Masih ingat Mary Jane dan Merry Utami? Apakah sistem peradilan di Indonesia sudah berlaku adil pada mereka?
Foto: picture-alliance/dpa/Bimo Satrio
Iklan
"Ibarat orang belum ke Jakarta kalau belum lihat Monas, nah belum ke Lapas Wirogunan kalau belum ketemu Mary Jane,” ujar seorang petugas yang mengantar kami saat itu, di suatu hari pada Agustus 2016.
Ia bercerita, sudah banyak pejabat ataupun tokoh publik yang mengunjungi Mary Jane Velosso, warga negara Filipina yang menjadi terpidana mati karena tertangkap membawa heroin di dalam tasnya. Para tamu itu datang untuk sekadar berkenalan dan berfoto bersama.
Saya tercenung. Tamu-tamu –seperti saya-- silih berganti mengunjungi, ingin berkenalan dengan Mary yang terkenal, memperlakukannya bak Tugu Monas.
Namun seberapakah kami betul-betul peduli pada nasib Mary yang merasa telah diperlakukan zalim oleh sistem peradilan di Indonesia?
Penulis: Feby IndiraniFoto: Feby Indirani
Salah satu bagian terberat bagi saya dalam proses penulisan cerita dari penjara ini, adalah ketika harus mewawancarai para terpidana mati, juga terpidana seumur hidup.
Saya bukan pendukung hukuman mati, dan tidak sanggup membayangkan siksaan batin yang dialami oleh mereka yang mendapat vonis tersebut. Saya juga sulit mencerna, bahwa ada orang yang akan seumur hidupnya berada di penjara dan tidak akan punya kesempatan lagi untuk mendapatkan kehidupan normal. Saya cemas akan mengajukan pertanyaan yang menyebalkan dan tidak berempati kepada keadaan mereka.
Wawancara adalah aktivitas yang sangat saya sukai dan telah saya lakukan bahkan sejak saya masih siswa SMA sebagai staf redaksi majalah sekolah, namun tugas kali ini bisa dikatakan salah satu yang paling menguras emosi.
Jokowi dan Ilusi Hukuman Mati
Presiden Jokowi menggunakan hukuman mati sebagai jurus andalan dalam perang melawan narkoba. Padahal berbagai studi ilmiah membuktikan hukuman mati tidak mampu menurunkan angka kejahatan. Oleh Rizki Nugraha
Foto: Reuters/Romeo Ranoco
Keyakinan Jokowi
Gigih cara Presiden Joko Widodo membela hukuman mati. Indonesia berada dalam darurat narkoba, dalihnya, meski angka kematian akibat narkoba jauh lebih rendah ketimbang rokok atau akibat kecelakaan lalu lintas. Tapi realitanya hukuman mati adalah hukum positif di Indonesia dan dia yakin, membunuh pelaku bisa menciptakan efek jera buat yang lain. Benarkah?
Foto: Reuters/Olivia Harris
Pepesan Kosong
Studi ilmiah di berbagai negara menyebutkan sebaliknya. Hukuman mati tidak serta merta mampu mengurangi kriminalitas. Sebuah penelitian di Amerika Serikat oleh American Civil Liberties Union bahkan menemukan negara bagian yang menerapkan hukuman mati justru mengalami peningkatan tindak kriminal. Kepolisian AS juga menganggap eksekusi mati sebagai cara paling tidak efektif memerangi kriminalitas
Foto: picture-alliance/AP Photo/K. Sato
Jagal Paling Produktif
Hukuman mati di Indonesia adalah peninggalan era kolonial Belanda. Rajin diterapkan oleh Suharto buat melenyapkan musuh politiknya, hukuman mati kemudian lebih banyak dijatuhkan dalam kasus pembunuhan. Pada era Jokowi pemerintah aktif menggunakan hukuman mati terhadap pengedar narkoba, jumlahnya lebih dari 60 eksekusi, baik yang sudah dilaksanakan atau masih direncanakan.
Cacat Keadilan
Sejak menjabat presiden 2014 silam, Jokowi telah memerintahkan eksekusi mati terhadap lebih dari 60 terpidana. Celakanya dalam kasus terpidana mati Pakistan, Zulifkar Ali, proses pengadilan diyakini berlangsung tidak adil. Ali diklaim mengalami penyiksaan atau tidak didampingi penerjemah selama proses persidangan, tulis Jakarta Post.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Nagi
Bantuan dari Atas
Terpidana mati lain, Freddy Budiman, bahkan mengklaim mampu mengedarkan narkoba dalam skala besar dari dalam penjara berkat bantuan pejabat di kepolisian dan Badan Narkotika Nasional. Sejauh ini tidak satupun pejabat tinggi kepolisian yang pernah diselidiki terkait tudingan semacam itu.
Foto: Getty Images/AFP/B. Nur
Pendekatan Keamanan
Kendati terbukti tidak efektif, pemerintahan Jokowi menjadikan hukuman mati sebagai ujung tombak dalam perang melawan narkoba. Ironisnya pemerintah terkesan belum serius menyelamatkan pengguna dari ketergantungan. Saat ini BNN cuma memiliki empat balai rehabilitasi di seluruh Indonesia.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Irham
Solusi Buntu
Menurut BNN, tahun 2011 kasus penyalahgunaan narkoba mencapai hingga 2,8 juta orang. Angka tersebut naik sebesar 0,21 persen dibandingkan tahun 2008. Tapi kini tingkat penyalahgunaan narkoba diyakini meningkat menjadi 2,8 persen alias 5,1 juta orang. Padahal hukuman mati sudah rajin diterapkan terhadap pengedar narkoba sejak tahun 2004.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Uang Terbuang?
Terlebih eksekusi mati bukan perkara murah. Untuk setiap terpidana, Polri menganggarkan hingga 247 juta, sementara taksiran biaya versi Kejaksaan Agung berkisar di angka 200 juta. Artinya untuk 60 terpidana mati yang telah atau masih akan dieksekusi, pemerintah harus mengeluarkan dana hingga 15 milyar Rupiah.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/S. Images
Geming Istana
Beberapa pihak bahkan mengatakan satu-satunya yang berhasil dicapai Jokowi dengan mengeksekusi mati pengedar narkoba adalah memancing ketegangan diplomasi dengan negara lain. Namun begitu Jokowi bersikeras akan tetap melanjutkan gelombang eksekusi mati terhadap terpidana narkoba.
Foto: Reuters/Romeo Ranoco
9 foto1 | 9
Mary Jane: "Masih ingin ketemu lagi dengan anak-anak saya.”
Ketika menceritakan kisahnya kepada saya, Mary menangis tersedu-sedu. "Saya tidak bersalah! Tolong bantu saya. Saya masih ingin ketemu lagi dengan anak-anak saya, " ujarnya pilu. Butuh waktu beberapa saat hingga tangis Mary reda dan dapat kembali mengendalikan diri.
Mary mencari nafkah dengan menjadi pekerja rumah tangga di negeri orang. Sempat bekerja di Abu Dhabi, Mary akhirnya melarikan diri karena hampir diperkosa. Berikutnya ia kembali berniat menjadi pekerja rumah tangga, kali ini di Malaysia. Melalui bantuan Maria Kristian P. Sergio tetangganya, Mary sampai di Kuala Lumpur.
Setelah seminggu tinggal di sana, belum ada tanda-tanda ia akan dibawa ke rumah majikan. Maria kemudian malah memintanya memilih, ditinggal Maria ke Indonesia untuk suatu keperluan atau Mary sendiri yang harus berangkat ke Indonesia untuk mewakili dirinya.
"Waktu itu saya ketakutan ditinggal sendiri karena trauma akan ancaman perkosaan yang dulu,” ujarnya dengan bahasa Indonesia yang sangat lancar.
Akhirnya meskipun ragu, ia memilih berangkat ke Indonesia. Maria berjanji sepulangnya dari Indonesia, ia akan mulai bekerja dengan majikan yang baru di Malaysia.
Mary berangkat dibekali uang 500 dollar AS dan diberi tas untuk menyimpan pakaian dan peralatan pribadinya. Ternyata di tas itu terdapat heroin seberat 2,6 kilogram.
Menurut cerita Mary, saat ditangkap ia tidak mendapatkan pendampingan hukum yang memadai. Ia memang didampingi pengacara lokal, tapi tidak ada seorang pun dari Kedutaan Filipina yang mendampinginya. Padahal Bahasa Inggris-nya amat terbatas, bahasa Indonesianya nol.
Ketika ia menjalani pemeriksaan urin, hasilnya negatif. Mary awalnya senang. "Saya lega, karena saya pikir itu membuktikan bahwa saya tidak bersalah dan tidak tahu menahu tentang heroin. Ternyata saya salah, jika hasil urin negatif, saya justru dianggap sebapai pengedar yang artinya hukumannya jauh lebih berat daripada jika saya seorang pemakai,” kisahnya.
Dalam proses persidangan, menurut Mary, hakim sempat bertanya kepadanya dalam bahasa Inggris, apakah ia menyesali perbuatannya. Mary mengatakan ia menangkap kata regret (menyesal), tapi ia tidak memahami artinya.
"Saya tidak paham kata regret, waktu hakim tanya itu, saya kira pertanyaannya adalah apakah saya melakukannya atau tidak? Saya langsung dengan tegas bilang ‘No'. Tidak. Ternyata sepertinya hakim mengira, saya tidak ada rasa penyesalan telah membawa heroin,” ujar Mary sedih.
Pada April 2015 Mary masuk ke dalam daftar eksekusi dan sudah dibawa ke Nusa Kambangan. Lalu tiba-tiba ada kabar bahwa Maria, tetangganya yang melibatkan dirinya dalam jejaring heroin itu menyerahkan diri pada pihak keamanan Filipina. Saat ini, tiga tahun setelahnya, belum juga ada kepastian mengenai status Mary Jane.
Penjara Kaum Sipit di Negeri Kulit Putih
Penasehat Donald Trump menyebut kamp pengasingan Jepang selama Perang Dunia II sebagai model untuk menampung imigran Muslim di Amerika. Seperti apa bentuk kamp yang dibangun atas dasar histeria perang bermotif rasis itu?
Foto: STF/AFP/Getty Images
Relokasi Paksa
Setelah serangan Jepang ke Pearl Harbor, pemerintah AS yang dipimpin Franklin D. Roosevelt tahun 1942 memerintahkan relokasi paksa 120.000 warga negara AS berdarah Jepang ke kamp-kamp pengasingan yang dijaga ketat. Mereka, tanpa terkecuali, dikategorikan sebagai enemy alien alias musuh asing.
Foto: Public Domain
Rasisme Terbuka
Gagasan dasar kamp pengasingan buat warga keturunan Jepang adalah untuk mencegah aksi spionase atau sabotase selama masa perang. Kecurigaan yang berdasarkan pola pikir rasialis dan dipicu oleh politisi dan militer itu ikut menyebar di kalangan penduduk.
Foto: Public Domain
Kerugian Materiil
Relokasi paksa cuma mengizinkan warga keturunan Jepang membawa barang-barang seadanya. Sebagian besar penduduk yang diasingkan akhirnya kehilangan harta benda atau dipecat dari pekerjaan hanya karena latarbelakang etnis. Petani yang menggarap lahan sewaan juga kehilangan hak sewanya seketika.
Foto: Public Domain
Penghilangan Etnis
Anehnya kelompok yang terkena kebijakan tersebut cuma warga keturunan Jepang. Sementara untuk warga negara AS berlatar belakang Eropa seperti Jerman atau Italia tidak mengalami relokasi atau hanya dalam skala kecil. Sekitar 300.000 warga negara Jerman yang saat itu tinggal di Amerika misalnya cuma harus melaporkan diri secara berkala.
Foto: Public Domain
Minim Fasilitas
Bahwa keputusan tersebut diambil secara mendadak, terlihat dari ketidaksiapan pemerintah AS membangun fasilitas perumahan untuk mereka yang diasingkan. Sebagian bahkan dibiarkan tinggal di barak kayu tanpa dapur atau saluran pembuangan. Di banyak kamp, barak yang sedianya dibangun untuk empat orang disesaki hingga 25 orang.
Foto: Public Domain
Kondisi Muram
Pada 1943 Menteri Dalam Negeri AS Harold Ickles mengeluhkan kondisi di kamp yang dinilainya "buruk dan semakin parah." Pasalnya kualitas sebuah kamp bergantung pada pemerintahan negara bagian yang memfasilitasi pengasingan warga keturunan Jepang.
Foto: Public Domain
Doktrin dan Propaganda
Untuk sekitar 30.000 bocah yang ikut direlokasi paksa bersama keluarganya, kamp pengasingan serupa seperti pusat re edukasi. Mereka tidak hanya dilarang berbicara bahasa Jepang, tetapi juga dicekoki materi pelajaran berbau propaganda untuk membangun jiwa patriotisme. Minimnya tenaga pengajar dan buku pelajaran juga memperburuk kualitas pendidikan di kamp-kamp tersebut.
Foto: Public Domain
Melanggar Konstitusi
Pada Desember 1944, Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan penahanan warga negara tanpa alasan jelas melanggar konstitusi. Keputusan tersebut mengakhiri praktik relokasi paksa terhadap warga keturunan Jepang. Tapi butuh waktu lebih dari satu tahun untuk membubarkan kamp-kamp pengasingan.
Foto: Public Domain
Aroma Permusuhan
Sebagian besar bekas tahanan diberikan uang sebesar 25 Dollar AS untuk melanjutkan hidup setelah masa pengasingan. Namun sejumlah lain diusir paksa kembali ke Jepang tanpa uang ganti rugi. Penduduk yang kembali ke kota asalnya juga dilaporkan mengalami presekusi dan teror, antara lain penembakan dan ledakan bom di rumah tinggal.
Foto: Public Domain
Setengah Abad Menunggu Maaf
Menyusul tekanan dari aktivis sipil, pemerintah Amerika Serikat 1980 akhirnya sepakat memberikan uang ganti rugi sebesar 20.000 Dollar AS terhadap setiap warga yang diasingkan. Namun baru 11 tahun kemudian korban relokasi mendapat permintaan maaf resmi dari Gedung Putih, yakni oleh Presiden George Bush Sr. (rzn/ap)
Foto: Public Domain
10 foto1 | 10
Mama kalau bisa sudah cantik ya di dalam peti mati
Itulah pesan putri tunggal Merry Utami, perempuan terpidana mati lainnya menjelang eksekusinya pada Juli 2016. Karena itu di malam eksekusinya di Nusa Kambangan, Merry menunggu hukuman mati sambil mengenakan make up, berdandan secantik yang ia bisa. Selagi menunggu, keringat sebesar biji jagung membanjiri wajah dan tubuhnya. Merry pun sibuk menyeka wajahnya karena khawatir riasannya luntur.
Merry adalah seorang buruh migran yang tertangkap di Bandara Soekarno Hatta karena kedapatan membawa heroin seberat 1,1 kg. Menurut versi Merry, awal keterlibatannya dengan sindikat narkoba bermula dari pertemuannya dengan Jerry, anggota sindikat narkoba, yang mengaku warga negara Kanada dan sedang berbisnis di Indonesia.
Sempat berpacaran dengan pria ini, Merry kemudian dititipi tas kulit yang dikatakan sebagai contoh barang yang akan didagangkan. "Saya sempat bertanya, kok tas ini berat ya? Tapi dijawab, iya karena bahan kulitnya bagus,” kenang Merry. Namun ternyata pada dinding tas itu sudah diletakkan narkoba. Ia kemudian dijatuhi hukuman mati tahun 2002 dan ditempatkan di Lapas Wanita Tangerang, Banten.
