Kericuhan 22 Mei silam tak hanya menimbulkan kekacauan di lokasi kejadian, namun juga di media sosial. Kabar simpang siur tersebar melalui media sosial, bahkan ada yang khusus menyasar kelompok minoritas Tionghoa.
Iklan
Hanya dari barang bukti seperti ponsel, foto yang dibumbui dengan informasi bohong dapat dengan mudah disebar dan menyulut sentimen warga. Foto tiga anggota Korps Brigade Mobil (Brimob) yang memakai penutup wajah tersebar di media sosial misalnya, dengan mudah membuat gaduh karena diduga ketiganya adalah aparat dari Cina yang ikut mengamankan aksi demonstrasi pada Selasa (21/05). Belakangan terungkap bahwa ketiganya justru berasal dari Sumatera Utara, yakni Briptu Raja Hiskia Rambe, Briptu Benuh Habib, dan Briptu Gunawan Sinambela.
"Kami tegaskan lagi bahwa kami adalah asli Brimob, bukan polisi Cina. Bahwa saya adalah Brimob Sumatera Utara. Saya asli dari Sumatera Utara," tegas Briptu Raja Hiskia Rambe dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Divisi Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan seperti dilansir dari Detik News.
Warga juga diminta untuk teliti sebelum menyebar berita yang tersebar di sosial media, seperti yang diimbau Aktivis HAM, Andreas Harsono dari organisasi Human Right Watch (HRW). "Kamu tahu orang Brimob yang direkam dalam bahasa asing, bahasa apa? Itu bahasa Madura. Saya bisa bahasa Madura, jadi saya tahu dia ngomong apa. Langsung dimanfaatkan oleh satu orang," katanya kepada DW.
Kisruh demi kekuasaan
Ketua Setara Institute, Hendardi, berpendapat bukan tanpa sebab isu anti-Tionghoa yang digunakan, karena ini dianggap sebagai menjadi modal kuat untuk menyulut kerusuhan. Ia juga beranggapan isu tersebut hanyalah berita bohong semata yang digunakan demi meraih kekuasaan. "Menyulut kerusuhan itu salah satu cara, cara untuk meraih kekuasaan,” tegas Hendardi saat diwawancarai DW Indonesia.
Menyusuri Jejak Kontribusi Tionghoa di Jakarta
Kontribusi etnis Tionghoa di Indonesia dapat ditelusuri melalui bangunan peninggalan bersejarah yang bertahan hingga kini. Beberapa sudah beralih fungsi dan kepemilikan, namun jadi bagian dari sejarah di tanah air.
Foto: DW/M. Rijkers
Rumah Sakit Husada
Tahun 1924, Dokter Kwa Tjoan Sioe bersama sejumlah dokter dan pengusaha mendirikan klinik bersalin di Jakarta yang kemudian berkembang menjadi Rumah Sakit Jang Seng Ie. Tahun 1965 berganti nama menjadi RS Husada yang kini dikelola oleh yayasan.
Foto: DW/M. Rijkers
Rumah Mayor
Rumah Mayor Khouw Kim An berada di Jalan Gajah Mada dan terapit apartemen serta sebuah hotel di halaman depan. Bangunan Rumah Mayor masih dipertahankan sebagai warisan budaya, dulunya milik seorang mayor Tionghoa sekaligus pengusaha dan pemegang saham Bataviaasche Bank. Meski mendapat penghargaan dari Belanda, Kim An meninggal di kamp Jepang tahun 1945, enam bulan sebelum Indonesia merdeka.
Foto: DW/M. Rijkers
SMU 2 Jakarta
Bangunan yang kini digunakan sebagai Sekolah Menengah Umum tersebut sebelumnya adalah milik Mayor Khouw Kim An, seorang kaya di masa kolonial dulu. Ia memiliki ratusan hektar sawah, penggilingan padi dan membangun gedung yang menjadi sekolah dan satu bangunan yang sempat menjadi kantor Kedutaan Besar Cina yang terletak di Jalan Gajah Mada.
Foto: DW/M. Rijkers
Rumah Souw (Rumah Besar)
Orang terkaya Tionghoa di masa kolonial adalah Souw Siauw Tjong. Rumah miliknya ini masih dipertahankan hingga saat ini meski tidak tampak ada kehidupan. Pagar dan pintu rumah selalu tertutup meski terletak di Jalan Perniagaan yang ramai.
Foto: DW/M. Rijkers
SMU 19 Jakarta Utara
Dulu sekolah ini bernama “Tiong Hoa Hwee Koan” atau lebih terkenal dengan nama Pa Hua. Berdiri sejak tahun 1901 hingga ditutup pemerintah tahun 1960. Sekolah ini merupakan sekolah modern pertama di Hindia Belanda. Sejak 53 tahun yang lalu, sekolah ini diambil alih pemerintah dan menjadi Sekolah Negeri 19. Di gedung ini pula berdiri organisasi Tionghoa modern yang bernama sama.
