Mungkin karena didorong oleh rasa muak dan kesal yang sudah membuncah, mayoritas masyarakat luas menolak dan meminta “pasal penodaan agama” dicabut. Ikuti opini Sumanto al Qurtuby.
Iklan
Pasal kontroversial itu termuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): pasal 156 dan 156a yang berisi delik penodaan atau penistaan agama.
Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
"Barang siapa di depan umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan satu atau beberapa golongan penduduk Indonesia, dipidana dengan pidana penjaran selama–lamanya empat tahun atau dengan pidana denda setinggi–tingginya empat ribu lima ratus rupiah” (Pasal 156).
"Dipidana dengan pidana penjara selama–lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (b) dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apa pun juga yang bersendikan ke–Tuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 156a).
Kesimpulan tentang mayoritas publik yang meminta "pasal penodaan agama” itu dicabut didasarkan pada hasil polling yang saya lakukan di akun Facebookku belum lama ini.
Lebih dari enam ribu orang berpartisipasi dalam polling ini. Hasilnya sekitar 94% dari peserta polling (pollster) menilai pasal penodaan agama "tidak layak”. Hanya 6% saja yang menganggap masih layak dan perlu ada aturan tentang "penodaan agama”.
Mereka yang menganggap tidak layak rata-rata berargumen kalau pasal penodaan agama itu dalam implementasinya banyak sekali disalahgunakan oleh para oknum penegak hukum dan hanya dijadikan sebagai alat untuk menjerat kelompok minoritas.
Penolakan publik terhadap pasal penodaan agama ini sebetulnya sudah berlangsung cukup lama. Sejumlah kelompok masyarakat, termasuk para pegiat HAM (Hak Azasi Manusia), praktisi dialog agama, atau sekte dan aliran agama tertentu (misalnya Ahmadiyah), beberapa kali memrotes dan miminta Mahkamah Agung (MA) untuk mencabut pasal itu. Tapi selalu nihil. Judicial Review atas pasal penodaan agama ini juga pernah dilakukan di Mahkamah Konstitusi. Tapi lagi-lagi gagal.
Bagi kelompok yang kontra terhadap pasal penodaan agama ini berpendapat bahwa pasal ini tidak sesuai dengan Kovenan Hak Sipil dan Politik yang diatur oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi negara-negara anggota PBB, termasuk Indonesia tentunya, untuk menghapus delik penodaan agama dari hukum nasional.
Tetapi tampaknya pemerintah sendiri, termasuk Kementerian Agama, masih memandang perlu pasal penodaan agama itu. Menurut Menteri Agama, Lukman Hakim Saifudin, karena Indonesia adalah negara majemuk, maka perlu ada mekanisme legal (hukum) untuk mengatur sengketa soal penghujatan. Pasal penodaan agama itu dibuat, masih menurut Menag, agar masyarakat tidak seenaknya saling menghujat agama dan keyakinan orang lain yang sangat beragam di Indonesia.
Inilah Aturan Volume Toa Masjid di Negara Muslim Lain
Ketika seorang warga minoritas di Indonesia dipenjara lantaran mengeluhkan volume suara adzan, di sejumlah negara muslim lain pemerintah bersama ulama mewajibkan pengurus masjid menghargai ketenangan umum.
Foto: Imago/Geisser
Arab Saudi
Sejak 2015 silam Kementerian Agama Islam di Arab Saudi melarang masjid menggunakan pengeras suara di bagian luar, kecuali untuk adzan, sholat Jumat, sholat Idul Fitri & Adha, serta sholat minta hujan. Kebijakan ini diambil menyusul maraknya keluhan warga ihwal volume pengeras suara yang terlalu besar. Arab News melaporkan tahun lalu masjid-masjid diperintahkan mencabut toa dari menara.
Foto: picture-alliance /akg-images/A. Jemolo
Mesir
Keputusan pemerintah Mesir melarang pengeras suara masjid digunakan untuk selain adzan juga didukung oleh Universitas al-Azhar. Larangan ini terutama mulai diawasi sejak bulan Ramadan 2018 lalu. Al-Azhar mengatakan, pengeras suara bisa mengganggu pasien di rumah sakit atau manula dan sebabnya bertentangan ajaran Islam.
Foto: Getty Images
Bahrain
Belum lama ini Kementerian Agama Islam di Bahrain memperpanjang larangan penggunaan pengeras suara di masjid selain untuk adzan. Lantaran banyak keluhan, pemerintah juga meminta masjid menurunkan volume pengeras suara. "Islam adalah soal toleransi, bukan mempersulit kehidupan orang lain dengan mengganggu lewat pengeras suara," kata Abdallah al-Moaily, seorang pejabat lokal kepada GulfInsider.
Foto: Getty Images
Malaysia
Di Malaysia aturan ihwal pengeras suara masjid bergantung pada negara bagian masing-masing. Penang, Perlis dan Selangor termasuk negara bagian yang melarang pengeras suara digunakan selain untuk adzan. Dalam fatwanya mufti Perlis, Datuk Asri Zainul Abidin, menegaskan larangan tersebut sudah sesuai dengan ajaran nabi Muhammad S.A.W untuk tidak mengganggu ketertiban umum.
Foto: Getty Images/AFP/M. Vatsyayana
Uni Emirat Arab
Pemerintah setempat tidak menerbitkan ketentuan khusus mengenai pengeras suara masjid. Namun penduduk didorong untuk menyampaikan keluhan jika volume pengeras suara terlalu tinggi. UAE menggariskan suara adzan tidak boleh melebihi batas 85 desibel di kawasan pemukiman agar tidak mengganggu aktivitas warga setempat.
Foto: imago/T. Müller
Indonesia
Kementerian agama tidak membatasi volume pengeras suara masjid, melainkan hanya mengatur penggunaan toa untuk keperluan ibadah. Dalam instruksi Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, masjid diperkenankan menggunakan pengeras suara untuk adzan dan pembacaan ayat Al-Quran maksimal 15 menit sebelum waktu sholat. Selama sholat masjid hanya boleh menggunakan pengeras suara di bagian dalam.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
India
Pemerintah mengawasi penggunaan pengeras suara yang tak berizin di masjid-masjid. Aturan nasional antara lain membatasi volume pengeras suara di ruang publik menjadi maksimal 10 desibel di atas volume derau di sekitar atau 5dB di atas volume bunyi-bunyian di ruang pribadi. Aturan yang juga didukung ulama Islam India ini diterbitkan untuk menjamin ketertiban umum. (rzn/hp: dari berbagai sumber)
Foto: DW/S. Bandopadhyay
7 foto1 | 7
Antara idealitas dan realitas memang sering kali tidak sinkron
Antara de facto dan de jure memang sering tidak nyambung. Meskipun pasal penodaan agama itu niat awalnya untuk menjaga ketertiban dan harmoni sosial agar masyarakat Indonesia yang plural itu tidak saling menghina satu sama lain serta tetap berada dalam koridor saling menghormati agama dan keyakinan orang lain, tetapi faktanya tidak selalu demikian. Faktanya tidak selalu semanis seperti yang diharapkan atau diidealkan.
Terbukti, hari demi hari, pasal penodaan agama itu terus memakan korban, baik individu maupun kelompok sosial (misalnya sekte agama), baik Muslim maupun non-Muslim.
Di antara korban yang paling menyita perhatian publik nasional maupun internasional adalah yang menimpa Ahok (Basuki Tjahaja Purnama, mantan Gubernur Jakarta), yang diganjar dua tahun penjara dalam "kasus al-Maidah” yang kontroversial itu. Ahok diproses dalam sebuah sidang pengadilan yang jauh dari rasa keadilan serta penuh dengan intrik, tekanan massa, dan aroma busuk persekongkolan elit politik, bisnis, dan agama.
Kini, pasal penodaan agama kembali memakan korban yang juga menyita perhatian publik luas.
Korbannya adalah Ibu Meiliana dari Tanjung Balai, Sumatra Utara. Oleh Pengadilan Negeri Medan, ia diganjar 1,8 bulan penjara hanya meminta pihak masjid untuk mengecilkan suara toa (pengeras suara) pada waktu azan (seruan salat) karena dianggap terlalu keras dan bising.
Ada Masjid Kapal 'Nabi Nuh' di Semarang
Sebuah masjid unik berbentuk kapal menarik perhatian pengunjung di Semarang. Masyarakat menyebutnya mirip seperti bahtera nabi Nuh.
Foto: Imago
Bagaikan bahtera Nabi Nuh
Masjid ini disebut "masjid kapal" karena bentuknya seperti kapal. Orang-orang membayangkan bahtera Nabi Nuh yang menyelamatkan pengikutnya berikut makhluk hidup lainnya, saat diterjang banjir bandang. Masjid tersebut terletak di sebuah perkampungan dekat hutan di Kelurahan Podorejo, Kecamatan Ngaliyan, Semarang, Jawa Tengah.
Foto: Imago
Lengkap dengan buritan dan haluan
Pendirinya, seorang kyai bernama Achmad. Luas masjid ini 2.500 meter persegi. Bagaikan bahtera, masjid ini dilengkapi semacam buritan dan haluan.
Foto: Imago
Jendelanya puluhan
Ada enam pintu utama dalam masjid tersebut, sementara jumlah jendelanya mencapai lebih dari 70 buah dengan model bagai jendela kapal. Nantinya, warga juga bisa menggunakan sarana di masjid untuk pertemuan, hajatan, atau bahkan resepsi perkawinan.
Foto: Imago
Dibangun tiga lantai
Masjid ini berlantai tiga. Lantai pertama dapat dimanfaatkan sebagai ruang pertemuan, tempat wudu, dan toilet. Lantai duanya berfungsi sebagai masjid, sementara lantai tiganya bisa dipakai untuk kegiatan mengajar, perpustakaan dan balai karya. Klinik dan asrama putri bakal tersedia pula di kompleks masjid ini.
Foto: Imago
Pemandangan hijau
Ke depan, masjid ini juga bisa menjadi salah satu lokasi wisata karena keunikannya. Masjid ini berada di tengah hutan dan sawah. Menteri Pariwisata Arief Yahya tak ketinggalan turut mendorong warga mengunjungi masjid tersebut, agar semakin dikenal masyarakat. Ed: ap/vlz (berbagai sumber)
Foto: Imago
5 foto1 | 5
Menurut Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesti Internasional Indonesia, sepanjang tahun 2017, ada sekitar 12 orang yang dipidana karena terjerat pasal "penodaan agama”. Sementara itu data dari Human Rights Watch menyebutkan, sejak era Presiden Joko Widodo (2014–), ada sekitar 22 korban pasal penodaan agama. Jumlah terbesar terjadi di era pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (2004–14) dimana ada sekitar 122 korban yang terjerat kasus penodaan agama.
Kasus penodaan agama ini meningkat drastis sejak era reformasi, khususnya sejak SBY berkuasa. Sebelumnya, sejak diberlakukan pasal penodaan agama pada tahun 1965, hanya segelintir orang saja (sekitar 9 orang) yang menjadi korban penodaan agama ini.
Menurut sejumlah pakar hukum, Pasal 156 dan 156a ini merupakan pasal yang disisipkan dalam KUHP berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) Tahun 1965 No. 1 Pasal 4 (Lembaran Negara 1965 No. 3).
Oleh karena itu, seharusnya dalam memroses sebuah hukum yang menyangkut delik penodaan agama ini, para penegak hukum harus memperhatikan Pasal 1 di PenPres Tahun 1965 tersebut (yang sudah menjadi UU) karena disitu dijelaskan lebih rinci tentang apa yang dimaksud atau dalam konteks apa seseorang bisa dikenai tuduhan "penodaan agama.”
Pasal tersebut berbunyi:
"Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”
Rumah Ibadah: Bentuk Penghargaan Keyakinan
Jerman membuka diri untuk berbagai keyakinan. Di antaranya terlihat dari pembangunan rumah-rumah ibadah Muslim, yang diharapkan menjadi bagian dari integrasi antar budaya.
Foto: Getty Images
Mesjid Merkez di Duisburg
Diawali perdebatan selama enam tahun dan tahap perencanaan, yang disusul proses pembangunan selama enam tahun, akhirnya Mesjid Merkez di Duisburg berdiri pada tahun 2008. The Turkish-Islamic Union for Religious Affairs (DITIB) mendanai pembangunan mesjid ini. Mesjid ini juga digunakan sebagai wadah berdialog antar umat beragama.
Foto: Getty Images
Mesjid Gaya Klasik
Sekitar 1.200 orang bisa berkumpul di bawah kubah mesjid Merkez yang bergaya klasik ini. Ruang bawah tanah bangunan tersebut berisi perpustakaan. Ada lagi ruangan seluas 1.000 meter persegi yang bisa dipakai untuk acara khusus.
Foto: Getty Images
Koeksistensi Agama
Bahkan politisi Jerman konservatif menyerukan umat Islam untuk membangun mesjid. Di negara bagian Bayern ada beberapa tempat ibadah Muslim di lingkungan Katolik. Mesjid Kanun i Sultan Süleyman di kota Neu-Ulm selesai pada tahun 2006.
Foto: dapd
Mesjid Komunitas Turki di Berlin
Ada sekitar 80 mesjid dan mushola di Berlin. Kebanyakan dari bangunan-bangunan itu hampir tidak dikenali, karena banyak yang ukurannya kecil dan terletak di halaman belakang. Mesjid Sehitlik didirikan di distrik Tempelhof, di lokasi pemakaman Turki tertua di Eropa Tengah. Dua menara ramping mesjid mencapai lebih dari 30 meter yang menjulang ke langit.
Foto: Getty Images
Mesjid Utama di Köln
Terjadi aksi protes besar selama perencanaan mesjid baru di kota Köln. Pembangunannya dimulai pada bulan November 2009. Ukuran bangunan dan tampilannya menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat dan politisi Köln. Ini menjadi salah satu sebab tertundanya pembukaan mesjid sampai tahun 2013.
Foto: picture-alliance/dpa
Mesjid di bekas ibukota
Mesjid Al Muhajirin merupakan salah satu mesjid di kota Bonn, Jerman. Bekas ibukota Jerman saat ini memiliki sekitar sembilan mesjid.
Foto: Al-Muhajirin Moschee Bonn e.V.
Gambaran Islam
Banyak komunitas Muslim yang berpikiran terbuka yang mendukung integrasi ke dalam masyarakat Jerman, ada juga pendatang dari kelompok yang radikal. Mesjid Al Muhsinin Salafi di Bonn telah lama berada di bawah pengawasan badan keamanan Jerman. Itu salah satu dari 30 lokasi yang diduga menjadi bagian dari jaringan Islam fundamental.
Foto: picture-alliance/JOKER
Tempat Pertemuan Jihadis
Mesjid kecil di daerah perumahan juga ada. Misalnya Mesjid Falah di Frankfurt. Dinas keamanan Jerman sempat menggerebek masjid ini, atas dugaan keterlibatan dengan terorisme.
Foto: dapd
Tempat Pertemuan Modern
Banyak komunitas Muslim yang berkomitmen untuk dialog antaragama. Komunitas Muslim Frankfurt, yang mulai dengan kegiatan mahasiswa, memulai dialog antaragama pada awal tahun 1960-an. Sekarang mereka kerap bertemu di aula doa Masjid Abu Bakr. Di sini, pengunjung bisa mendapatkan wawasan tentang agama dan budaya Muslim di Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa
Terbuka dan Modern
Forum Islam di Penzberg, München dikelola masyarakat yang menggambarkan dirinya sebagai warga independen, multinasional, netral dan terbuka. Karakteristik tersebut tercermin dalam arsitektur mesjid, yang dibuka pada tahun 2005, dengan bagian depan gedung berkilau biru yang terbuat dari ribuan keping kaca dan menara baja halusnya.
Foto: picture-alliance/dpa
Mesjid DITIB di Göttingen
Mesjid DITIB di Göttingen adalah bangunan baru lainnya, yang dibuka pada tahun 2007. Umatnya kebanyakan warga berlatar belakang Turki. Mesjid itu memiliki hubungan dengan komunitas mahasiswa Muslim Universitas Göttingen. Mereka menawarkan bantuan kepada anak-anak untuk menyelesaikan pekerjaan rumah mereka dan aktif terlibat dalam integrasi sosial.
Foto: picture-alliance/dpa
Mesjid Keempat Tertua di Jerman
Islamic Center di Hamburg adalah salah satu institusi Muslim tertua di Eropa dan merupakan pusat Islam Syiah di Jerman. Mesjid Imam Ali dibiayai oleh komunitas bisnis Iran pada tahun 1960-an. Meski badan-badan keamanan Jerman melakukan pengawasan terhadapnya, masjid ini tetap menyajikan gambaran keterbukaan.
Foto: Getty Images
12 foto1 | 12
Tunakeadilan
Tetapi memang sering kali putusan-putusan hukum tidak memperhatikan "konteks hukum” sehingga sering kali jauh dari rasa keadilan. Sudah seabrek bukti tentang "pengadilan minus keadilan” ini.
Bukan hanya itu saja, para penegak hukum juga sering kali memutuskan delik penodaan agama ini secara sepihak tanpa melihat dan memperhatikan peraturan hukum lain mengenai "kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum” (misalnya UU No. 9 Tahun 1998).
Ironisnya lagi, banyak penegak hukum, dalam kasus penodaan agama ini, yang tunduk pada tekanan massa dan kemauan kelompok tertentu, bukan patuh pada norma-norma dan nilai-nilai hukum yang berlaku. Akhirnya, pasal-pasal dipermainkan, dimanipulasi, dan "diperkosa” oleh para "penegak hukum” untuk menjerat orang-orang yang oleh "massa dan kelompok tertentu” tadi harus dihukum.
Masjid Raden Saleh: Digotong Hingga Jadi Cagar Budaya
Berawal dari surau sederhana di Cikini, masjid yang pembangunannya diprakarsai pelukis Raden Saleh menyimpan sejarah panjang. Mulai dari penggotongan hingga persengketaan, sampai akhirnya menjadi cagar budaya.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/D. Husni
Berawal dari surau sederhana
1860, Raden Saleh dan masyarakat sekitar membangun surau panggung berdinding gedek dan berbahan kayu di halaman kediaman sang pelukis di Cikini. Setelah sang maestro meninggal dunia, keluarganya menjual tanah tersebut - tidak termasuk surau - ke keluarga Alatas. Putra Alatas yang tak tahu perjanjian tersebut menjualnya ke yayasan rumah sakit Belanda. Pihak yayasan meminta agar surau dipindahkan.
