1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Hidup Makan!

Wasistini Baitoningsih4 September 2013

“Makan untuk hidup” atau “hidup untuk makan”? Pilihan pertama tampak lebih masuk akal untuk kelangsungan hidup, tapi apakah pilihan itu benar-benar dapat mencukupi kebutuhan hidup manusia?

Foto: picture-alliance/Bildagentur-online

Indonesia sebagai negara tropis dikaruniai keanekaragaman hayati yang luar biasa kaya. Kekayaan tersebut selain mempercantik negeri kita, juga menjadi sumber kehidupan yang salah satunya adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan. Tidak mengherankan bahwa jenis masakan di Indonesia sangat beragam. Aneka ragam jenis tumbuhan, hewan, dan rempah-rempah membuat setiap daerah di Indonesia memiliki makanan khas.

Jangan lupa, negara kita pernah dijajah karena rempah-rempahnya. Ya, rempah-rempah! Bukan karena hasil tambang seperti minyak bumi, emas, atau batu bara.

Makan untuk hidup

Dalam "makan untuk hidup," kita sebagai manusia melakukan kegiatan makan untuk bertahan hidup. Artinya, makanan yang kita konsumsi harus benar-benar bermanfaat. Pola makan yang sehat, misalnya, adalah salah satu syarat untuk membuat kita tetap hidup, karena kalau tidak, manusia menjadi rentan sakit dan bahkan bisa memperpendek usia. Pola makan sehat yang sudah kita pelajari sejak masa Sekolah Dasar (SD), empat sehat lima sempurna. Pola makan ini dapat mencukupi kebutuhan gizi sehari-hari sehingga kita dapat bekerja dengan baik, produktif, dan efektif.

Porsi makan yang berlebihan juga menjadi perhatian di dalam falsafah "makan untuk hidup." Makan dalam jumlah berlebihan dapat menyebabkan kegemukan dan ujung-ujungnya bisa mempercepat masa hidup. Potensi penyakit yang ditimbulkan akibat kegemukan pun sangat serius. Penyakit seperti diabetes, penyumbatan pembuluh darah, atau gangguan jantung adalah penyakit yang berpotensi memperpendek umur atau membuat kita harus menjalani sisa umur kita dengan menderita.

Hidup untuk makan

Lalu, bagaimana dengan sebaliknya? Dalam "hidup untuk makan," manusia menikmati hidup dengan makan. Baik makanan sehat maupun tidak, asalkan makanan tersebut enak di lidah, itu adalah alasan terbaik untuk makan. Pola makan tentunya juga bukan sesuatu yang harus diperhatikan. Kapanpun itu, selagi ada makanan lezat di depan mata, itulah saatnya makan. Makan martabak manis atau nasi goreng kambing pukul 12 malam, bukanlah masalah bagi penganut falsafah ini. Risiko menjadi gemuk atau meningkatnya kadar kolesterol, tidak akan menyurutkan gairah untuk memuaskan saraf-saraf di lidah mereka. Kalaupun mereka merasakan risiko tersebut, mereka tidak akan mudah jera.

Kalau melihat kedua falsafah tersebut, tampaknya "makan untuk hidup" adalah pilihan yang tepat karena kegiatan makan berdampak langsung pada kualitas dan kelangsungan hidup. Sedangkan "hidup untuk makan" tampaknya hanyalah sebuah upaya kurang serius dalam mempertahankan hidup, karena makanan yang kita makan dapat berbalik menyerang kelangsungan hidup kita. Tapi apa iya pilihan "makan untuk hidup" lebih baik daripada "hidup untuk makan"?

Setiap peristiwa di Indonesia selalu dirayakan dengan acara makan-makan. Mulai dari syukuran saat bayi lahir, sampai saat mengantarkan seseorang ke peristirahatan terakhir. Setiap ada orang berkumpul, selalu ada makanan.

Bahkan kita cenderung menilai karakter seseorang melalui kurs makanan. Kita menilai seseorang baik hati karena dia suka berbagi makanan. Kita menilai seseorang buruk atau pelit saat dia enggan berbagi makanan. Seringkali kita bahkan bertamu dengan harapan diberikan makanan! Dan bila kita tidak diberi makanan, kita beranggapan bahwa si tuan rumah tidak pandai dalam menjamu tamu.

Di antara dua pilihan

Bila kita menganut faham "makan untuk hidup," kita bisa menolak makanan atau ajakan untuk makan-makan karena apa yang dimakan tidak sesuai dengan standar pola makan kita. Tetapi hal tersebut tidaklah sopan menurut standar budaya Indonesia. Selain itu kita pun dapat tersingkir dari lingkaran sosial karena acara makan-makan merupakan ajang mempererat hubungan.

Bayangkan kalau kita mengundang seseorang untuk makan, tetapi dia hanya duduk tanpa makan walaupun dia tidak sakit. Kemungkinan besar kita enggan untuk mengundangnya lagi. Suasana informal saat acara makan-makan merupakan saat yang tepat untuk mengenal seseorang lebih jauh, di mana dari sinilah sebuah kerjasama baru kemudian dimulai.

“Makan untuk hidup“ adalah falsafah yang baik karena dapat membuat kita hidup sehat. Tetapi jangan lupa, kita tidak hanya membutuhkan kesehatan jasmani, kita juga memerlukan kesehatan rohani. Ditambah lagi, manusia adalah makhluk sosial, sehingga terpenuhinya kebutuhan sosial dapat membuat kesehatan rohani kita terjaga. Di sinilah peran "hidup untuk makan" diperlukan. Kita perlu menjaga "makan untuk hidup" dan "hidup untuk makan" supaya kesehatan jasmani dan rohani bisa seimbang dan tidak kebablasan. Inilah yang membuat manusia mampu bertahan hidup.

Oleh Asti Baitoningsih, tengah menempuh studi S3 di Bremen, Jerman. Selain pernah bekerja untuk sejumlah organisasi lingkungan, Asti juga pernah menerbitkan rangkaian buku anak-anak mengenai biota laut dan pengasuh blog

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait