1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hijab, Aurat, dan Perkosaan

Sumanto al Qurtuby19 Juli 2016

Perkosaan dan pelecehan seksual tidak ada hubungannya dengan hijab. Perkosaan terjadi bukan karena “tubuh perempuan yang telanjang,” melainkan karena “otak laki-laki yang kotor". Berikut opini Sumanto al Qurtuby.

Repression Ägypten sexuelle Gewalt sexuelle Belästigung Übergriff Frauen Recht Mohandseen
Foto: Reham Mokbel

Saya perhatikan sejumlah kelompok Islam, dalam menyikapi setiap kasus kekerasan selalu menyalahkan perempuan sebagai akar masalah. Menurut mereka, berbagai kasus perkosaan terjadi karena kesalahan perempuan yang tidak bisa menjaga aurat. Dalam logika konyol mereka, jika kaum perempuan menutup auratnya dengan hijab dan jilbab (apalagi menutup wajahnya dengan niqab), maka perkosaan tidak akan terjadi.

Mereka membandingkan si pemerkosa dengan seekor kucing yang memakan sepotong daging yang dibiarkan terbuka. Jika daging itu ditutup rapat, mereka berdalih, maka kucing itu tidak akan memakannya. Dengan kata lain, jika “daging perempuan” itu ditutup rapat secara syariat, maka laki-laki tidak akan menjamahnya. Bahkan sejumlah kalangan “Islam ekstrim” memandang perempuan tak berhijab, tubuhnya halal untuk dijamah, digerayangi, dan diperkosa.

Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: S. al Qurtuby

Selain menggunakan logika berpikir yang amburadul, klaim-klaim sebagian kelompok Islam radikal-konservatif ini sama sekali tidak valid dan bahkan kontras dengan data-data ilmiah dan fakta-fakta perkosaan di berbagai negara, baik negara yang mayoritas Muslim maupun bukan.

Mari kita ajukan pertanyaan atau tes simpel tentang ini: jika memang akar masalah dari perkosaan terhadap perempuan adalah lantaran kaum Hawa yang membiarkan auratnya terbuka tak berjilbab dan tak berhijab, tentunya kasus-kasus perkosaan akan sangat tinggi prosentasenya di negara-negara sekuler-liberal yang tidak mempermasalahkan perempuan untuk memakai bikini di ruang-ruang publik, dan sebaliknya, akan sangat rendah di negara-negara religius-illiberal yang melarang kaum perempuan berbikini ria di tempat-tempat umum.

Faktanya tidak demikian

Sebuah penelitian dan survei yang dilakukan oleh The WomanStats Project misalnya menunjukkan data dan fakta menarik. Negara seperti Islandia atau Selandia Baru, misalnya, memiliki catatan perkosaan yang sangat rendah. Begitu pula di negara-negara Barat dan non-Muslim pada umumnya.

Negara-negara seperti Swedia, Norwegia, dan Denmark yang belakangan menunjukkan eskalasi peristiwa perkosaan, ternyata para pelaku kasus perkosaan tersebut diduga kaum Muslim migran dari Timur Tengah yang memang belakangan membanjiri Eropa lantaran konflik dan kekerasan yang tak kunjung usai di kawasan ini.

Data dari The WomanStats Project juga menunjukkan bahwa negara-negara yang selama ini dikenal sangat ketat dalam memberlakukan aturan syariat Islam, termasuk aturan tentang tata-busana bagi kaum perempuan, bahkan memiliki prosentase yang sangat tinggi dalam kasus-kasus perkosaan sebut saja Afganistan, Mesir, Suriah, Sudan, Pakistan, Arab Saudi, dan sebagainya. Hijab, jilbab, abaya, burqa, chador atau apapun nama “busana syariat” perempuan ternyata tidak mampu untuk membendung nafsu birahi laki-laki bejat hidung belang.

Revolutionary Association of the Women of Afghanistan (RAWA), salah satu lembaga perempuan berpengaruh di Afganistan, pernah mencatat ribuan kasus perkosaan (ironisnya, termasuk perkosaan terhadap anak-anak) sepanjang kekuasaan rezim Islamis-ekstrimis Taliban pimpinan Mullah Muhammad Omar dari 1996 – 2001.

