Serangan mematikan di sinagog Yerusalem memicu kembali ketegangan dalam konflik Israel dan Palestina. Siapa yang bisa menghentikan melayangnya nyawa secara sia-sia? Komentar Torsten Teichmann.
Iklan
Eskalasi di Yerusalem mencapai titik tertentu yang harus mendapat perhatian. Konflik antara Israel dan Palestina tidak boleh lagi diperuncing dengan kekerasan. Ini berlaku bagi semua pihak. Serangan terhadap sinagog menambah kekhawatiran bahwa masalah politik dan teritorial tidak akan terselesaikan, jika konflik agama yang kini terjadi menghambatnya.
Pembunuhan di sinagog di Har Nof Yerusalem adalah perbuatan brutal dan tidak jelas arahnya. Kelompok Palestina seperti Hamas mencoba 'menjual' serangan tersebut sebagai perang melawan pendudukan Israel. Ini tidak mungkin! Pembunuhan bukanlah perilaku kemanusiaan, ujar Menteri Luar Negeri AS Kerry dan ia benar.
Seruan serangan balasan dari kedua pihak
Pernyataan yang membenarkan perbuatan tersebut adalah bukti betapa brutal dan tidak manusiawinya konflik di Timur Tengah saat ini. Seruan akan balas dendam dan hukuman kolektif bagi warga Palestina yang dilakukan warga Yahudi Israel haluan kanan adalah bukti berikutnya.
Ini tidak bisa menenangkan situasi sekarang. Politik lah yang memiliki tanggung jawab terbesar atas atmosfir yang memanas. Tapi politik gagal. Kepala pemerintahan Israel Benjamin Netanyahu menyalahkan Presiden Palestina Mahmud Abbas atas serangan tersebut. Menurutnya, Abbas menghujat Israel dan menyerukan hari kemurkaan sehingga merasa mendapat dukungan. Menteri Ekonomi Israel Naftali Benner bahkan menyebut Abbas sebagai salah satu teroris terbesar Palestina. Ini hanya perang kampanye politik dalam negeri untuk mendapat suara kelompok kanan.
Padahal tuduhan ini tidak sesuai dengan masukan dari dinas rahasia Israel. Kepala dinas rahasia Israel Shin Bet mengatakan: Presiden Abbas tidak menyerukan teror. Presiden Palestina mengecam serangan tersebut. Pada pernyataan keduanya, ia menentang secara umum pembunuhan terhadap warga sipil - siapa pun yang melakukannya.
Tapi Abbas juga harus mempertanyakan apakah seruan membela mesjid Al Aqsa dengan segala cara bisa menenangkan situasi. Apakah sang presiden benar-benar khawatir pemerintah garis keras Israel bisa kembali membelah bangunan tersebut? Atau Abbas hanya ingin melihat Netanyahu berlutut di Amman, Yordania?
Netanyahu dan Abbas di bawah tekanan
Pada kedua pihak, sepertinya tekanan politik dalam negeri lah yang menentukan agenda kerja. Netanyahu memutuskan semua hubungan dengan Palestina dan sekutunya. Tidak ada lagi pembicaraan politik yang ingin dimulainya kembali. Padahal Menlu AS John Kerry sangat mengharapkan sebaliknya. Dan presiden Palestina berjuang untuk mengambil alih kendali di Jalur Gaza dari dominasi Hamas. Sebelum kekuatan yang lebih muda dan lebih radikal bisa merebut kekuasaannya.
Pada dasarnya, Israel dan Palestina punya tujuan yang sama: Hidup dalam kondisi aman. Tapi tujuan ini hanya bisa dicapai secara bersama. Apa yang terjadi sekarang menunjukkan hal yang sebaliknya. Hanya politik yang bisa menahan kehancuran berikutnya.
Intifada: Dari Pembangkangan Sipil Hingga Roket Qassam
Serangan brutal di sebuah Sinagoga di Yerusalem yang menewaskan beberapa warga sipil Israel baru-baru ini memicu kekhawatiran munculnya gerakan Intifada baru. Berikut sejarah perlawanan warga Palestina
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Mohammed
Hilangnya Kesucian
Selasa, 18 Novermber 2014, dua pemuda Palestina menyerang Sinagoga Kehillat Bnei Torah di Yerusalem dan membunuh empat warga sipil. Serangan ini adalah serangan yang pertama terhadap rumah ibadah kaum Yahudi itu sejak dimulainya konflik Timur Tengah. Berbeda dengan tempat lain, Sinagoga di Israel adalah satu-satunya gedung publik yang bebas dari kawalan aparat keamanan.
Foto: Reuters/A. Awad
Dendam Menuai Kebencian
Pemerintah Israel mulai merobohkan rumah milik pengemudi mobil yang secara sengaja menabrak warga sipil Israel di Yerusalem, Oktober silam. Perdana Menteri Netanyahu juga memastikan, pihaknya akan melakukan hal serupa terhadap kediaman pelaku serangan Sinagoga di Yerusalem, 18 Novermber. Reaksi Israel ini dikhawatirkan akan mewariskan kebencian kepada generasi mendatang Palestina.
Foto: Reuters/A. Awad
Intifada Perorangan?
Serangkaian serangan warga sipil Palestina terhadap Israel baru-baru ini memicu kekhawatiran munculnya gerakan Intifada baru di Timur Tengah. Namun berbeda dengan gerakan sebelumnya yang terkoordinir, kali ini gelombang serangan terhadap warga sipil Israel dilakukan oleh individu yang tidak berafiliasi dengan organisasi teror di Palestina.
Foto: picture-alliance / dpa
Perang Batu
Sejarah Intifada bermula dari pembangkangan sipil hingga penggunaan tindak kekerasan sejak 1987. Pemberontakan awalnya bermula di kantung-kantung pengungsi dan menyebar ke perkotaan. Syeikh Ahmad Yassin dan Yassir Arafat adalah dua tokoh Palestina yang memayungi gerakan tersebut.
Foto: Reuters
Kunjungan Singkat Berbuntut Panjang
Adalah kedatangan Ariel Sharon ke tempat suci kaum Muslim, Al-Haram asy-Syarif, pada September 2000 yang kemudian memicu gerakan Intifada kedua atau yang lebih dikenal dengan Intifada al-Aqsa.
Foto: AP
Pembangkangan Sipil Berganti Peluru
Tampak seorang ibu Palestina menghujat serdadu Israel di Jenin, Tepi Barat Yordan. Pembangkangan sipil yang menjadi wajah intifada damai kini berganti menjadi tindak kekerasan. 2002 silam Palestina menuding Israel melakukan pembantaian di kamp pengungsi Jenin. Israel menepis tudingan tersebut. Sebanyak 500 warga Palestina tewas dalam operasi perisai pertahanan Israel di Jenin.
Foto: APImages
Ketegangan Tak Berujung
Pelaku serangan Sinagoga dikabarkan berasal dari Yerusalem Timur. Sepotong wilyah Palestina yang diduduki Israel ini berulangkali menjadi lokasi pecahnya tindak kekerasan. Secara resmi Israel menduduki Yerusalem Timur, namun secara sistematis menganaktirikan wilayah yang didiami warga Arab tersebut. Akibatnya sebagian besar warga Yerusalem Timur tidak memiliki kewarganegaraan.
Foto: Coex/AFP/Getty Images
Batu dan Bedil
Batu dan ketapel menjadi simbol perjuangan warga Palestina setelah dua gelombang Intifada menghantam Israel. Namun kenyataan berbicara lain. Israel mengklaim selama 1558 hari gelombang kedua Intifada terjadi sebanyak 138 bom bunuh diri, 13.730 serangan bersenjata dan 460 serangan roket Qassam.
Foto: Reuters/M. Torokman
Kebencian yang Diwariskan
Anak-anak yang sering menjadi saksi sekaligus korban tindak kekerasan dan pembalasan dendam Israel adalah pihak yang paling ditelantarkan dalam konflik di Timur Tengah. Merekalah yang kemudian mewariskan dendam generasi sebelumnya dan memperpanjang konflik yang tak berujung itu.
Foto: Hazem Bader/AFP/GettyImages
Tembok Derita
Tembok sepanjang 759 Kilometer yang memisahkan Israel dari Tepi Barat Yordan ini dibangun sesaat setelah berakhirnya gelombang Intifada kedua, 2002 silam. Tembok ini dinyatakan melanggar hukum internasional oleh Pengadilan HAM di Den Haag.