Foto: DW/M. Rijkers
Sekolah Wijaya Kusuma
Sekolah dwibahasa (Tionghoa dan Inggris) bernama “The Chinese High School” berada di Jl. Wacung. 1965, sekolah ini mengalami persekusi sehingga membutuhkan jasa pengamanan. Fajar Batubara diberikan kuasa untuk pengamanan oleh Pemda DKI Jakarta dan berlanjut hingga kini pengelolaan sekolah berada di tangan yayasannya. Banyak murid dan orangtua yang umumnya non-Tionghoa tak mengetahui hal itu.
Foto: DW/M. Rijkers
Toko Obat Lay An Tong
Terletak di kawasan yang dulunya dikenal sebagai pusat rumah bordil kawasan Glodok, bekas toko obat Lay An Tong masih mempertahankan bentuk bangunan lama. Dari satu toko obat kini menjadi tiga toko kelontong yang berbeda-beda. Nama toko obat masih terlihat dibalik cat putih tembok toko.
Foto: DW/M. Rijkers
Apotek Chunghwa
Tahun 1928, bangunan ini digunakan sebagai Apotek Chunghwa. Pada 1997 hingga 2015, bangunan ini berada dalam keadaan tidak terawat sehingga direvitalisasikan dan difungsikan kembali sebagai restoran dengan nama Pantjoran Tea House atau Rumah Teh Pancoran sejak tahun 2016.
Foto: DW/M. Rijkers
Gereja Patekoan
Gedung Gereja Kristen Indonesia di Jalan Perniagaan ini adalah empat rumah milik Gouw Ko yang dihibahkan untuk gereja. Pemerintah Hindia Belanda memberikan izin resmi beribadah pada tahun 1899, meski jemaat sudah terbentuk sejak tahun 1868 yang berjumlah 17 orang.
Foto: DW/M. Rijkers
Toko Merah
Toko Merah dimiliki oleh Oey Liauw Kong pada tahun 1813 hingga 1851. Bangunan toko dua lantai ini sebelumnya adalah rumah kediaman Gustaaf Willem Baron van Imhoff yang menjabat sebagai Gubernur VOC. Sejak tahun 1993, Toko Merah mendapat Sertifikat Sadar Pemugaran yang membuatnya menjadi salah satu ikon arkeologi Tionghoa di Jakarta.
Foto: DW/M. Rijkers
Kelenteng Lie Thiek Kwai
Berdiri tahun 1768 sebagai tempat ibadah para pendatang dari Cina, kelenteng ini dibangun oleh seorang tukang besi. Kelenteng ini tidak besar tetapi memanjang ke belakang. Hingga saat ini masih berfungsi sebagai tempat ibadah khusus untuk memuja Dewa Lie Thiek Kwai Sian sebagai dewa utama.
Foto: DW/M. Rijkers
Restoran Wong Fu Kie
Tidak pernah membuka cabang sejak berdiri tahun 1925, restoran khas Hakka ini terletak di gang kecil di Tambora. Tjokro Indrawirawan alias Thung Tjok Jin adalah generasi ketiga pemilik restoran. Meski terletak di gang kecil, tanpa fasilitas parkir mobil, ruangan tidak besar dan tidak tampak seperti restoran, Wong Fu Kie turut menjadi saksi perkembangan kuliner Tionghoa di Jakarta.
Foto: DW/M. Rijkers
12 foto1 | 12
Menurutnya, mengangkat isu intoleransi seperti anti-Tionghoa menjadi cara mudah untuk memainkan emosi publik di dalam negeri, tanpa menyadari bahwa sentimen anti-Tionghoa dapat juga berdampak bagi kondisi perekonomian negara.
"Ya itu kan sudah dibuktkan pada Mei 98, bahkan sejarah kita sebelumnya. Isu anti Cina ini sangat kuat. Itu menjadi isu yang seksi dan serta merta dampak ikutannya adalah ekonomi yang akan terdampak. Seperti kita ketahui pelaku-pelaku bisnis juga banyak orang dari keturunan Cina, karena itu ini juga pasti kalau mereka takut, mereka lari keluar atau apa, bisnis macet di situ. Serta merta keuangan negara punya masalah pasti,” jelas Hendardi.
Andreas Harsono dari HRW juga beranggapan yang sama. Ia menganggap saat kerusuhan terjadi Mei 1998 maupun 2019, sentimen sengaja menyasar minoritas Tionghoa karena akan menganggu ekonomi. "Mengingat ada kesan orang Tionghoa ini identik dengan bisnis. Jadi kalau menggangu mereka, itu mengganggu ekonomi. Itu tidak benar tapi sering menjadi kesan umum," paparnya kepada DW.
Hendrardi menegaskan bahwa para elite politik maupun pemerintah tidak boleh tinggal diam, melainkan harus turut memberi contoh kepada masyarakat. Karena menurutnya sentimen suku dan ras mempunyai efek yang sangat mendalam dalam kehidupan demokrasi Indonesia, bahkan tak tertutup kemungkinan menjadi pemicu terorisme.
"Setara Institute bolak-balik menyatakan isu intoleransi ini mesti ditangani pemerintah. Intoleransi itu satu sikap yang menjadi anak tangga menuju terorisme,” tutup Hendardi.