Protes atlet disabilitas kepada organisasi yang meminta setoran harus jadi titik masuk untuk memperbaiki sistem dan tradisi olahraga prestasi di Indonesia. Persoalan lama ini harus segera diselesaikan. Opini Zaky Yamani.
Iklan
Pertengahan tahun 2018, enam atlet paralympic asal Jawa Barat melanjutkan aksi jalan kaki dari Bandung menuju Jakarta. Mereka ingin mengembalikan medali yang telah mereka peroleh kepada Presiden Joko Widodo, sebagai protes atas permintaan National Comittee Paralympic of Indonesia (NPCI), yang meminta "jatah” dari bonus uang yang diberikan negara kepada para atlet itu, setelah mereka meraih medali di Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas) XV tahun 2016.
Para atlet itu menduga, karena mereka tidak mau memberikan setoran sebesar 25 persen kepada NPCI, mereka tidak dipanggil untuk diikutkan dalam ASEAN Para Games 2017 dan Asian Para Games 2018.
NPCI sendiri telah membantah pernyataan enam atlet itu tidak dipanggil untuk ikut dalam Asian Para Games 2018 karena mereka tidak mau membayar setoran 25 persen dari bonus uang yang mereka terima.
Kasus itu sudah dibawa ke Pengadilan Negeri Bandung, dan sudah digelar tujuh kali sidang, dan hakim mediasi telah meminta kepada NPCI untuk mengabulkan permintaan para atlet untuk diikutkan dalam pelatihan nasional (pelatnas) Asian Para Games 2018, namun pengurus NPCI tidak pernah menghadiri sidang dan hanya mengutus kuasa hukumnya saja, sehingga sampai artikel ditulis belum ada keputusan dari NPCI untuk memasukkan para atlet itu ke pelatnas.
Apakah ada korelasi antara tidak diberikannya setoran dengan tidak dipanggilnya para atlet itu ke pelatnas, masih harus dibuktikan secara hukum. Tetapi siapa pun pasti sulit untuk menepis dugaan itu, karena fakta itu mengarah pada satu pertanyaan: kenapa atlet-atlet yang sudah terbukti berprestasi tidak dipanggil ke pelatnas?
Dan di tengah pertanyaan itu ada fakta lain, bahwa para atlet itu tidak mau memberikan setoran dari uang bonus mereka kepada NPCI. Uang yang diminta pun tak sedikit, 25 persen dari total uang bonus Rp 1,7 miliar yang diterima enam atlet itu.
UU berpihak pada penyandang cacat
Kasus ini mencuat karena para atlet itu berani mengungkapkan persoalan yang menimpa mereka.
Ditambah lagi, ada aturan yang tegas tentang penyandang cacat, yaitu Pasal 142 Undang Undang RI No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, "Setiap orang yang ditunjuk mewakili kepentingan penyandang disabilitas dilarang melakukan tindakan yang berdampak kepada bertambah, berkurang, atau hilangnya hak kepemilikan penyandang disabilitas tanpa mendapat penetapan dari pengadilan negeri."
Permintaan NPCI yang meminta para atlet itu menyetorkan 25 persen dari uang bonus mereka sudah merupakan pelanggaran atas Undang-Undang No. 8 tahun 2016.
Apalagi jika benar jika para atlet itu tidak dilibatkan dalam pelatnas ASEAN Para Games 2017 dan Asian Para Games 2018 karena tidak mau memberikan setoran, pelanggaran moral yang dilakukan NPCI bertambah berat.
Emas untuk Indonesia di Asian Games 2018
Kegemilangan kontingen Indonesia pada Asian Games 2018 sudah melampaui torehan pada ajang serupa tahun 2014 di Korea Selatan. Cabang olahraga mana saja yang berhasil menyumbang medali emas untuk Indonesia?
Foto: Reuters/C. Mcnaughton
Penyumbang emas pertama
Defia Rosmaniar (23 tahun) menjadi atlet pertama yang menyumbangkan medali emas untuk Indonesia di ajang Asian Games 2018. Atlet cabang olahraga taekwondo itu meraih gelar dalam nomor pertandingan poomsae, seni yang dipadu iringan musik. Emas kedua datang dari Lindswell Kwok dari cabang Wushu. Ia meraih total skor tertinggi (19,50) di antara 16 pewushu lainnya saat turun di nomor Taijijian.
Foto: picture alliance / Photoshot
Duet emas dari sepeda gunung
Emas ketiga disumbangkan Tiara Andini Prastika. Atlet dari cabang sepeda gunung nomor downwhill putri itu tercatat sebagai yang tercepat dalam Asian Games 2018. Saat berlomba di Khe Bun Hill Subang, Senin (20/08), Tiara membukukan waktu dua menit 33,056 detik, dan mengalahkan atlet Thailand, Vipavee Deekaballes dengan selisih waktu 9,598 detik...
Foto: picture-alliance/Xinhua
Downhill putra turut sumbang prestasi
... Khoiful Mukhib juga meraih medali emas pada mountain bike nomor downhill putra, Senin (20/8). Dia menjadi yang tercepat di nomor downhill dengan catatan waktu 2 menit 16,687 detik. Torehan waktu Khoiful lebih cepat 1,497 detik dari Shengshan Chiang asal Taiwan. Raihan emas dari Khoiful ini membuat tim sepeda Indonesia sukses mengawinkan emas pada nomor downhill putra dan putri.
Foto: picture-alliance/Xinhua
Angkat besi kian populer
Eko Yuli Irawan penuhi tugasnya sebagai lifter andalan Indonesia di Asian Games 2018. Medali emas untuk Eko Yuli Irawan dikalungkan langsung Presiden RI Joko Widodo yang hadir di JIExpo Kemayoran. Pria berusia 29 tahun itu tercatat sebagai sebagai lifter pertama yang menyumbang medali emas di ajang Asian Games. Ia berharap olahraga angkat besi bisa populer layaknya sepak bola dan bulu tangkis.
Foto: picture-alliance/Xinhua
Dua emas dari paralayang
Dua emas disumbangkan cabang olahraga paralayang untuk kontingen Indonesia di Asian Games 2018. Tim beregu putra yang diperkuat Hening Paradigma, Thomas Widyananto, Rony Pratama, Jafro Megawanto berhasil mencatat skor terbaik pada nomor akurasi. Sehari setelahnya, emas kedua dari cabang paralayang disumbangkan Jafro Megawanto pada nomor akurasi tunggal putra di Gunung Mas Puncak.
Foto: picture-alliance/Photoshot
Emas dari panjat tebing
Atlet putri, Aries Susanti Rahayu menyumbangkan satu emas saat berlaga di Jakabaring Sport City, Palembang. Ia menjadi yang tercepat pada babak final ketika berhadapan dengan wakil Indonesia lainnya, Puji Lestari. Raihan ini membuat panjat tebing sekaligus menyumbang satu emas dan satu perak untuk kontingen Indonesia di ajang Asian Games 2018.
Foto: Reuters/E. Su
Dayung sumbang emas ke-9
Medali emas dipersembahkan cabang olahraga dayung bagi kontingen Indonesia pada Asian Games 2018, Jumat (24/8/2018). Tim putra Indonesia dari nomor Men's Lightweight Eight (LM8-) unggul atas tim Uzbekistan dan Hong Kong pada perlombaan di Jakabaring Rowing Lake. Indonesia mendapat lima medali dari cabang dayung, yakni satu medali emas, dua perak dan dua perunggu.
Foto: Getty Images/AFP/B. Kurniawan
Emas dari tenis
Pasangan ganda campuran, Christopher Benjamin Rungkat dan Aldila Sutjiadi, berhasil menyumbangkan medali emas kesepuluh pada Asian Games 2018 dari cabang olahraga tenis, Sabtu (25/08). Kedua atlet tenis ganda campuran itu mengalahkan pasangan dari Thailand dengan skor 6-4, 5-7, 10-7 di Arena Tenis Jakabaring, Palembang. (kompas.com, detik.com, bola.com)
Foto: picture-alliance/Photosport/A. Cornaga
Emas terbanyak dari Pencak Silat
Indonesia tampil mendominasi di cabang olah raga bela diri ini. Dari 14 nomor final mereka ikuti, 11 medali emas sudah direbut pesilat-pesilat nasional. Namun ada sejumlah kejanggalan dikeluhkan negara peserta Asian Games 2018 di cabang ini.
Foto: Imago/Xinhua
Dua emas dari bulutangkis
Dari cabang olah raga bulutangkis, Indonesia mendapatkan dua emas, dua perak, dan empat perunggu. Medali emas diperoleh Jonatan Christie pada nomor tunggal putra dan Kevin Sanjaya Sukamuljo dengan Marcus Fernaldi Gideon dari nomor ganda putra.
Foto: Getty Images/AFP/S. Tumbelaka
Sepak takraw berikan emas terakhir
Indonesia menambah perolehan emas Asian Games 2018 dari cabang olah raga sepak takraw Indonesia yang berjaya di final nomor kuadran putra. Kemenangan ini membuahkan medali emas ke-31.Tim sepak takraw putra Indonesia diperkuat Muhammad Hardiansyah Muliang, Nofrizal, Saiful Rizal, Husni Uba, Rizky Abdul Rahan Pago, dan Abdul Halim Radjiu.
Foto: Getty Images/AFP/M. Rasfan
11 foto1 | 11
Jarang terungkap ke publik
Saya pikir persoalan uang setoran yang harus diberikan para atlet berprestasi kepada organisasinya atau pihak-pihak lain bukan persoalan baru di Indonesia, tapi sangat jarang diungkap ke hadapan publik.
Padahal persoalan ini sangat penting untuk dibahas dan diselesaikan, karena setidaknya ada dua alasan.
Pertama, tidak wajar jika atlet yang sudah menunjukkan prestasinya malah dijadikan "sumber penghasilan” organisasi atau pihak-pihak lain dan itu menunjukkan sikap mental yang buruk dari para pengurus bidang olahraga kepada atlet binaan mereka.
Kedua, praktik setoran itu menunjukkan ada ketidakberesan dalam pengaturan anggaran negara untuk bidang olahraga, yang memberi peluang pada aksi premanisme terselubung.
Seorang atlet memang tidak mungkin berusaha sendiri untuk bisa berprestasi. Ada proses seleksi dan pelatihan yang melibatkan organisasi, ada kerja keras banyak pihak dalam membentuk seorang atlet berprestasi, ada banyak uang yang dikeluarkan untuk membuat seorang atlet berprestasi.
Bonus sebagai apresiasi
Tapi tidak seharusnya kita berpikir, saat seorang atlet menang dalam lomba, maka dia harus memberikan sebagian hadiahnya kepada mereka yang merasa telah mengurus atlet itu. Karena saat seorang atlet berlaga dalam sebuah perlombaan, eksekusi untuk kemenangan itu dilakukannya sendiri—atau bersama timnya di lapangan dalam olahraga tim.
Jadi, sudah seharusnya hadiah dan bonus diberikan sebagai apresiasi atas eksekusi itu kepada seorang atlet. Karena itu pula, kita tidak pernah menyaksikan medali atau piala diberikan kepada setiap orang di dalam organisasi olahraga ketika seorang atlet menang. Medali, piala, dan hadiah dalam bentuk apa pun atas kemenangan seorang atlet, adalah hak untuk dia sendiri.
Organisasi bisa mendapatkan uang atau penghargaan dari cara lain, misalnya saja "menjual” kemenangan atlet binaannya—entah untuk pembinaan atau untuk keuntungan organisasi itu sendiri—misalnya dengan mencari sponsor baik dari swasta maupun dari negara.
Di sini kita bisa melihat, peran penting dari marketing atau setidaknya pelobi di setiap organisasi yang menaungi atlet untuk bisa meraih uang dari swasta dan/atau negara.
Lima Atlit Dunia Yang Bakal Semarakkan Asian Games 2018
Lima atlit menjadi harapan tuan rumah untuk menyedot perhatian publik dan menjadikan ajang Asian Games 2018 sebagai kiblat dunia olahraga. Siapa mereka?
Foto: Getty Images/L.Zhang
Heung-min Son, Sepakbola, Korsel
Meski gagal membeli pemain baru pada bursa transfer di awal musim, klub Inggris Tottenham Hotspur tetap mengizinkan pemain bintangnya berlaga di Indonesia. Heung-min Son bermain apik saat menenggelamkan Jerman di babak penyisihan grup Piala Dunia 2018. Dia gagal berlaga di Asian Games 2014 di Incheon saat Korsel menjadi juara lantaran klubnya saat itu Bayer Leverkusen menolak memberikan izin.