Metode Hukuman Mati
Meski suara untuk menghapus hukuman mati semakin lantang, namun pembunuhan yang secara hukum legal ini masih dipraktikkan di banyak negara di dunia. Berikut beberapa metode hukuman mati yang masih lazim saat ini.
Foto: picture-alliance/dpa
Tembak
Terpidana dengan mata tertutup kain hitam, duduk atau berdiri terikat di depan satu eksekutor atau satu regu tembak. Satu regu tembak biasanya terdiri dari beberapa personil militer atau aparat penegak hukum, yang diperintahkan untuk menembak secara bersamaan. Metode ini dipakai diantaranya di Indonesia, Cina, Arab Saudi, Taiwan, Korea Utara.
Foto: Fotolia/Scanrail
Suntikan Maut
Biasanya terdiri dari tiga bahan kimia: natrium pentonal (obat bius), pancuronium bromide (untuk melumpuhkan) dan kalium klorida (untuk menghentikan jantung). Terdengar tidak menyakitkan. Namun, jika eksekusi gagal, terpidana mati bisa meregang ajal secara menyakitkan dalam waktu cukup lama. Metode ini dipakai diantaranya di Amerika Serikat, Cina, Vietnam.
Foto: BilderBox
Kursi Listrik
Terpidana mati sebelumnya dicukur, sebelum mengenakan topi metal berelektroda yang di dalamnya dilapisi spons yang dibasahi larutan garam. Listrik dengan tegangan antara 500 dan 2000 volt dialirkan selama 30 detik, dan diulang beberapa kali sampai terpidana dinyatakan meninggal. Metode ini dipakai di Amerika Serikat.
Foto: picture-alliance/dpa
Gantung
Diantaranya dipakai di Afghanistan, Bangladesh, India, Iran, Iraq, Jepang, Malaysia, dan Kuwait. Eksekusi hukuman mati ini pertama kali diterapkan sekitar 2.500 tahun lalu pada masa Kekaisaran Persia. Di beberapa negara terpidana ditimbang berat badannya untuk menentukan panjang tali. Jika tali terlalu pendek, terpidana dapat tercekik, dan kematian baru datang setelah 45 menit.
Foto: vkara - Fotolia.com
Pancung
Pemenggalan kepala telah digunakan sebagai satu bentuk eksekusi mati selama ribuan tahun. Saat ini, Arab Saudi adalah satu-satunya negara yang memakai metode ini. Biasanya eksekusi dilaksanakan di halaman mesjid usai shalat Jumat atau pada hari raya. Menurut Amnesty International, setidaknya 79 orang dihukum pancung di Arab Saudi pada tahun 2013.
Foto: picture-alliance/dpa/Abir Abdullah
Lainnya
Masih ada beberapa metode eksekusi mati, walaupun jarang dipakai. Diantaranya adalah: rajam, kamar gas dan juga menjatuhkan terpidana dari ketinggian.
Foto: picture-alliance/dpa
6 foto1 | 6
Setelah mendapatkan vonis hukuman mati ia sempat mengalami masa depresi selama setahun penuh. Tak henti-henti Merry marah, menyesali diri dan merutuki kebodohannya. Sampai kemudian perkataan seorang rekan sesama napi--seorang pembunuh-- membuatnya tersadar.
"Di penjara ini kita hanya bisa dekat sama Tuhan, kita tidak bisa berharap sama siapapun. Lalu dia bilang, kamu mau begini terus? Mau sampai kapan? Kalau kamu percaya Tuhan, kerjakan saja bagianmu dan biarkan Tuhan yang menangani selebihnya,” ujar Merry mengenang ucapan temannya tersebut. Ia tersentak, menyadari betapa selama ini ia sudah begitu jauh dari Tuhan. Ia teringat nasihat neneknya yang pernah didapatnya ketika masih kecil, bahwa hal yang baik itu bisa datang dari mana saja, tidak peduli siapapun orangnya. Merry pun berpikir mungkin waktunya untuk mendengarkan dan membuka diri.
"Sejak itu saya bertekad, saya ingin berubah. Saya nggak ingin seperti ini terus, menyia-nyiakan hidup saya.” Setiap paginya Merry bangun dan menatap wajahnya di cermin buram pada dinding selnya lalu bicara pada diri sendiri : Saya harus bangkit. Saya harus jadi orang yang lebih benar.
Sisi Gelap Perang Narkoba di Filipina
Presiden Filipina Rodrigo Duterte bersumpah akan memberantas bisnis narkoba. Untuk itu ia menggunakan cara-cara brutal. Hasilnya ratusan mati ditembak dan penjara membludak.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Sumpah Digong
Presiden baru Filipina, Rodrigo "Digong" Duterte, melancarkan perang besar terhadap kelompok kriminal, terutama pengedar narkotik dan obat terlarang. Sumpahnya itu bukan sekedar omong kosong. Sejak Duterte naik jabatan ribuan pelaku kriminal telah dijebloskan ke penjara, meski dalam kondisi yang tidak manusiawi.
Foto: Reuters/E. De Castro/Detail
Sempit dan Sesak
Potret paling muram perang narkoba di Filipina bisa disimak di Lembaga Pemasyarakatan Quezon City, di dekat Manila. Penjara yang dibangun enam dekade silam itu sedianya cuma dibuat untuk menampung 800 narapidana. Tapi sejak Duterte berkuasa jumlah penghuni rumah tahanan itu berlipat ganda menjadi 3.800 narapidana
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Beratapkan Langit
Ketiadaan ruang memaksa narapidana tidur di atas lapangan basket di tengah penjara. Hujan yang kerap mengguyur Filipina membuat situasi di dalam penjara menjadi lebih parah. Saat ini tercatat cuma terdapat satu toilet untuk 130 tahanan.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Cara Cepat "menjadi gila"
Tahanan dibiarkan tidur berdesakan di atas lapangan. "Kebanyakan menjadi gila," kata Mario Dimaculangan, seorang narapidana bangkotan kepada kantor berita AFP. "Mereka tidak lagi bisa berpikir jernih. Penjara ini sudah membludak. Bergerak sedikit saja kamu menyenggol orang lain," tuturnya. Dimaculangan sudah mendekam di penjara Quezon City sejak tahun 2001.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Minim Anggaran
Sebuah ruang sel di penjara Quezon City sebenarnya cuma mampu menampung 20 narapidana. Tapi lantaran situasi saat ini, sipir memaksa hingga 120 tahanan berjejalan di dalam satu sel. Pemerintah menyediakan anggaran makanan senilai 50 Peso atau 14.000 Rupiah dan dana obat-obatan sebesar 1.400 Rupiah per hari untuk setiap tahanan.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Sarang Penyakit
Buruknya situasi sanitasi di penjara Quezon City sering berujung pada munculnya wabah penyakit. Selain itu kesaksian narapidana menyebut tawuran antara tahanan menjadi hal lumrah lantaran kondisi yang sempit dan berdesakan.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Sang Penghukum
Dalam perang melawan narkoba Duterte tidak jengah menggunakan cara brutal. Sejak Juli silam aparat keamanan Filipina telah menembak mati sekitar 420 pengedar narkoba tanpan alasan jelas. Cara-cara yang dipakai pun serupa seperti penembak misterius pada era kediktaturan Soeharto di dekade 80an. Sebab itu Duterte kini mendapat julukan "the punisher."
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Membludak
Menurut studi Institute for Criminal Policy Research di London, lembaga pemasyarakatan di Filipina adalah yang ketiga paling membludak di dunia. Data pemerintah juga menyebutkan setiap penjara di dalam negeri menampung jumlah tahanan lima kali lipat lebih banyak ketimbang kapasitas aslinya.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Pecandu Mati Kutu
Presiden Duterte tidak cuma membidik pengedar saja, ia bahkan memerintahkan kepolisian untuk menembak mati pengguna narkoba. Hasilnya 114.833 pecandu melaporkan diri ke kepolisian untuk menjalani proses rehabilitasi. Namun lantaran kekuarangan fasilitas, sebagian diinapkan di berbagai penjara di dalam negeri.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Duterte Bergeming
Kelompok HAM dan gereja Katholik sempat mengecam sang presiden karena ikut membidik warga miskin yang tidak berurusan dengan narkoba. Beberapa bahkan ditembak mati di tengah jalan tanpa alasan yang jelas dari kepolisian. Seakan tidak peduli, Duterte malah bersumpah akan menggandakan upaya memberantas narkoba.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
10 foto1 | 10
Mendapat kekuatan baru
Perlahan, Merry merasa mendapatkan kekuatan baru. Selain aktif di kegiatan rohani ia juga menekuni aktivitas kesenian, sesuatu yang memang pernah menjadi minatnya saat remaja, tapi tidak pernah sempat ditekuninya. Merry belajar memainkan gitar dan kemudian mulai menciptakan lagu. Ia ternyata memiliki multi-talenta, mulai dari seni peran, menulis dan menyutradarai operet.
Merry juga terlibat di sejumlah pementasan, antara lain berlangsung di Taman Ismail Marzuki. Lima belas tahun pun berlalu sejak hukuman mati dijatuhkan, dan Merry telah berkarya, berkesenian, dan memberikan warna kepada kehidupan WBP di sana.
Pada tanggal 23 Juli 2016 malam pukul 20.00 Merry yang sedang tidur di sel seusai membersihkan kamar mandi dibangunkan oleh dua orang petugas. Petugas yang satu membawa sebotol air mineral dan yang satu membawa gayung menyuruh untuk cuci muka. Ternyata malam itu juga pukul 20.30 Merry akan diberangkatkan ke Nusa Kambangan. Tidak ada pemberitahuan apapun sebelumnya. "Saya syok tapi saya cuma bilang ke diri sendiri semua orang itu pasti mati, selama di bus saya terus berdoa kepada Tuhan, jika saya masih diizinkan untuk hidup saya ingin berbuat lebih baik lagi, " ujar Merry.
Selama lima hari menanti saat eksekusinya tiba, Merry fokus berdoa. Ia pun lebih banyak berpuasa, paling hanya makan dua buah apel dan minum sebotol air putih. Jika mengingatnya lagi Merry sendiri heran kenapa ia bisa tahan duduk berdoa selama 20 jam sehari dan hampir tidak pernah merebahkan badan. Di malam itu, dengan wajah riasan lengkap sesuai permintaan anaknya, Merry menanti panggilan maut. Jelang tengah malam, kabar itu datang, Merry tak jadi dieksekusi. Ia bersyukur merasa diberikan kesempatan lagi untuk menjalani hidup. Ia sempat tidak percaya ketika diberitahu bahwa eksekusinya batal. "Saya langsung berpikir Tuhan mau apa dari saya?”
Mary dan Merry, dua perempuan terpidana mati bernama sama dengan ejaan berbeda. Keduanya memiliki bakat istimewa di bidang seni. Keduanya aktif berkarya di dalam penjara meskipun kapan saja bisa dibawa untuk dieksekusi mati. Keduanya adalah contoh perempuan yang terjebak sindikasi narkoba dan dimanfaatkan sebagai pembawa. Kisah miris yang dialami keduanya yaitu ditipu oleh orang yang mereka percayai –teman ataupun kekasih-- bertebaran di penjara kita. Salah seorang perempuan terpidana mati Rani Andriana telah dieksekusi Januari 2015.
Modus menjerat perempuan-perempuan muda dengan memacari mereka atau menawari pekerjaan berulang. Sayangnya, saya belum melihat ada perhatian yang cukup dan kampanye intensif dari pemerintah Indonesia agar warga lebih waspada terhadap modus seperti ini.
Akankah mereka mendapat keadilan ataukah mereka hanya akan berakhir mati di dalam penjara, selamanya jauh dari keluarga mereka.
@FebyIndirani adalah penulis sejumlah buku fiksi dan nonfiksi. Ia menginisiasi gerakan Relaksasi Beragama (Relax, It's Just Religion). Buku terbarunya adalah Bukan Perawan Maria (Pabrikultur, 2017), 69 things to be Grateful about being Single (GPU, 2017) dan Made in Prison (KPG, 2017)
AS Kuba - Perjalanan Sejarah
Di era Fidel Castro, hubungan Amerika Serikat dan Kuba sempat alami kebekuan selama puluhan tahun. Berikut kilas baliknya dalam foto:
Foto: Reuters/Enrique De La Osa
Revolusi Kuba 1959
8 Januari 1959, pemimpin Kuba Fidel Castro (tengah, berdiri di jeep) dengan pemimpin revolusi lainnya, Camilo Cienfuegos (kiri) ketika memasuki ibukota Kuba, Havanna, disambut meriah warga setempat. Lewat revolusi, mereka berhasil menggulingkan rezim Batista, yang ditunggangi Amerika Serikat. Mulai berkuasanya Fidel Castro juga jadi awal masa komunis di Kuba.
Foto: picture-alliance/dpa
Invasi di Teluk Babi 1961
April 1961 anggota Assault Brigade 2506, yang merupakan warga Kuba penentang Castro, ditangkap di Teluk Babi, Kuba. Invasi tersebut adalah upaya untuk menggulingkan Fidel Castro. Upaya yang direncanakan dan didanai oleh Amerika Serikat ini gagal.
Foto: AFP/Getty Images/M. Vinas
AS Blokade Kuba
1962, Uni Sovyet tempatkan pesawat tempur di Kuba. 24 Oktober 1962, Presiden AS John Fitzgerald Kennedy tandatangani perintah untuk blokade laut Kuba. Ketegangan terus memuncak dan dunia amati dengan cemas apakah akan ada jalan keluar damai dari krisis tersebut. 20 November 1962 pesawat pembom Uni Sovyet meninggalkan Kuba, dan Kennedy cabut blokadenya.
Foto: AFP/Getty Images
Kebekuan 50 Tahun
Akibat Invasi Teluk Babi dan Krisis Rudal Kuba, AS dan Kuba membekukan hubungan. Selama Fidel Castro berkuasa, mulai revolusi 1959 hingga 2008, tidak ada hubungan apapun antara AS dan Kuba.
Foto: picture-alliance/dpa
Pendekatan Mulai Tampak di Soweto
10 Desember 2013, Presiden AS Barack Obama bertemu Presiden Kuba Raul Castro di Soweto Afrika Selatan, pada upacara pemakaman mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela. Ketika itu kedua kepala negara berjabat tangan. Raul Castro mengambil alih kepemimpinan Kuba 2008 setelah kakaknya, Fidel Castro menderita sakit.
Foto: Chip Somodevilla/Getty Images
Tukar Tahanan, Desember 2014
Alan Gross, kontraktor dan pakar IT asal AS, yang mendekam di tahanan Kuba sejak lima tahun lalu, karena tuduhan spionase, dibebaskan hari Rabu (17/12/14). Alasan resmi: kemanusiaan. Sebagai gantinya, AS bebaskan tiga agen rahasia Kuba. Foto: Alan Gross bersama istrinya saat tiba di Washington.
Foto: Reuters/Kevin Lamarque
Sinyal Positif dari Kuba
17 Desember 2014, warga kuba menonton pidato Presiden Raul Castro menyampaikan pidato di televisi. Sehari sebelumnya, Obama telah berbicara dengan Raul Castro lewat telefon selama lebih dari sejam. Kedua negara putuskan akan kembali menjalin hubungan diplomatik, setelah terputus puluhan tahun.