1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hikayat Sains dan Kendali Negara

7 Maret 2017

Tahun 2045 menjadi patokan bagi para pelaku pembangunan sains di Indonesia. Namun mengapa hingga kini banyak ilmuwan enggan berkarya di tanah air? Rahadian Rundjan menjabarkan opini berikut ini.

Dr Engkik Soepadmo
Foto: Merdeka Award Trust

Engkik Soepadmo (foto) adalah satu dari 419 anak muda yang berhasil terpilih sebagai mahasiswa Akademi Biologi, sebuah sekolah khusus untuk mendidik ahli-ahli biologi Indonesia generasi pertama yang beroperasi di Ciawi, Jawa Barat, pada kurun 1955-1968. Saat itu pemerintah Indonesia memang tengah mencurahkan aset dan modal terbaiknya untuk mengembangkan biologi sebagai garis depan upaya dekolonisasi ilmu pengetahuan Indonesia. Di masa Belanda, biologi adalah primadona dinamika sains kolonial, dan setelah Hindia Belanda berganti rupa menjadi Republik Indonesia, sains pun dirasa perlu untuk "diindonesiakan”.

Soepadmo lulus pada 1959 dan kemudian ia langsung ditempatkan di Kebun Raya Bogor, institusi prestisius di masa kolonial yang reputasinya tengah jatuh pasca ditinggal peneliti-peneliti Belanda terbaiknya. Ia kemudian mendapat beasiswa studi doktoral di Universitas Cambridge, Inggris. Di Eropa, ia belajar di bawah bimbingan E.J.H. Corner dan Kees van Steenis, dua botanis terkemuka di Inggris dan Belanda. Setelah studi dan proyeknya rampung pada 1968, Soepadmo diminta pulang untuk mengabdikan ilmunya di Kebun Raya, namun ia menolak.

Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Mengapa? Soepadmo menuliskan unek-uneknya dalam sebuah surat kepada van Steenis, yang di sini saya kutip dari buku Kegagalan Ilmuwan Hindia Belanda karya sejarawan Andrew Goss:

"Sudah banyak contoh sebelum saya, ketika rekan-rekan saya tidak berpikir lebih hati-hati tentang masalah ini, dan mereka langsung pulang setelah menyelesaikan pendidikan mereka di luar negeri, berpikir bahwa dengan gelar M.Sc atau Ph.D, mereka akan mendapatkan posisi lebih baik di tanah air. Namun secara tragis, setelah mereka tiba di Bogor mereka menjadi ‘botanikus belakang meja'.”

Soepadmo sudah melihat bahwa ada yang tidak beres dengan dinamika riset di Indonesia. Alih-alih meneliti, para ilmuwan justru lebih banyak diarahkan untuk mengerjakan tugas-tugas administratif: mengurusi surat-surat, memo, dan laporan dari balik meja mereka. Gaji minim juga menjadi masalah, bahkan di Kebun Raya, gaji sekretaris lebih tinggi daripada peneliti.

Soepadmo akhirnya mengambil tawaran mengajar di Universiti Malaya yang mau menampung idealismenya untuk meneliti, dan ketika pada 1971 ia sekali lagi menolak untuk pulang, kewarganegaraan Indonesianya pun dicabut. Soepadmo lantas menjadi warga negara Malaysia, dan namanya kini tenar sebagai peneliti riset kehutanan terkemuka.

Tradisi Kuasa dan Kendali

Kasus Soepadmo nyatanya masih relevan sampai sekarang. Banyak ilmuwan enggan berkarya di tanah air karena minimnya kesempatan meneliti, modal, dan distraksi kerja birokrasi yang begitu akut. Pertanyaannya, apakah situasi ini sengaja dipelihara oleh penguasa untuk mengendalikan laju sains di Indonesia sampai batas-batas tertentu saja?

Jika berkaca pada sejarah, jawabannya: iya. Mungkin selain korupsi, pengendalian ketat terhadap sains adalah tradisi negatif lain yang kita wariskan dari Belanda.

Misalnya, Perusahaan Dagang Hindia Timur (VOC), pernah sengaja melarang penerbitan Herbarium Amboinense, sebuah buku setebal 1.661 halaman yang mencantumkan data 1.200 spesies flora dan fauna di perairan Ambon, magnum opus dari Georg Eberhard Rumphius, pegawai VOC kelahiran Jerman sekaligus naturalis Hindia paling mahsyur di zamannya.

Alasannya? Karena buku itu disebut memuat informasi sensitif, yang jika diketahui publik Eropa, dianggap akan melemahkan dominasi dagang VOC di kepulauan rempah-rempah. Herbarium Amboinense yang selesai ditulis pada 1690 itu akhirnya baru bisa diterbitkan pada 1741.