Foto: picture-alliance/ZUMAPRESS.com/D. Husni
Digotong rakyat
Akhirnya terjadilah pemindahan surau ke lokasi lain yang dilakukan masyarakat dengan cara digotong. Bahkan pagarnya pun ikut dipindahkan. Ketika pihak yayasan meminta agar surau dipindahkan lebih jauh, tokoh-tokoh Islam saat itu seperti HOS Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, KH Mas Mansyur, dan lain-lain berkeras mempertahankannya. Mereka berusaha agar Belanda tak mengusik Masjid Jami Al Ma’mur.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/D. Husni
Pemugaran masjid
Dengan dukungan bantuan Sarekat Islam, masjid yang mengandung arsitektur Belanda ini kemudian dipugar oleh para tokoh-tokoh Islam seperti Haji Agus Salim, dkk. pada tahun 1932-1934.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/D. Husni
Menampung banyak jemaat
Konflik dengan pihak yayasan rumah sakit diselesaikan dan sertifikat diserahkan kepada pengurus masjid. Masjid dengan dominasi warna hijau dan putih itu terdiri dari dua lantai, sehingga mampu menampung banyak jemaat.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/D. Husni
Cagar budaya
Masjid ini kemudian dijadikan bangunan Cagar Budaya oleh Gubernur DKI Jakarta berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 9 Tahun 1999. Masjid tersebut kemudian juga dikenal dengan nama Masjid Cieh Raden Saleh atau Masjid Jami Cikini Editor : ap/as (berbagai sumber)
Jadi, salah satu problem mendasar dari implementasi pasal penodaan agama ini adalah mental-mental para penegak hukum yang pengecut dan minus rasa keadilan sehingga tidak mampu membaca, melihat, dan mengadili perkara delik penodaan agama dengan fair dan adil. Siapapun yang masih mempunyai otak waras dan hati nurani yang sehat akan bisa merasakan tentang ketidakadilan proses-proses hukum tentang delik penistaan agama ini.
Masak seorang ibu yang minta volume pengeras suara di masjid dikecilkan saat azan saja mendapat hukuman 1,8 bulan penjara sementara mereka yang membakar dan merusak tempat-tempat ibadah (vihara dan kelenteng) hanya dikenai hukuman kurungan penjara sebulanan saja?
Selama mental-mental para penegak hukum belum "diruwat” dan diperbaiki, maka selama itu pula pasal penodaan agama masih akan menjadi momok di masyarakat. Selama para kelompok ekstremis agama itu masih berkeliaran dengan bebasnya di masyarakat, maka selama itu pula pasal penodaan agama akan terus dijadikan sebagai dalih dan "palu godam” untuk membungkam kelompok-kelompok yang mereka anggap sebagai rival dan musuh.
Menghapus atau mempertahankan pasal penodaan agama ini memang pilihan yang sama-sama sulit dan pelik. Jika pasal penodaan agama itu dihapus, maka kelompok-kelompok agama radikal-intoleran akan semakin brutal dan garang dalam menyerang, melecehkan, dan menghina orang, kelompok sosial, dan umat agama lain yang mereka anggap sebagai "musuh” lantaran tidak adanya "payung hukum” yang mengatur tentang "penistaan agama”.
Inilah Masjid Liberal Pertama di Jerman
Imamnya seorang perempuan dan tak berjilbab. Di masjid ini, laki laki dan perempuan salat di saf yang sama. Sunni, Syiah, anggota komunitas LGTBQ - kesemuanya diterima di masjid ini tanpa prasangka.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Sohn
Dibidani pengacara kelahiran Turki
Seorang pengacara kelahiran Turki. Seyran Ates meresmikan "Masjid Liberal" ini di Berlin, Jerman. Dia mendeklarasikan diri sebagai imam perempuan di masjid ini. Berlatar belakang profesi pengacara, dia bertahun-tahun berjuang melawan kekerasan dalam rumah tangga, pembunuhan demi kehormatan dan pernikahan paksa.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Sohn
Membantu kaum perempuan tertindas
Keluarga Seyran Ates pindah dari Turki ke Jerman saat ia berusia 6 tahun. Dia kuliah jurusan hukum dan bekerja sebagai pengacara di Berlin. Dengan dana sendiri, dia berhasil membuka kantor konsultasi untuk perempuan Turki. Seyran Ates yang kini berusia 54 tahun menjalani pendidikan sebagai imam. Tahun 2017, Seyran mewujudkan impiannya, membuka sebuah masjid di Berlin.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Stache
