1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hisbollah Antara Jihad Dan Bakti Sosial

13 September 2007

Kaum Syiah di Libanon diwakili oleh Hisbollah yang punya banyak wajah. Aktif di bidang politik, sebagai milisi melawan israel dan juga pemerhati kepentingan rakyat.

Di Libanon agama memainkan peranan penting. Para penganut 18 kelompok agama, a.l. muslim Syiah dan Sunni, kaum Drus, dan berbagai aliran agama kristen –berdasarkan konstitusinya– harus berbagi kekuasaan politik. Bila gagal, mungkin akan timbul lagi perang saudara seperti pada tahun 1975 sampai 1990. Kelompok terbesar adalah kaum Syiah, mencakup 40 persen jumlah penduduk. Di dunia politik mereka diwakili oleh Hisbollah yang punya banyak wajah, yakni sebagai partai politik dan organisasi sosial. Dengan dukungan Iran dan Suriah mereka bertindak sebagai milisi tempur melawan Israel.

Sehubungan dengan perjuangan bersenjata melawan Israel, di dunia barat Hisbollah disamakan dengan milisi radikal Islam, bahkan di AS disebut sebagai kelompok teror.

Di selatan Beirut, Hisbollah memiliki citra yang lain lagi. Sejak dibentuk tahun 80-an pengaruhnya di kalangan warga Syiah semakin luas, mendominasi kehidupan umum dan juga populer di kalangan warga, yang menganggap agama tidak terlalu penting. Selain karena berhasil melawan pendudukan Israel di Libanon Selatan, juga terkait peranannya di bidang sosial. Karena kurang dipedulikan oleh pemerintah pusat, wilayah selatan Libanon menjadi ajang luas bagi kegiatan Hisbollah, demikian kata Judith Harik, pakar AS mengenai Libanon. Menurutnya: "Dari segi agama, berdasarkan kitab suci Al Quran, adalah tugas mereka untuk membantu. Tetapi dapat juga dikatakan dengan sinis, itu merupakan peluang untuk memperoleh pendukung, karena disana tidak ada yang membantu."

Dengan bantuan Suriah dan Iran, Hisbollah sudah memiliki infrastruktur ibaratnya 'sebuah negara dalam negara' di wilayah-wilayah kaum Syiah. Mereka mengelola sekolah, rumah sakit, rumah yatim piatu dan mengawasi pula lalulintas.

Di selatan Beirut kerusakan akibat perang masih terlihat. Penduduk yang kehilangan rumah akibat pemboman Israel, mendapat bantuan langsung seribu dollar dari Hisbollah. Orang-orang merasa berterima kasih, tetapi juga menjadi tergantung pada Hisbollah dan Hassan Nasrallah, yang dipuji-puji sebagai pemimpin yang kuat, dan setia pada tanah air Libanon. Semangat juang dan kekuatan militer Hisbollah juga dikagumi oleh kelompok non-Syiah, sekaligus menimbulkan pula kekhawatiran. Memang ada partai Kristen yang bekerjasama dengan Hisbollah, tetapi kelompok kristen lainnya, banyak kalangan Sunni dan Drus menganggap Hisbollah akan terus menyeret Libanon ke kancah peperangan dengan Israel, menempatkan negeri itu di bawah pengaruh Suriah dan Iran, bahkan mungkin dengan tujuan memperkuat dominasi Syiah di Libanon. Nawaf al Musawi, pejabat urusan hubungan luar negeri Hisbollah membantahnya: "Pembentukan negara Islam tidak ada dalam program politik Hisbollah. Kami lebih mengupayakan konsensus nasional dan sampai sekarang pun mempertahankan kebijakan ini."

Sejak berakhirnya perang saudara tahun 1990 Hisbollah bukan hanya tetap mempertahankan senjata mereka, melainkan menyelundupkannya ke pedalaman. Eksistensi dari persenjataan itu menimbulkan kecurigaan di kalangan penduduk lainnya. Syekh Mohammad Hussein Fadlallah, pemimpin kaum Syiah di Libanon berusaha menenangkan: "Soal senjata, Hisbollah sudah menegaskan, tidak akan menggunakannya ke arah kelompok agama lain di Libanon, melainkan untuk melawan agresi Israel."

Fadlallah merupakan pemimpin spiritual Hisbollah, tetapi bukan penghasut terhadap warga non-Muslim. Dalam wawancara dengan DW ia mengemukakan kesediaan berdialog dengan kaum Sunni dan Kristen, serta mengecam serangan teror di AS dan Eropa, kecuali terhadap Israel. Hisbollah hanya tidak menggunakan istilah 'jihad', melainkan menyebutnya sebagai 'perlawanan nasional'.