi tempat dalam negara demokrasi ini. Itu termasuk dengan cara berdiskusi. Bagaimana orang bisa melihat dengan terang, kalau fakta sejarah itu tertutup. Saya kira akan banyak anggota partai politik yang berpendapat semacam itu. Yang punya pandangan berbeda juga kuatir, karena dalam konteks seperti ini selalu akan berhadapan dengan TNI atau purnawirawan atau kelompok yang berafiliasi dengan TNI untuk kemudian menentang upaya membuka sejarah itu, atau katakanlah mendiskusikan saja sudah dilarang.
Suara Bisu Perempuan Korban Tragedi 65
Jutaan penduduk menua dengan trauma 65 di pundaknya. Sebagian pernah disiksa dan kehilangan anggota keluarga. Hingga kini mereka menderita dalam diam. Tanpa suara. Tanpa keadilan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Uang saya hanya cukup untuk menyambung nyawa"
Sumilah berusia 14 tahun ketika ia ditangkap tahun 1965. Tuduhannya: Dia adalah anggota dari gerakan perempuan "Gerwani". Aparat menghajarnya sampai pingsan. Mereka kemudian menyekap Sumilah di kamp Plantungan. Di sana baru diketahui bahwa ia korban salah tangkap. Di masa tua, Sumilah hidup di Yogyakarta dengan uang pas-pasan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mereka memukuli ayahku hingga hampir mati"
Ayah Kina diduga merupakan simpatisan Komunis. Ia ditangkap dan tak boleh bekerja. "Itu sebabnya saya mengambil peran sebagai pengganti ayah," kata dia. Kina berpakaian seperti anak laki-laki, bekerja di ladang an mengumpulkan kayu bakar. Masyarakat mengecapnya sebagai "anak komunis". Oleh karena itu, ia dan saudara-saudaranya kehilangan hak atas tanah ayah mereka .
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Masih tersimpan luka di hati saya"
Suami Lasinem ditangkap tahun 1969, disiksa & dikirim ke Pulau Buru. "Suamiku diangkut oleh kawannya sendiri, yang merupakan tentara. Dia dipukuli, punggungnya diinjak-injak sampai luka di sekujur tubuh," papar Lasinem. Perempuan ini ditinggalkan sendirian dengan anak-anaknya. Tahun 1972, mereka menyusul sang kepala keluarga ke Buru. Trauma ketakutan melekat di diri Lasinem hingga saat ini.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Meski dipukuli bertubi-tubipun saya tidak menangis"
Sri adalah seniman dan penyanyi yang tergabung dalam organisasi yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1965 ia ditangkap, disiksa, dan dipenjara. "Depan kamar tidur kami penuh tahi," kenangnya. "Kotoran itu baunya tak tertahankan." Ketika dia dibebaskan pada tahun 1970, rumahnya sudah dirampas keluarga lain. Sri menjadi tunawisma. Di masa tua, ia tinggal bersama keponakannya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Aku harus meninggalkan bayi perempuanku"
Berkali-kali Yohana ditangkap, ditahan, diinterogasi. Ketika ditangkap ke-2 kalinya, ia baru saja melahirkan. Ia dipisahkan dari bayinya masih menyusu. Dua tahun kemudian baru ia bertemu anak perempuannya lagi. "Pengalaman kekerasan itu menghantuiku terus," paparnya. Namun, sepanjang hayatnya, ia tak pernah menceritakan apa yang menimpanya saat itu, bahkan pada keluarganya sekalipun.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mungkin takkan pernah lupa"
Ketika Juriah beumur 7 tahun, ayah diasingkan ke Pulau Buru tahun 1966. Saat menginjak usia 18 tahun, Juriah dipaksa ikut pernikahan massal. Dia harus berjanji tidak pernah meninggalkan Buru. Meskipun penuh penderitaan, ia tetap di sana: "Jika kita datang ke tempat-tempat tertentu, kita akan berbicara tentang masa lalu dan terasa seolah-olah kita tertusuk pisau."
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Orang-orang belum tahu kebenarannya"
"Begitu banyak hilang pada tahun 1965, tanpa pengadilan atau bukti-bukti keterlibatan dengan kasus 65," kata Migelina. Seluruh keluarganya dipenjara pada tahun 1965 - ia kehilangan orang tuanya dan kakaknya. Meski tragedi sudah berlalu berakhir, tetapi ia tetap mendoakan. Migelina percaya bahwa Tuhan memberinya kehidupan lebih panjang, untuk bisa mengetahui apa yang terjadi dengan keluarganya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
7 foto1 | 7
Ketika ada alasan diskusi dilarang dan aktivis disalahkan tidak sensitif dan menyebabkan perpecahan di masyarakat, menurut Anda apakah alasan ini masuk akal?
Saya kira kita harus membenahi persepsi semacam itu. Yang membuat bangsa ini pecah adalah orang-orang yang tidak mau, atau bersikutat pada kebenarannya sendiri. Dia merasa kebenaran itu adalah milik mereka, orang lain tidak dibenarkan untuk memiliki pandangan atau mengungkap fakta yang lain. Itu yang membuat masyarakat terpecah. Maksudnya mempersatukan dalam pengertian dalam satu kebenaran versi mereka, itu hanya dimiliki oleh Orde Baru. Sudah berapa lama Orde Baru lengser, sudah bukan saatnya lagi berbicara seperti itu. Persepsi demikian keliru. Kebenaran justru harus dibuka, menurut saya.
*Wawancara DW melalui telepon dengan Hendardi dilakukan oleh Tonggie Siregar.