Potret keberagaman
Nama masjid itu: "Masjid Ibn-Ruschd-Goethe". Nama tersebut diambil dari nama pemikir Arab Ibnu Rusyd, yang juga dikenal sebagai Averroes (1126 - 1198) dan nama pemikir dan penyair Jerman Johann Wolfgang von Goethe. Lokasi masjid berada di lantai tiga gedung Gereja Protestan Sankt-Johannes-Kirche di kawasan Moabit, di ibukota Jerman. Di dekatnya ada rumah makan India dan Vietnam.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Stache
Tak ada yang bernikab ataupun burka
Meski terbuka untuk umum, Islam yang dipraktikkan di Masjid Ibn-Ruschd-Goethe menurut pendirinya adalah Islam dengan pendekatan "historis-kritis". Tidak nampak, perempuan yang datang dengan nikab atau burka ke masjid ini. Menurut imam di masjid ini, nikab atau burka tidak banyak hubungannya dengan agama, melainkan lebih pada suatu pernyataan politis.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Gambarini
Dialog antar agama
Menurut Seyran, Islam harus mampu memperbarui dirinya. Karena makin banyak umat muslim yang kini merindukan Islam yang damai, yang memelihara dialog dengan agama-agama lain. Namun masjid dengan pemahaman semacam itu masih terlalu sedikit di Eropa.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Sohn
Beribadah berdampingan
Tak seperti masjid pada umumnya, di sini laki-laki dan perempuan beribadah berdampingan. Imam perempuannya pun tidak mengenakan jilbab. Sunni, Syiah, anggota komunitas LGTBQ - semuanya diterima bersholat Jum'at di Masjid Ibn Rusyd-Goethe di Berlin.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Gambarini
Dihujani kecaman
Begitu dibuka Juni 2017, keberadaan masjid ini langsung mendapat gempuran kritik. Surat kabar pro-pemerintah Turki, Sabah menyebutnya "tidak masuk akal" bahwa peribadatan berlangsung di sebuah gereja. Harian Pakistan mengkritik fakta bahwa perempuan berdampingan dalam satu saf dengan pria saat menjalankan sholat.
Foto: DW/S.Kinkartz
Siapa yang menjamin keamanan?
Pada hari pembukaan masjid, beberapa orang khawatir bahwa masjid tersebut dapat menarik para ekstrimis. Untuk menjaga keamanan, pengurus masjid menjalin kontak erat dengan polisi dan kantor jawatan kriminal negara bagian.
Foto: DW/S.Kinkartz
‘Salam, Ibu Imam‘
Imam Seyran Ates merupakan penulis buku "Selam, Frau Imamin" (Salam, Ibu Imam). Buku itu berisi kritik terhadap gejala radikalisme Islam di Jerman. Di buku itu, Seyran juga mengingatkan makna kebebasan beragama, kesetaraan hak antara lelaki dan perempuan dan hak atas orientasi seksual. Ironisnya, radikalisme berkembang, tapi umat Muslim berhaluan liberal tidak memiliki tempat di Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Gambarini
9 foto1 | 9
Tetapi di pihak lain, jika tetap dipertahankan tanpa membenahi dan membereskan "mafia peradilan”, penegak hukum yang bermental pengecut, serta kelompok ektremis-intoleran, maka pasal penodaan agama itu akan tetap membawa korban di kemudian hari.
Semoga tulisan ini menjadi bahan refleksi dan renungan bersama agar ke depan negara ini bisa menjadi lebih baik dan publik menjadi lebih arif dalam menyikapi persoalan dan problematika sosial di masyarakat majemuk nan kompleks seperti Indonesia ini.
Sumanto Al Qurtuby adalah anggota dewan pendiri Nusantara Kita Foundation dan Presiden Nusantara Institute. Ia juga Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama. Ia telah menulis lebih dari 20 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerja sama dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National University of Singapore.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Bagaimana komentar Anda atas opini di atas? Silakan tulis dalam kolom komentar di bawah ini.
