Remaja Nepal Yang Dideportasi, Boleh Kembali ke Jerman
26 Juli 2017
Ketika Bivsi Rana (15) dideportasi ke Nepal akhir Mei lalu, teman-teman sekolah dan warga sekitar di Jerman mengggalang aksi protes. Akhirnya dia kini mendapat visa untuk kembali ke Jerman.
Iklan
Hampir dua bulan setelah dideportasi ke Nepal, Bivsi Rana dan orangtuanya diijinkan kembali ke Duisburg, Jerman, dengan visa pelajar. Walikota Duisburg Sören Link menyatakan lega dengan solusi itu.
"Bagi saya pribadi, saya merasa lega, karena kami berhasil mendapat jalan ke luar dari situasi yang sangat rumit ini", kata Link.
Tanggal 29 Mei lalu akan menjadi ingatan buruk bagi Bivsi Rana, 15 tahun, anak dari orangtua Nepal yang lahir di Jerman. Tahun 1998, orangtuanya mengajukan permohonan suaka politik di Jerman. Namun permohonan itu ditolak di semua instansi. Tetapi prosesnya makan waktu belasan tahun.
Sementara itu, Bivsi sudah menempuh sekolah Jerman sampai tingkat sekolah menengah atas. Namun dengan adanya penolakan permohonan suaka orangtuanya, otomatis ijin tinggal keluarga mereka di Jerman berakhir.
Lalu pejabat balai kota Duisburg tanggal 29 Mei 2017 menjemput anak itu di sekolahnya, dan dia dan keluarganya pada hari itu juga langsung dideportasi dengan pesawat udara ke Nepal. Bivsi tidak pernah menyadari bahwa ijin tinggalnya di Jerman hanya bersifat kondisional dan bisa sewaktu-waktu berakhir.
Kawan-kawan Bivsi di sekolah juga terkejut dengan peristiwa itu. Mereka menggalang aksi protes yang kemudian jadi sorotan media sampai tingkat nasional. Apalagi karena Bivsi lahir dan besar di Jerman.
Kasus Bivsi akhirnya menjadi perhatian kalangan solidaritas sampai politisi-politisi teras. Administrasi lokal di Duisburg mendapat kecaman keras karena dianggap bersikap terlalu "kaku" dan langsung mendeportasi keluarga Nepal itu.
Legal tapi tidak adil
Menghadapi protes luas itu, pemerintah kota Duisburg lalu berjanji akan meninjau lagi kasus Bivsi dan keluarganya. Menurut UU yang berlaku, mereka memang harus dideportasi dan administrasi lokal tidak melakukan kesalahan.
Namun masyarakat dan media terus mempertanyakan tindakan deportasi yang dianggap terlalu "brutal" dan terburu-buru. Walikota Duisburg Sören Link lalu mengirim surat ke pemerintahan federal dan Kementerian Luar Negeri di Berlin agar mempertimbangkan lagi kasus Bivsi dan keluarganya.
Akhirnya Bivsi sekarang mendapat visa pertukaran pelajar, yang membolehkan dia dan orangtuanya kembali ke Jerman. Visa itu juga membolehkan dia mengajukan "follow up visa" setelah selesai di sekolah menengah atas dan tetap bisa tinggal di Jerman.
"Ini adalah kasus individual yang tidak berlaku secara umum," kata Joachim Stamp, Menteri Integrasi di Negara Bagian Nordrhein-Westfalen.
"Yang menjadi pertimbangan utama dalam kasus ini adalah hak seorang anak untuk mendapat pendidikan," jelas dia. "Bivsi lahir di Jerman dan tumbuh besar di sini. Dia de facto adalah seorang anak Jerman," tandasnya.
Walikota Sören Link memuji inisiatif kawan-kawan sekolah Bivsi, yang begitu gigih memperjuangkan nasib temannya. Dia meminta pemerintahan federal di Berlin membuat aturan khusus, agar di masa depan tidak terjadi lagi aksi deportasi seperti yang ahrus dialami Bivsi Rana dan keluarganya.
Para Imigran Yang Mengubah Wajah Dunia
Mereka terpaksa meninggalkan kampung halaman. Namun di tanah air baru mereka, para imigran ini mengubah wajah dunia - sebagai saintis, politisi, seniman, pengusaha atau olahragawan.
Foto: Imago/United Archives International
Albert Einstein
Tanpa dia dan teori relativitas, pandangan manusia kini tentang alam semesta akan berbeda. Saat Nazi berkuasa di Jerman, Albert Einstein yang berdarah Yahudi dan tengah berada di Amerika Serikat tak bisa kembali ke Jerman, karena nyawanya bisa terancam. Ia mengembalikan paspornya dan beremigrasi ke Amerika Serikat.
Foto: Imago/United Archives International
Marlene Dietrich
Penyanyi dan aktris Jerman Marlene Dietrich sudah terkenal di Amerika Serikat ketika ia meninggalkan Jerman pada tahun 1938. Dia tinggal di Amerika Serikat dan di Perancis. Dari kedua negara itu, ia membantu para pengungsi dan tentara sekutu. Setelah akhir Perang Dunia II di Jerman, ia dituduh telah berkhianat pada negaranya sendiri.
Foto: picture-alliance/dpa
Henry Kissinger
Dia adalah seorang profesor di Harvard University, pernah menjadi menteril luar negeri Amerika Serikat, dan pakar hubungan internasional. Pada tahun 1938, Henry Kissinger meninggalkan Bayern, Jerman, dan melarikan diri dari ancaman maut Nazi. Meskipun saat Perang Dunia II dia menjadi tentara Amerika yang memerangi bangsanya sendiri, dia mengatakan sebagian dari dirinya selalu tetap Jerman.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Schiefelbein
Madeleine Albright
Dari Cekoslovakia, dua kali Madeleine Albright dan keluarganya melarikan diri: pertama, setelah invasi Nazi pada tahun 1939, mereka mengungsi dari Praha ke London. Sempat kembali ke Praha, pada tahun 1948 mereka hijrah ke AS setelah rezim komunis di tanah air mereka mengambil alih kekuasaan. Pada tahun 1997, perempuan berdarah Yahudi ini menjadi menteri luar negeri Amerika Serikat.
Foto: Getty Images/AFP/S. Loeb
M.I.A.
Namanya Mathangi "Maya" Arulpragasam, tapi para penggemar mengenalnya sebagai MIA. Di usia kanak-kanak, dari Sri Lanka, ia melarikan diri ke India menuju ke Inggris. Dalam sebuah wawancara, ia berkata: "Pada awalnya, saya memberitahu semua orang bahwa saya berasal dari Trinidad, jadi saya tidak perlu berbicara tentang Sri Lanka dan perang. Saya tidak mengatakan bahwa saya seorang pengungsi. "
Foto: Getty Images/C. Polk
Miriam Makeba
Miriam Makeba - yang dikenal sebagai Mama Afrika berasal dari Afrika Selatan. Ia berada di sebuah acara di AS ketika pejabat negara Afsel tak mengizinkannya pulang. Lagu mereka "Pata Pata" menjadi hit di seluruh dunia pada tahun 1967. Setelah tinggal di Guinea dan Belgia, atas permintaan Nelson Mandela, pada tahun 1990, pejuang hak-hak sipil ini kembali ke Afrika Selatan.
Foto: Getty Images
Freddie Mercury
Orang tua bintang rock dengan suara khas ini melarikan diri dari gejolak revolusioner di Zanzibar ke London - bersama dengan Freddie kecil. Sisanya adalah sejarah: Mercury naik dan band-nya menjadi ikon rock. Kematiannya akibat HIV/AIDS mendorong kampanye mengatasi isu HIV.
Foto: Getty Images/Hulton Archive
Thomas Mann
Dia dianggap sebagai salah satu penulis paling penting dari abad ke-20. Nazi menyebut peraih penghargaan Nobel ini sebagai "gelombang besar kebiadaban eksentrik". Ia manjadi eksil di Swiss pada tahun 1933 dan pada tahun 1939 ke Amerika Serikat. Pada tahun 1938 ia menciptakan slogan: "Di mana saya berada, itulah Jerman. Saya membawa budaya Jerman dalam diri saya."
Foto: picture-alliance/dpa
Isabel Allende
Setelah kudeta militer berdarah di Chili pada tahun 1973, keluarga Isabel Allende melarikan diri ke Venezuela. 13 tahun kemudian dia pindah ke Amerika Serikat. Pengalaman pribadinya mengalir dalam novel "The House of Spirits". Karena pernah punya pengalaman serupa, tahun 2015 dia menyerukan agar Eropa menyambut para pengungsi.
Foto: Koen van Weel/AFP/Getty Images
Sitting Bull
Kepala suku Sioux , Tatanka Iyotake - lebih dikenal sebagai Sitting Bull - habiskan waktu selama beberapa tahun di pengasingan. 1877 - setahun setelah pertempuran Little Bighorn - ia melarikan diri bersama dengan 2.000 pengikutmya ke Kanada. Tahun 1881 ia kembali ke Amerika dan menyerahkan diri kepada pihak berwenang. Dia ditangkap dan tinggal di reservat Indian. Ia kemudian tewas terbunuh.
Foto: Imago/StockTrek Images
Neven Subotic
Seperti rekannya Vedad Ibisevic (Hertha Berlin), saat masih kecil, Subotic melarikan diri dari kampung halamannya, di Bosnia-Herzegovina. Pada tahun 2012 ia mendirikan sebuah yayasan yang menyediakan akses air minum bagi ana-anak di negara berkembang. Subotic pernah bermain untuk Borussia Dortmund dan pindah ke FC Köln. Ed: Dagmar Breitenbach, Martin Muno (ap/as)