1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Terpidana Mati dan Seumur Hidup

Feby Indirani
5 Agustus 2018

Masih ingat Mary Jane dan Merry Utami? Apakah sistem peradilan di Indonesia sudah berlaku adil pada mereka?

In Indonesien zum Tode verurteilten Philippina Mary Jane Veloso
Foto: picture-alliance/dpa/Bimo Satrio

"Ibarat orang belum ke Jakarta kalau belum lihat Monas, nah belum ke Lapas Wirogunan kalau belum ketemu Mary Jane,” ujar seorang petugas yang mengantar kami saat itu, di suatu hari pada Agustus 2016.

Ia bercerita, sudah banyak pejabat ataupun tokoh publik yang mengunjungi Mary Jane Velosso, warga negara Filipina yang menjadi terpidana mati karena tertangkap membawa heroin di dalam tasnya. Para tamu itu datang untuk sekadar berkenalan dan berfoto bersama.

Saya tercenung. Tamu-tamu –seperti saya-- silih berganti mengunjungi,  ingin berkenalan dengan Mary yang terkenal, memperlakukannya bak Tugu Monas.

Namun seberapakah kami  betul-betul peduli pada nasib Mary yang merasa telah diperlakukan zalim oleh sistem peradilan di Indonesia? 

Penulis: Feby IndiraniFoto: Feby Indirani

Salah satu bagian terberat bagi saya dalam proses penulisan cerita dari penjara ini, adalah ketika harus mewawancarai para terpidana mati, juga terpidana seumur hidup.

Saya bukan pendukung hukuman mati, dan tidak sanggup membayangkan siksaan batin yang dialami oleh mereka yang mendapat vonis tersebut. Saya juga sulit mencerna, bahwa ada orang yang akan seumur hidupnya berada di penjara dan tidak akan punya kesempatan lagi untuk mendapatkan kehidupan normal. Saya cemas akan mengajukan pertanyaan yang menyebalkan dan tidak berempati kepada keadaan mereka.   

Wawancara adalah aktivitas yang sangat saya sukai dan telah saya lakukan bahkan sejak saya masih siswa SMA sebagai staf redaksi majalah sekolah, namun tugas kali ini bisa dikatakan salah satu yang paling menguras emosi. 

Mary Jane: "Masih ingin ketemu lagi dengan anak-anak saya.”

Ketika menceritakan kisahnya kepada saya,   Mary menangis tersedu-sedu. "Saya tidak bersalah! Tolong bantu saya. Saya masih ingin ketemu lagi dengan anak-anak saya, " ujarnya pilu. Butuh waktu beberapa saat hingga tangis Mary reda dan dapat kembali mengendalikan diri.

Mary mencari nafkah dengan menjadi pekerja rumah tangga di negeri orang. Sempat bekerja di Abu Dhabi, Mary akhirnya melarikan diri karena hampir diperkosa. Berikutnya ia kembali berniat menjadi pekerja rumah tangga, kali ini di Malaysia.  Melalui bantuan Maria Kristian P. Sergio tetangganya,  Mary sampai di Kuala Lumpur.

Setelah seminggu tinggal di sana, belum ada tanda-tanda ia akan dibawa ke rumah majikan. Maria kemudian malah memintanya memilih, ditinggal Maria ke Indonesia untuk suatu keperluan atau Mary sendiri yang harus berangkat ke Indonesia untuk mewakili dirinya.

"Waktu itu saya ketakutan ditinggal sendiri karena trauma akan ancaman perkosaan yang dulu,” ujarnya dengan bahasa Indonesia yang sangat lancar.

Akhirnya meskipun ragu,  ia memilih berangkat ke Indonesia. Maria berjanji sepulangnya dari Indonesia, ia akan mulai bekerja dengan majikan yang baru di Malaysia. 

Mary berangkat  dibekali uang 500 dollar AS dan diberi tas untuk menyimpan pakaian dan peralatan pribadinya. Ternyata di tas itu terdapat heroin seberat 2,6 kilogram.

Menurut cerita Mary, saat ditangkap ia tidak mendapatkan pendampingan hukum yang memadai. Ia memang didampingi pengacara lokal, tapi tidak ada seorang pun dari Kedutaan Filipina yang mendampinginya. Padahal Bahasa Inggris-nya amat terbatas, bahasa Indonesianya nol.

Ketika ia menjalani pemeriksaan urin, hasilnya negatif. Mary awalnya senang. "Saya lega, karena saya pikir itu membuktikan bahwa saya tidak bersalah dan tidak tahu menahu tentang heroin. Ternyata saya salah, jika hasil urin negatif, saya justru dianggap sebapai pengedar yang artinya hukumannya jauh lebih berat daripada jika saya seorang pemakai,” kisahnya.

Dalam proses persidangan, menurut Mary, hakim sempat bertanya kepadanya dalam bahasa Inggris, apakah ia menyesali perbuatannya. Mary mengatakan ia menangkap kata regret (menyesal), tapi ia tidak memahami artinya.

"Saya tidak paham kata regret, waktu hakim tanya itu, saya kira pertanyaannya adalah apakah saya melakukannya atau tidak? Saya langsung dengan tegas bilang ‘No'. Tidak. Ternyata sepertinya hakim mengira, saya tidak ada rasa penyesalan telah membawa heroin,” ujar Mary sedih.

Pada April 2015 Mary masuk ke dalam daftar eksekusi dan sudah dibawa ke Nusa Kambangan. Lalu tiba-tiba ada kabar bahwa Maria, tetangganya yang melibatkan dirinya dalam jejaring heroin itu menyerahkan diri pada pihak keamanan Filipina. Saat ini, tiga tahun setelahnya, belum juga ada kepastian mengenai status Mary Jane. 

Mama kalau bisa sudah cantik ya di dalam peti mati

Itulah pesan putri tunggal Merry Utami, perempuan terpidana mati lainnya menjelang eksekusinya pada Juli 2016. Karena itu di malam eksekusinya di Nusa Kambangan, Merry menunggu hukuman mati sambil mengenakan make up, berdandan secantik yang ia bisa. Selagi menunggu, keringat sebesar biji jagung membanjiri wajah dan tubuhnya. Merry pun sibuk menyeka wajahnya karena khawatir riasannya luntur. 

Merry adalah seorang buruh migran yang tertangkap di Bandara Soekarno Hatta karena kedapatan membawa heroin seberat 1,1 kg.  Menurut versi Merry, awal keterlibatannya dengan sindikat narkoba bermula dari pertemuannya dengan Jerry, anggota sindikat narkoba, yang mengaku warga negara Kanada dan sedang berbisnis di Indonesia.

Sempat berpacaran dengan pria ini, Merry kemudian dititipi tas kulit yang dikatakan sebagai contoh barang yang akan didagangkan. "Saya sempat bertanya, kok tas ini berat ya? Tapi dijawab, iya karena bahan kulitnya bagus,” kenang Merry.  Namun ternyata pada dinding tas itu sudah diletakkan narkoba. Ia kemudian dijatuhi hukuman mati tahun 2002 dan ditempatkan di Lapas Wanita Tangerang, Banten.

Setelah mendapatkan vonis hukuman mati ia sempat mengalami masa depresi selama setahun penuh. Tak henti-henti Merry marah, menyesali diri dan merutuki kebodohannya. Sampai kemudian perkataan seorang rekan sesama napi--seorang pembunuh-- membuatnya tersadar.

"Di penjara ini kita hanya bisa dekat sama Tuhan, kita tidak bisa berharap sama siapapun. Lalu dia bilang, kamu mau begini terus? Mau sampai kapan? Kalau kamu percaya Tuhan, kerjakan saja bagianmu dan biarkan Tuhan yang menangani selebihnya,” ujar Merry mengenang ucapan temannya tersebut. Ia tersentak, menyadari betapa selama ini ia sudah begitu jauh dari Tuhan.  Ia teringat nasihat neneknya yang pernah didapatnya ketika masih kecil, bahwa hal yang baik itu bisa datang dari mana saja, tidak peduli siapapun orangnya. Merry pun berpikir mungkin waktunya untuk mendengarkan dan membuka diri.

"Sejak itu saya bertekad, saya ingin berubah. Saya nggak ingin seperti ini terus, menyia-nyiakan hidup saya.” Setiap paginya Merry bangun dan menatap wajahnya di cermin buram pada dinding selnya lalu bicara pada diri sendiri : Saya harus bangkit. Saya harus jadi orang yang lebih benar.

Mendapat kekuatan baru

Perlahan,  Merry merasa mendapatkan kekuatan baru. Selain aktif di kegiatan rohani ia juga menekuni aktivitas kesenian, sesuatu yang memang pernah menjadi minatnya saat remaja, tapi tidak pernah sempat ditekuninya. Merry belajar memainkan gitar dan kemudian mulai menciptakan lagu. Ia ternyata memiliki multi-talenta, mulai dari seni peran, menulis dan menyutradarai operet.

Merry juga terlibat di sejumlah pementasan, antara lain berlangsung di Taman Ismail Marzuki.  Lima belas tahun pun berlalu sejak hukuman mati dijatuhkan, dan Merry telah berkarya, berkesenian, dan  memberikan warna kepada kehidupan WBP di sana. 

Pada tanggal 23 Juli 2016 malam pukul 20.00 Merry yang sedang tidur di sel seusai membersihkan kamar mandi dibangunkan oleh dua orang petugas.  Petugas yang satu membawa sebotol air mineral dan yang satu membawa gayung menyuruh untuk cuci muka. Ternyata malam itu juga pukul 20.30 Merry akan diberangkatkan ke Nusa Kambangan. Tidak ada pemberitahuan apapun sebelumnya. "Saya syok tapi saya cuma bilang ke diri sendiri semua orang itu pasti mati, selama di bus saya terus berdoa kepada Tuhan, jika saya masih diizinkan untuk hidup saya ingin berbuat lebih baik lagi, " ujar Merry.

Selama lima hari menanti saat eksekusinya tiba, Merry fokus berdoa.  Ia pun lebih banyak berpuasa, paling hanya makan dua buah apel dan minum sebotol air putih.  Jika mengingatnya lagi Merry sendiri heran kenapa ia bisa tahan duduk berdoa selama 20 jam sehari dan hampir tidak pernah merebahkan badan. Di malam itu, dengan wajah riasan lengkap sesuai permintaan anaknya, Merry menanti panggilan maut. Jelang tengah malam, kabar itu  datang, Merry tak jadi dieksekusi. Ia bersyukur merasa diberikan kesempatan lagi untuk menjalani hidup. Ia sempat tidak percaya ketika diberitahu bahwa eksekusinya batal.  "Saya langsung berpikir Tuhan mau apa dari saya?”

Mary dan Merry, dua perempuan terpidana mati bernama sama dengan ejaan berbeda. Keduanya memiliki bakat istimewa di bidang seni. Keduanya aktif berkarya di dalam penjara meskipun kapan saja bisa dibawa untuk dieksekusi mati. Keduanya adalah contoh perempuan yang terjebak sindikasi narkoba dan dimanfaatkan sebagai pembawa. Kisah miris yang dialami keduanya yaitu ditipu oleh orang yang mereka percayai –teman ataupun kekasih-- bertebaran di penjara kita.  Salah seorang perempuan terpidana mati Rani Andriana telah dieksekusi Januari 2015.

Modus menjerat perempuan-perempuan muda dengan memacari mereka atau menawari pekerjaan berulang. Sayangnya, saya belum melihat ada perhatian yang cukup dan kampanye intensif dari pemerintah Indonesia agar warga lebih waspada terhadap modus seperti ini. 

Akankah mereka mendapat keadilan ataukah mereka hanya akan berakhir mati di dalam penjara, selamanya jauh dari keluarga mereka.  

@FebyIndirani adalah penulis sejumlah buku fiksi dan nonfiksi. Ia menginisiasi gerakan Relaksasi Beragama (Relax, It's Just Religion). Buku terbarunya adalah Bukan Perawan Maria (Pabrikultur, 2017), 69 things to be Grateful about being Single (GPU, 2017) dan Made in Prison (KPG, 2017)