Foto: Reuters/J. Sibley
Joseph Schooling, Renang, Singapura
Schooling mencatatkan sejarah ketika berhasil menaklukkan jawara Amerika Serikat, MIchael Phelps, pada Olympiade di Brazil 2016 silam dalam cabang renang 100m. Kemenangan itu sekaligus menjadikannya atlit pertama Singapura yang menggondol medali emas Olympiade. Di Asian Games, Schooling yang berusia 22 tahun membidik lima medali emas, antara lain untuk nomor gaya bebas 100m dan gaya kupu-kupu 200m
Foto: Reuters
Su Bingtian, Athletik, Cina
Menjelang Asian Games, Su Bingtian sedang berada dalam performa terbaik menyusul kemenangannya pada nomor lari 100 meter di Madrid dengan membukukan rekor pribadi, 9.91 detik, Juni silam. Tidak heran jika dia difavoritkan menggondol emas di Indonesia. Saat ini satu-satunya ancaman terbesar Su datang dari rekan senegaranya, Xie Zhenye, yang pernah mencatat waktu 9.97 detik Juni silam.
Foto: Reuters
Nicol David, Squash, Malaysia
Atlit gaek kelahiran Penang ini sebenarnya telah memasuki masa senja karir olahraga. Meski demikian Nicol David tetap menyimpan dahaga gelar dan siap menambah pundi-pundi emasnya setelah menyabet enam medali emas pada lima Asian Games terakhir. Uniknya Nicol mengawali karir cemerlangnya di Jakarta, pada Sea Games 1997. Pada Asian Games terakhirnya ini Nicol ingin membetoni namanya di buku sejarah
Foto: AFP/Getty Images
Kento Momota, Bulutangkis, Jepang
Kento Momota didaulat sebagai juara dunia setelah mengalahkan jawara Cina, Shi Yuqi, di Nanjing dan menjadi atlit Jepang pertama yang memenangkan gelar tunggal di kejuaraan dunia. Karirnya bukan tak bernila. Tahun 2016 silam ia dilarang bertanding selama lebih dari setahun setelah ketahuan berjudi di sebuah casino ilegal. Kini dia difavoritkan di atas Lee Chong Wei asal Malaysia dan Lin Dan, Cina.
Foto: Imago/Xinhua/Li Bo
5 foto1 | 5
Bagaimana penyelesaiannya?
Dari situasi itu pula organisasi harus bisa mendorong setiap atletnya untuk terus berprestasi agar bisa mendapatkan banyak sponsor atau donor.
Prestasi atlet harus dijadikan portofolio kepada sponsor atau donor untuk mendapatkan pembiayaan bagi organisasi, bukan sebaliknya atlet didorong berprestasi agar bisa memberikan sebagian uang hadiahnya bagi organisasi. Karena jika hal terakhir itu yang dilakukan, atlet telah diposisikan sebagai sapi perah organisasi.
Dari kasus atlet paralimpik di Jawa Barat, kita juga bisa melihat ada persoalan hubungan negara dengan organisasi pembina atlet. NPCI mengklaim, permintaan organisasi itu agar atlet menyumbangkan sebagian hadiah uangnya, karena organisasi itu belum mendapatkan pembiayaan dari APBD atau APBN, karena mereka sudah berpisah dari KONI.
Namun dari penelusuran saya atas pemberitaan mengenai NPCI, saya menemukan ada aturan kegiatan NPCI difasilitasi oleh pemerintah kabupaten/kota melalui dinas terkait bidang olahraga. Pada 2017, misalnya, Pemerintah Kota Bandung memberikan uang pembinaan kepada NPCI Kota Bandung sebesar Rp 2,5 miliar. Apakah anggaran itu tidak cukup untuk operasional organisasi, bukan artinya organisasi bisa membebankan kekurangannya kepada atlet. Karena tugas atlet adalah menorehkan prestasi, bukan mencari uang untuk organisasi.
Lusinan masalah mengintai
Saya menduga, kasus permintaan setoran dari atlet yang menang lomba kepada organisasi, muncul dari jalinan rumit antara persoalan manajemen anggaran di level pemerintah dan organisasi pembina atlet, dengan sikap mental yang buruk dari pengurus organisasi atlet: ingin mendapatkan jatah hadiah dari atlet yang mereka bina, padahal hadiah itu bukan hak organisasi.
Persoalan yang menimpa enam atlet paralimpik di Jawa Barat sangat mungkin terjadi pada atlet di bidang lain di seluruh Indonesia. Bukan sekali-dua kali saya dengar keluhan para atlet—dan bahkan calon atlet—yang harus mengeluarkan uang pelicin atau memberikan bagian dari honor kemenangannya untuk bisa dijadikan atlet atau untuk direkrut ke dalam tim kejuaraan. Atau dalam kasus lain, ada atlet yang terpaksa jalan sendiri untuk berlaga di kejuaraan, tanpa dukungan organisasi dan negara. Ketika atlet itu menang, para pejabat dan institusi negara malah berlomba saling klaim bahwa prestasi sang atlet adalah berkat peran mereka.
Sudah selayaknya negara ini mengubah cara pandang dan perilaku terhadap atlet. Pembenahan manajemen anggaran negara serta pengawasan penggunaannya untuk bidang olahraga bisa jadi langkah awal dari perubahan itu.
Zaky Yamani, jurnalis dan penulis
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
Bagaimana komentar Anda atas opini di atas? Silakan tulis dalam kolom komentar di bawah ini.
Indonesia Bersolek Jelang Asian Games
Setahun menjelang perhelatan akbar Asian Games 2018, Indonesia masih sibuk membenahi lusinan arena olahraga di Jakarta dan Palembang. Sejauh apa persiapan panitia?
Foto: Getty Images/M.King
Persiapan Empat Tahun
Indonesia masih sibuk membenahi stadion dan merampungkan proyek infrastruktur setahun menjelang digelarnya Asian Games 2018. Berbeda dengan Asian Games sebelumnya, kali ini tuan rumah hanya mendapat waktu empat tahun untuk persiapan menyusul sikap Vietnam menarik diri dari status tuan rumah 2014 silam.
Foto: Getty Images/A.Berry
Berpusar di Senayan
Jantung Asian Games 2018 akan berdetak di Gelora Bung Karno yang kini tengah direnovasi. Selain mengganti kursi stadion, pemerintah juga membenahi lapangan rumput, tribun penonton dan bagian dalam stadion yang akan digunakan para atlit. Proyek renovasi stadion Gelora Bung Karno menelan biaya lebih dari 700 milyar Rupiah.
Foto: Getty Images/A.Berry
Terhalang Biaya
Perhelatan olahraga se-Asia kali ini akan mengundang lebih dari 9.000 atlit, serta 8.000 awak media dan perwakilan dari 45 negara peserta. Kali ini Komite Olympiade Asia harus memangkas jumlah turnamen dari 484 menjadi 431 dari 42 cabang olahraga lantaran kekhawatiran seputar biaya.
Foto: Getty Images/A.Berry
Separuh Dana Anggaran
Dalam wawancara dengan Tempo Juli silam, Ketua Komite Penyelenggara Asian Games, Erik Tohir, mengaku terpaksa berhemat lantaran pemerintah hanya mengabulkan separuh dari anggaran yang diajukan. Dari sekitar 8,7 trilyun yang diminta, Presiden Joko Widodo hanya memberikan 4,5 trilyun Rupiah. Namun demikian pemerintah juga menyediakan dana pembangunan infrastruktur senilai 25 trilyun Rupiah.
Foto: Getty Images/A.Berry
Solusi Transportasi
Salah satu tantangan terbesar adalah menyiapkan moda transportasi yang bisa membawa para atlit ke arena olahraga tanpa terjebak arus macet. Seorang pejabat kepolisian mempertimbangkan akan menggunakan jalur busway untuk mengangkut atlit. Namun hingga kini belum ada keputusan akhir terkait masalah tersebut.
Foto: Getty Images/A.Berry
Berbekal Arena Sea Games
Sejauh ini wisma atlit di kawasan Kemayoran sudah 80% rampung. Pemerintah juga merenovasi Velodrom di Rawamangun dan arena pacuan kuda di Pulomas. Beruntung berkat penyelenggaraan Sea Games 2011, banyak arena olahraga yang berada dalam kondisi baik sehingga tidak memerlukan renovasi total.
Foto: Getty Images/C.Spencer
Palembang Andalkan Jakabaring
Tuan rumah Palembang mengandalkan kompleks olahraga Jakabaring yang telah teruji saat menyelenggarakan Sea Games 2011. Hanya stadion Gelora Sriwijaya mendapat tambahan kapasitas dari 36.000 menjadi 60.000 kursi. Pemprov Palembang juga sedang menambah panjang danau Jakabaring menjadi 2.300 meter.