Di masa Hindia Belanda, kelompok ilmuwan bekerja dengan rasa kecewa. Idealisme mereka, yakni mempelajari alam Hindia demi kemakmuran masyarakat koloni, selalu dijegal penguasa. Produk-produk sains, seperti biologi dan botani yang lahir di Kebun Raya, temuan sejarah dan arkeologi dari Komunitas Sains dan Seni Batavia, serta metode pertanian ilmiah yang dikembangkan Departemen Pertanian tidak dapat dirasakan oleh masyarakat koloni secara luas, apalagi kaum pribumi, akibat intervensi pemerintah.

Kalangan ilmuwan yang terkungkung inilah yang Andrew Goss sebut sebagai floracrat, para pakar sains, terutama ilmu alam, yang dikendalikan oleh negara. Pemerintah kolonial mengkehendaki sains terpisah dari masyarakat, dan ia baru dipromosikan bila sejalan dengan kebijakan negara.

Misalnya, ekspedisi maritim Siboga (1899-1900) dan Snellius (1930-1931) yang dilaksanakan Belanda untuk merespon, secara politis, kehadiran kapal-kapal penelitian Inggris, Perancis, dan Jerman di wilayah perairan Hindia. Begitu pula dengan proyek Politik Etis, yang awalnya bertujuan mencetak sumber daya manusia untuk menyokong kerangka sains kolonial, justru melahirkan para penantang kuasa kolonial: kaum pergerakan.

Huru-hara Perang Dunia II mematikan geliat sains Hindia Belanda, dan orang-orang Indonesia harus memulai pembangunan sains mereka dari nol, atau paling tidak, sisa-sisa kejayaan yang diwariskan Belanda. Hal ini ternyata cukup sulit dilakukan, karena sekali lagi, penguasa masih berperan sebagai patron pengendali dinamika sains.

Di masa Orde Lama, Sukarno mengarahkan sains agar sesuai dengan semangat revolusionernya, yang konfrontatif dan anti-Barat. Serangkaian proyek raksasa, seperti industri roket dan instalasi nuklir, dibangun namun dengan cepat bangkrut akibat krisis ekonomi dan politik. Sedangkan pada Orde Baru, kaum ilmuwan cenderung dibungkam. Pemerintah memang mensponsori kegiatan ilmiah dengan dana yang besar, namun hasilnya malah mencetak kelompok cendekiawan "menara gading”, yang penelitiannya sulit untuk dinikmati oleh masyarakat luas.

Menakar Target 2045

Tahun 2045, yang bertepatan dengan seabad kemerdekaan Indonesia, belakangan ini menjadi patokan bagi para pelaku pembangunan sains di Indonesia. Misalnya, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), yang memberangkatkan ribuan anak-anak muda Indonesia ke luar negeri untuk belajar, menargetkan 2045 sebagai tahun pembuktian keberhasilan program pendidikannya. Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), juga Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi sama-sama pula menargetkan 2045 sebagai tenggat waktu pembangunan riset Indonesia.

Di atas kertas, jargon-jargon dan rencana lembaga-lembaga riset, juga pemerintah yang terkesan mendukung pembangunan sains patut diacungi jempol. Mungkin penetapan target akan memacu para pelaku sains, baik peneliti maupun birokrat, untuk bergerak cepat membenahi ketertinggalan sains negeri ini yang telah berlangsung selama 72 tahun. Namun, apakah hal tersebut dapat dilakukan dengan mudah?

Belum lama ini, seperti diberitakan detik.com (16/1) bahwa anggaran indikatif Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) turun dari Rp1,1783 triliun (2016) menjadi Rp1,1662 triliun untuk tahun 2017. Hal sama terjadi pada anggaran untuk Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), juga sektor penelitian dan pengabdian masyarakat di perguruan tinggi. Ini awalan buruk bagi target tahun 2045, jika memang pemerintah benar-benar menganggap serius ambisinya untuk memajukan sains.

Kendali negara terhadap sains masih nir-produktif. Dilema klasik, yakni mempertimbangkan karir yang lebih baik di luar negeri daripada di Indonesia, seperti yang dulu dialami Engkik Soepadmo, masih akan menjangkiti ilmuwan-ilmuwan muda Indonesia ke depannya. Agaknya, dari zaman Belanda sampai sekarang, hubungan patron-klien antara negara dengan ilmuwan memang belum mampu secara maksimal membuat sains hadir, dan hidup, di tengah-tengah masyarakat Indonesia.

 

Penulis:

Rahadian Rundjan (ap/as)

Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.