1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kemajuan Harapan Hidup Bagi ODHA

28 November 2017

Hari AIDS Sedunia diperingati untuk tumbuhkan kesadaran tentang HIV/AIDS. Bagaimana Anda memperlakukan orang-orang yang mengidap HIV/AIDS? Opini Uly Siregar.

Welt-AIDS-Tag
Foto: picture-alliance/Pacific Press/S. Paul

Bulan Oktober 2017, politikus partai Republik dari Amerika Serikat, Betty Price, bicara soal kemungkinan melegalisasi tindakan karantina terhadap mereka yang terinfeksi HIV. Wakil rakyat dari negara bagian Georgia yang juga ahli anestesi ini memaparkan, karantina dianggap perlu untuk menghentikan penyebaran virus HIV yang menyebabkan penyakit AIDS. Menurut data tahun 2014, diperkirakan sejumlah 1,1 juta orang di AS terinfeksi HIV. Dari jumlah tersebut, 1 dari 7 orang tak menyadari mereka terinfeksi HIV.

Komentar Betty Price ini jelas mengundang kontroversi. Grup-grup advokasi pun sontak protes. Di abad 21, komentar yang menyudutkan mereka yang terinfeksi HIV jelas tidak bermartabat. Apalagi menengok ke belakang, sejak epidemi AIDS di tahun 1980-an, masyarakat memperlakukan mereka yang terinfeksi HIV atau orang yang hidup dengan AIDS (ODHA) dengan sangat buruk. Saat itu, selain ODHA dikucilkan dari pergaulan masyarakat, perawatan untuk mereka pun belum seoptimal sekarang. ODHA dibiarkan mati perlahan dalam kesepian.

Penulis: Uly Siregar Foto: Uly Siregar

Sampai kini belum ada obat yang bisa secara tuntas menyembuhkan AIDS. Kabar baiknya, meski tak ada obat penyembuh, kini tingkat harapan hidup mereka yang terinfeksi HIV dan menjalani terapi Antiretroviral hampir menyamai tingkat harapan hidup mereka yang tidak terinfeksi HIV. Profesor Helen Stokes-Lampard dari Royal College GP seperti dikutip BBC mengatakan adalah sebuah capaian medis yang luar biasa bahwa infeksi HIV yang tadinya memiliki prognosis buruk sekarang bisa dikelola, dan mereka yang terinfeksi HIV bisa hidup secara signifikan lebih lama.

Bagaimana di tanah air?

Bila di negara maju seperti AS masih ada orang yang bergerak di dunia medis mengeluarkan pernyataan tak sensitif soal ODHA dan mereka yang terinfeksi HIV seperti Betty Price, bagaimana dengan di Indonesia?

Sayangnya, persoalan ODHA dan mereka yang terinfeksi HIV tak hanya tentang mengelola virus mematikan ini hingga tak segera merenggut nyawa. AIDS adalah penyakit yang membawa dampak sosial buruk bagi mereka yang menderita. Stigma bahwa ODHA adalah orang-orang yang pantas menerima azab kematian dari Tuhan karena dosa-dosa mereka adalah hal yang jamak. Penyakit AIDS kerap dikaitkan dengan perilaku seks bebas (terutama homoseksual) dan narkoba. Karenanya, simpati pada ODHA nyaris tak ada, padahal mereka adalah orang-orang yang rentan dengan kematian bila tak mendapat perawatan paripurna. Bandingkan perlakuan masyarakat dengan mereka yang juga mengidap penyakit mematikan seperti kanker. Bisa dibayangkan bagaimana simpati dan doa mengalir tak putus-putus pada pasien jenis penyakit ini.

Edukasi jelas jalan terbaik untuk melenyapkan stigma pada ODHA dan mereka yang terinfeksi HIV. Masyarakat harus terus-terusan diajarkan tak hanya tentang bagaimana menghindari penularan AIDS, tapi juga soal bersosialisasi secara beradab dan manusiawi dengan ODHA. Mitos-mitos tak bermutu seperti hanya mereka yang homoseksual dan pengguna narkoba yang mungkin terinfeksi HIV perlu ditepis. Faktanya, bayi yang tak berdosa pun bisa terinfeksi HIV. Sejatinya seperti penyakit mematikan lainnya, siapa saja bisa terkena HIV/AIDS, termasuk ibu rumah tangga yang setia pada suami, mereka yang tak pernah berhubungan dengan sesama jenis atau tak pernah menyentuh pekerja seks komersial.

Satu Lagi Pasien Bayi HIV Berhasil Disembuhkan

Ilmuwan Kembangkan Gunting Genetik buat Sembuhkan HIV/AIDS

Mengapa takut? 

Yang pasti, masyarakat harus paham hal yang sangat mendasar: tak perlu takut melakukan kontak fisik dengan ODHA. Berjabat tangan dan bersentuhan dengan ODHA tidak akan membuat seseorang terinfeksi HIV. Virus HIV tak bisa berpindah lewat udara, sentuhan, keringat, air mata, atau pertukaran saliva. Ia biasanya berpindah lewat hubungan seksual tanpa proteksi (karena adanya pertukaran cairan tubuh) dan jarum suntik yang terkontaminasi virus HIV. ODHA hamil yang tidak melakukan terapi kemungkinan besar menularkan virus HIV pada bayinya, termasuk lewat ASI.

ODHA dan mereka yang terinfeksi HIV dengan terapi terkini Antiretroviral bisa menjalani hidup yang nyaris sama kualitasnya dengan mereka yang tidak terinfeksi HIV. Bila mereka diasingkan dan tidak diterima secara baik oleh masyarakat, bisa dibayangkan bagaimana kita sesungguhnya melenyapkan berbagai potensi yang ada pada mereka.

Ada banyak rujukan yang dengan mudah dicari bila ingin memahami bagaimana menghindari penularan AIDS/HIV. Tapi bila masyarakat sudah lebih dulu antipati pada ODHA dan mereka yang terinfeksi HIV, keinginan untuk memahami pun buyar. Simpati dan empati adalah barang langka, apalagi bila harus membaginya dengan mereka yang mengusung stigma seperti ODHA. Mungkin cara termudah adalah dengan menempatkan diri pada posisi mereka, bagaimana bila saya yang terinfeksi HIV? Atau bagaimana bila orang  yang saya cintai ternyata ODHA? Apa rasanya terasing, ditakuti, belum lagi dihujat sebagai manusia yang layak menerima azab karena pendosa? Mungkin dengan cara ini kita bisa lebih bersimpati—syukur-syukur berempati—pada ODHA dan mereka yang terinfeksi HIV.

Penulis: Uly Siregar (ap/vlz)

Bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.

@sheknowshoney

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.