Perkosaan terhadap perempuan berhijab

Di Mesir, menurut sejumlah tokoh dan aktivis perempuan di “Negeri Piramid” ini seperti Engy Ghoslan dan Mona Eltahawy, kasus perkosaan mencapai 200,000 per tahun, 10 kali lipat dari data yang disajikan oleh Kementerian Dalam Negeri Mesir. Pada tahun 2008, Egyptian Center for Women's Rights mengadakan survei nasional tentang perkosaan dan pelecehan seksual, dan hasilnya sangat mengejutkan: lebih dari 83% perempuan di Mesir mengaku pernah mengalami pelecehan seksual. Bahkan data dari United Nations Entity for Gender Equality tahun 2013 menyebut lebih dari 90% perempuan di Mesir mengalami berbagai bentuk kekerasan dan pelecehan seksual.

Di Irak dan Suriah juga telah terjadi ribuan kasus perkosaan atas perempuan berhijab (lagi-lagi, sialnya, termasuk anak-anak) yang dilakukan oleh para lelaki dan milisi Islamis-jihadis yang mengaku “menegakkan Syariat Islam” itu. Data tentang perkosaan di Irak maupun Suriah ini pernah ditulis dengan baik oleh Lauren Wolfe di The Atlantic dan juga dicatat oleh Euro Mediterranean Human Rights Network. Lionel Casper (2003) dan William Ziff (2009) pernah menulis berbagai peristiwa perkosaan di Palestina, sementara Andrew Aames (2012) pernah mendokumentasikan aneka kasus perkosaan di Libia. Selanjutnya, Sheerin El Feki (2014) pernah menulis beragam kasus perkosaan dan pelecehan seksual di negara-negara Arab.

Jangankan di negara-negara lain, di Arab Saudi sendiri, negara yang dikenal sangat konservatif dan superketat dalam pengaturan tentang busana perempuan, juga pernah terjadi kasus heboh “perkosaan massa” pada tahun 2006, dimana seorang perempuan Saudi diperkosa ramai-ramai oleh tujuh laki-laki Saudi. Peristiwa heboh yang populer dengan sebutan “Kasus Perkosaan Qatif” ini berakhir pada hukuman cambuk dan penjara bagi para pemerkosa.

Kanker sosial yang mengganas

Karena tingginya kasus perkosaan ditambah dengan tak terhitungnya peristiwa kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan ini, sejumlah tokoh Arab terkemuka menyebut perkosaan sebagai “kanker sosial” dan aturan hijab penutup aurat terbukti gagal-total tidak mampu melindungi harkat dan martabat kaum perempuan dari keberingasan kaum lelaki berotak bejat.

Apa yang saya tulis ini hanyalah sekedar contoh kecil untuk menegaskan bahwa perkosaan dan pelecehan seksual terhadap perempuan itu tidak ada sangkut-pautnya dengan hijab atau “sehelai kain penutup aurat”. Perkosaan itu bukan karena “tubuh perempuan yang telanjang,” melainkan karena “otak laki-laki yang kotor-njetor.”

Dengan kata lain, perkosaan adalah soal “state of mind”. Ditutup serapat apapun tubuh perempuan tetap saja akan diganggu oleh laki-laki yang berotak ngeres dan berjiwa kotor. Jadi, bukan aurat perempuan, melainkan sahwat bejat laki-laki yang menyebabkan perkosaan dan kekerasan seksual. Ingat, dosa bukan karena “daging yang kotor” akan tetapi karena otak, hati, dan ruh kita yang penuh noda. Dengan indah, Paul Evdokimov menulis: “Sin never comes from below; from the flesh, but from above, from the spirit.

Selain masalah “state of mind”, perkosaan juga karena rapuhnya hukum dan perlindungan terhadap hak-hak kaum perempuan. Kasus perkosaan sangat minim di negara-negara Barat, meskipun tidak ada aturan tentang hijab dan aurat, karena hukum ditegakkan dan berjalan dengan baik. Sementara di negara-negara mayoritas Muslim, berbagai tetek-bengek aturan hukum Islam (termasuk tentang “busana syariat” dan hukum rajam bagi pemerkosa misalnya) sering kali hanya dijadikan sebagai komoditi politik, teror masyarakat bawah, dan ajang untuk “pamer kesalehan” rezim penguasa saja, belum mampu menjadi “ruh” dan “norma publik” yang dipegang secara konsisten oleh pemerintah dan semua lapisan masyarakat. Padahal dengan sistem hukum yang kuat dan penegakkan norma-norma hukum yang konsisten, kasus-kasus perkosaan bisa diminimalisir atau bahkan dimusnahkan dari masyarakat.

Penulis:

Sumanto al Qurtuby

Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, dan Visiting Senior Research Fellow di Middle East Institute, National University of Singapore

@squrtuby

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait