Apakah satir benar-benar boleh melakukan segalanya? Dimana kebebasan berhenti jika hal itu menyangkut agama? Pertanyaan menyeruak setelah serangan teror terhadap majalah Charlie Hebdo. Komentar Rainer Traube.
Iklan
Pertanyaan sebetulnya itu keliru. Kutipan dari pernyataan Tucholsky: "Satir punya sebuah batasan, ke atas". Paling tidak batasan ini terlampaui setelah sengketa gara-gara karikatur Nabi Muhammad. Satu dekade lamanya kita punya waktu untuk membolak-balik, memutar, menjauhi atau mempertimbangkan setiap argumen.
Semua ini tidak lagi memainkan peranan, apakah redaktur Charlie Hebdo dengan artikel dan karikaturnya sekali-sekali melawati batasan yang ada. Pembantaian di Paris telah mengubah perspektif. Terlalu lama kita bersembunyi di balik diskusi: "dimana batasan seni" dan meredam pertanyaan yang sebenarnya. Yakni: apakah kita siap membayar ongkos dari kebebasan?
Para redaktur Charlie Hebdo yang dibunuh di Paris memiliki keberanian luar biasa untuk melawan segala ancaman dan tekanan, dan terus melakukan pekerjaannya. Mereka membuat para politisi Perancis jengkel, menerima kritikan dari rekan seprofesi serta hidup dalam ancaman pembunuhan.
Sekarang kita tahu, ongkos untuk kepedulian sipil ini. Kini muncul pertanyaan berikutnya. Jika sosok pembunuh dari kelompok fanatik bisa menyerbu hingga ke ruang redaksi, siapa yang melindungi orang-orang yang berani ini? Apakah masih tersisa orang yang berani?
Paling tidak setelah serangan teror Paris, sejumlah redaksi koran dan majalah memutuskan, mengaburkan atau menutup foto-foto dan artikel Charlie Hebdo hingga tidak bisa dikenali lagi. Sebagai antisipasi. Kita tidak bisa menutupi, rasa takut sudah merasuki redaksi media.
Tapi di sisi lain juga terjadi hal yang istimewa. Sesaat setelah aksi pembantaian di Paris, jutaan orang di seluruh dunia menunjukkan solidaritas dengan Charlie Hebdo. Dengan hashtag: #JeSuisCharlie mereka menunjukkan, setiap orang adalah Charlie. Para jurnalis, para seniman dan warga biasa mengutarakan sikapnya secara terbuka. Sebuah teriakan kencang kolektif digital yang dari menit ke menit makin lantang.
Kita semua perlu aksi semacam itu untuk melawan kehilangan semangat dan keputus asaan. Dengan itu, minimal pendapat orang lain yang terkadang keras, tidak kehilangan arti. Kita bisa mengatakan: "Saya tidak suka dengan pendapat Anda, tapi saya membela dengan segala cara hak Anda untuk mengeluarkan pendapat."
Wartawan dan Kebebasan Pers
Sebuah studi mengungkap, situasi yang dihadapi wartawan masih buruk. Berikut negara-negara yang dianggap berbahaya buat awak pers.
Foto: AFP/Getty Images/P. Baz
"Setengah Bebas" di Indonesia
Di Asia Tenggara, cuma Filipina dan Indonesia saja yang mencatat perkembangan positif dan mendapat status "setengah bebas" dalam kebebasan pers. Namun begitu Indonesia tetap mendapat sorotan lantaran besarnya pengaruh politik terhadap media, serangan dan ancaman terhadap aktivis dan jurnalis di daerah, serta persekusi terhadap minoritas yang dilakukan oleh awak media sendiri.
Foto: picture-alliance/ dpa
Kebebasan Semu di Turki dan Ukraina
Pemberitaan berimbang, keamanan buat wartawan dan minimnya pengaruh negara atas media: Menurut Freedom House, tahun 2013 silam cuma satu dari enam manusia di dunia yang dapat hidup dalam situasi semacam itu. Angka tersebut adalah yang terendah sejak 1986. Di antara negara yang dianggap "tidak bebas" antara lain Turki dan Ukraina.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Serangan Terhadap Kuli Tinta
Turki mencatat serangkain serangan terhadap wartawan. Gökhan Biçici (Gambar) misalnya ditangkap saat protes di lapangan Gezi. Menurut Komiter Perlindungan Jurnalis (CPJ), awal Desember lalu Turki memenjarakan 40 wartawan - jumlah tertinggi di seluruh dunia. Ancaman terbesar buat kebebasan pers adalah pengambil-alihan media-media nasional oleh perusahaan swasta yang dekat dengan pemerintah.
Foto: AFP/Getty Images
Celaka Mengintai buat Suara Kritis
Serangan terhadap jurnalis juga terjadi di Ukraina, terutama selama aksi protes di lapangan Maidan dan okupasi militan pro Rusia di Krimea. Salah satu korban adalah Tetiana Chornovol. Jurnalis perempuan yang kerap memberitakan gaya hidup mewah bekas Presiden Viktor Yanukovich itu dipukuli ketika sedang berkendara di jalan raya. Ia meyakini, Yanukovich adalah dalang di balik serangan tersebut.
Foto: Genya Savilov/AFP/Getty Images
"Berhentilah Berbohong!"
Situasi kritis juga dijumpai di Cina dan Rusia. Kedua pemerintah berupaya mempengaruhi pemberitaan media dan meracik undang-undang buat memberangus suara kritis di dunia maya. Rusia misalnya membredel kantor berita RIA Novosti dan menjadikannya media pemerintah. Sebagian kecil penduduk Rusia pun turun ke jalan, mengusung spanduk bertuliskan, "Berhentilah Berbohong!"
Foto: picture-alliance/dpa
Mata-mata dari Washington
Buat Amerika Serikat, mereka adalah negara dengan kebebasan pers. Namun kebijakan informasi Washington belakangan mulai menuai kecaman. Selain merahasiakan informasi resmi dengan alasan keamanan nasional, pemerintah AS juga kerap memaksa jurnalis membeberkan nara sumber, tulis sebuah studi. Selain itu dinas rahasia dalam negeri AS juga kedapatan menguping pembicaraan telepon seorang jurnalis.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Terseret Kembali ke Era Mubarak
Setelah kejatuhan Presiden Mursi yang dianggap sebagai musuh kebebasan pers, situasi di Mesir pasca kudeta militer 2013 lalu terus memanas. Belasan jurnalis ditangkap, lima meninggal dunia "di tangan militer," tulis Freedom House. Media-media yang kebanyakan tunduk pada rejim militer Kairo membuat pemberitaan berimbang menjadi barang langka di Mesir.
Foto: AFP/Getty Images
Situasi di Mali Membaik
Mali mencatat perkembangan positif. Setelah pemilu kepresidenan dan operasi militer yang sukses menghalau pemberontak Islamis dari sebagian besar wilayah negara, banyak media yang tadinya dibredel kembali beroperasi. Kendati begitu perkembangan baru ini diwarnai oleh pembunuhan dua jurnalis asal Perancis, November 2913 silam.
Foto: AFP/Getty Images
Tren Positif di Kirgistan dan Nepal
Beberapa negara lain yang mengalami perbaikan dalam kebebasan pers adalah Kirgistan, di mana 2013 lalu tercatat lebih sedikit serangan terhadap jurnalis. Nepal yang juga berhasil mengurangi pengaruh politik terhadap media, tetap mencatat serangan dan ancaman terhadap awak pers. Loncatan terbesar dialami oleh Israel yang kini mendapat predikat "bebas" oleh Freedom House.
Foto: AFP/Getty Images
Terburuk di Asia Tengah
Freedom House menggelar studi di 197 negara. Setelah melalui proses penilaian, lembaga bentukan bekas ibu negara AS Eleanor Roosevelt itu memberikan status "bebas", "setengah bebas" dan "tidak bebas" buat masing-masing negara. Peringkat paling bawah didiami oleh Turkmenistan, Uzbekistan dan Belarusia. Sementara peringkat terbaik dimiliki oleh Belanda, Norwegia dan Swedia.