Sumanto Al Qurtuby
Hari Masjid Terbuka di Jerman
Sekitar 1000 masjid di Jerman membuka pintu pada 3 Oktober dengan motto "Tetangga rukun, Masyarakat lebih baik." Kegiatan ini setiap tahun digelar bersamaan dengan peringatan Hari Reunifikasi Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa/U. Baumgarten
Masjid-masjid di Jerman dibuka pada Hari Reunifikasi
"Hari Masjid Terbuka" telah berlangsung sejak 1997 pada peringatan Reunifikasi Jerman, 3 Oktober. Tanggal itu sengaja dipilih untuk mengungkapkan hubungan warga Muslim dengan warga Jerman lain. Dewan Pusat Muslim di Jerman mengharapkan kunjungan sekitar 100.000 orang ke masjid-masjid. Dalam foto terlihat beberapa orang berdiri di depan Masjid Sehitlik di Berlin.
Foto: picture-alliance/dpa/P. Zinken
Masjid untuk semua
Setiap 3 Oktober, komunitas Muslim ingin warga Jerman bisa berkenalan dengan Islam. Karena itu, pintu-pintu masjid dibuka. Masjid lebih dari sekedar tempat untuk sholat, masjid juga berfungsi sebagai tempat pertemuan untuk menciptakan interaksi masyarakat dan ikatan sosial.
Foto: picture-alliance/dpa/Paul Zinken
Ritual dan aturan
Bagian dari "mengenal Islam" adalah mengenal ritual dan peraturannya. Salah satunya, sebelum masuk masjid harus melepas sepatu ketika memasuki ruang sholat. Lalu ada ritual untuk kebersihan dan pemurnian: sebelum berdoa, umat Islam melakukan wudhu.
Foto: picture-alliance/dpa/U. Baumgarten
Arsitektur dan sejarah
Kebanyakan masjid menawarkan tur dengan pemandu, seperti dalam foto di atas di masjid di Hürth dekat Cologne. Di sini, pengunjung bisa mendapatkan gambaran arsitektur Islam, sejarah dan kehidupan sehari-hari di sebuah masjid. Untuk membantu agar warga Jerman lebih mengerti tentang kegiatan komunitas Islam di dekatnya.
Foto: picture-alliance/dpa/U. Baumgarten
Berbagi semangat spiritual
Masjid Merkez di Duisburg, yang diresmikan tahun 2008, adalah masjid terbesar di Jerman. Pekerjaan integrasi adalah salah satu kegiatan penting bagi komunitas Muslim Duisburg. Selain berkeliling masjid ditemani pemandu, pengunjung juga berkesempatan menghadiri acara siang dan sore hari.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Skolimowska
Melihat dan mendengar
Melihat dan mendengar sholat Islam adalah salah satu agenda acara Masjid Terbuka. Tapi pengunjung tidak boleh turun ke area orang yang lagi sholat. Di masjid Sehitlik, Berlin, pengunjung mendengarkan doa dari tribun.
Foto: picture-alliance/dpa/H. Hanschke
Dialog antar budaya
Masjid-masjid di Jerman juga membuka pintu mereka untuk acara budaya pada kesempatan lain juga. Misalnya, selama Konvensi Gereja Katolik Jerman, para biarawati Katolik berkunjung ke masjid seperti Masjid Yavuz Sultan Selim di Mannheim. Kesempatan semacam itu menawarkan peluang bagi umat beragama menumbuhkan hubungan dekat.
Foto: picture-alliance/dpa
Menghapus prasangka
Masjid di Dresden mengundang pengunjung untuk saling kenal. Masjid Al-Mostafa membagikan jadwal acara: ada ceramah tentang Islam, Nabi Muhammad dan Alquran, ada juga acara diskusi dan belajar bersama.