Almarhum Gus Dur pernah berkelakar, hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia. Mereka adalah polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng. Berikut kisahnya dalam ulasan Geger Riyanto.
Foto: gemeinfrei
Iklan
Saya percaya, nama Hoegeng setidaknya pernah terselenting ke pendengaran sebagian kita. Nama dan kejujuran Hoegeng sohor tak kurangnya cerita rakyat. "Siapa Kapolri paling miskin di dunia?" salah satu koleganya, Permadi, mengenang. "Jawabnya cuma satu: Hoegeng!"
Dan David Jenkins, yang menggambarkan banyak jenderal Orde Baru sebagai sosok yang lihai dan licin, tak pernah menyiratkan penilaian miring ketika ia sampai ke nama Hoegeng. Dalam buku Jenkins Soeharto dan Barisan Jenderal Orba, Hoegeng beberapa kali disinggung dan uraian Jenkins hanya meninggalkan satu kesan. Hoegeng adalah sosok yang lurus dan tulus.
Tak disenangi Cendana
Kendati demikian, Hoegeng tak pernah dikenal sebagai sosok revolusioner. Meski sebagian karier Hoegeng selaku polisi dirintis serta dijalaninya pada masa kepresidenan Sukarno, ia tak pernah dikenal dekat dengan partai tertentu. Kekeraskepalaannya menjadikannya tak disenangi rekan sejawat dan keluarga Cendana tapi tak serta-merta menjadikannya seseorang yang menghendaki perubahan tatanan menyeluruh.
Penulis: Geger RiyantoFoto: Privat
Sembilan tahun selepas pensiun, lucunya, ia sekonyong-konyong menjadi sosok yang bukan dirinya. Tepatnya, kala kedua kalinya kepala batunya membikin penguasa naik pitam bukan kepalang.
Dicopot sebagai Kapolri
Hoegeng pertama kali menggasak batas toleransi rezim ketika ia hendak membongkar penyelundupan ratusan mobil mewah. Pengusutan Hoegeng menemukan penyelundupan yang akan merugikan negara ratusan miliar ini berujung di Ibu Tien Soeharto. Dan apa yang terjadi selanjutnya mudah diterka. Hoegeng, tentu saja, tak memperoleh penghargaan. Ia dicopot dari jabatannya sebagai Kapolri.
Penentangan besar kedua dilakoninya dengan menandatangani Petisi 50. Petisi ini berisi pernyataan keprihatinan dengan Suharto yang menggunakan Pancasila untuk membungkam apa-apa yang tak disukainya.
Sang Presiden, dalam kata-kata dokumen ini sendiri, "memberikan kesan bahwa dia adalah personifikasi Pancasila sehingga desas-desus apapun tentang dirinya akan ditafsirkan sebagai anti-Pancasila."
Dilucuti dan dihabisi
Hoegeng, penggemar lagu Hawaiian, mengampu program musik-musik Hawai di TVRI, dan acaranya ini tetiba dihentikan setelah dua belas tahun tayang. Hoegeng dilarang untuk tampil di media massa maupun publik. Acara bincang televisinya tak boleh disiarkan lagi. Dan sebagaimana para penandatangan Petisi 50, ia tak bisa lagi memperoleh kredit bank, mengikuti tender, maupun pergi keluar negeri.
Hoegeng dihabisi secara sosial. Alasannya, dalam kata-kata Sudomo yang menjabat Pangkopkamtib saat itu, "Jangan memandang Hoegeng hanya sebagai seorang pemain gitar atau penyanyi Hawaiian yang tak berdosa. Kita tidak boleh menafikan kemungkinan suatu hari ia akan mendendangkan lagu revolusioner dan menghasut rakyat untuk melakukan kerusuhan."
Hoegeng adalah seseorang yang, bisa saja, revolusioner. Ia, karenanya, perlu dilucuti dari segala hak dan keleluasaannya.
Tentu. Namun, hal ini pun seharusnya tidak asing. Hal ini bukan hanya terjadi pada masa yang belum terlampau silam, ia juga mengingatkan dengan apa yang nampaknya masih dicoba diulang di Indonesia beberapa waktu terakhir. Di luar erupsi sesaat sentimen antikomunisme tempo hari, pun banyak warga yang sekadar memperjuangkan lahannya dari serobotan korporat dan aparat dibuat tak berkutik dengan tudingan "komunis."
Pembungkaman Hoegeng di sini mengajarkan kita, bagaikan taktik sepak bola, menyerang merupakan pertahanan terbaik rezim penguasa. Penistaan tak masuk akal, pada waktu-waktu tertentu, menjadi cara telanjang penguasa mengamankan diri.
Dan secara ironis, sejarah bersaksi pula, fitnah semacam dapat menerpa figur yang sangat dihormati di militer sekalipun. Jenderal besar A. H. Nasution adalah korban pembelejetan hak-hak sipil bersama Hoegeng, Ali Sadikin, Burhanuddin Harahap, Mohammad Natsir. Sebagai salah seorang penandatangan Petisi 50, ia dituduh hendak membunuh para pemimpin dan merampas kekuasaan. Nasution, jelas, tersinggung.
"Pada pemakaman Jenderal Yani, saya katakan kaum komunis telah melakukan fitnah kepada kami para pimpinan militer dengan menuduh kami berencana menggulingkan pemerintah," ungkap Nasution. "Kini mereka [pemerintah] melakukan hal yang sama. Persis sama. Mereka menuduh kami yang menandatangani Petisi 50 sedang berkomplot akan membunuh para pemimpin dan mengambil alih pemerintahan."
Garuda di Belantara Konflik Dunia
Acap dikritik di dalam negeri lantaran kasus HAM, TNI malah aktif menjaga damai dan melindungi warga sipil di berbagai kawasan konflik di dunia. Hingga kini sebanyak 30.000 prajurit pernah dilibatkan dalam misi damai PBB
Foto: UN Photo/Albert Gonzalez Farran
Terimakasih Pada Dunia
Kontingen Garuda awalnya adalah sebuah tanda terimakasih Soekarno terhadap dunia internasional yang telah mendukung kemerdekaan Indonesia. Sejak pertamakali bertugas tahun 1957 untuk menjaga perbatasan Mesir, TNI hingga kini telah bertugas di setidaknya 70 misi perdamaian PBB.
Foto: UN Photo/Pasqual Gorriz
11 Kontingen di Libanon
Salah satu operasi terbesar TNI di luar negeri adalah mengawal perdamaian di Libanon pasca serangan Israel tahun 2006 silam (UNIFIL). Untuk misi pelik tersebut TNI menurunkan hingga 11 kontingen yang menggabungkan kekuatan udara, laut dan darat.
Foto: UN Photo/Pasqual Gorriz
Srikandi TNI
Untuk misi di Libanon TNI tidak segan membawa prajurit perempuan. Tampak dalam gambar adalah Sri Sulistyowati yang ditugaskan sebagai perawat di klinik milik UNIFIL di kota Taibe. Seluruhnya TNI menugaskan 13 perempuan untuk mengawal masa damai di Libanon.
Foto: UN Photo/Pasqual Gorriz
Taring Laut
Pasukan Garuda yang paling spektakuler adalah kontingen 28H. Dalam misi tersebut TNI AL mengirimkan 107 prajurit beserta kapal fregat jenis terbaru milik TNI, KRI Bung Tomo-357, untuk mengawasi perairan Libanon.
Foto: UN Photo
Pasukan Lintas Negara
Sebelum mengirimkan KRI Bung Tomo, TNI juga pernah menempatkan kapal korvet kelas Sigma buatan Belanda, KRI Sultan Iskandar Muda, di Libanon. Di sana TNI bergabung bersama angkatan laut negara lain dari Jerman, Brazil dan Turki untuk mencegah penyelundupan senjata oleh kelompok Hizbullah di Libanon Selatan.
Foto: UN Photo/Pasqual Gorriz
Keberatan Israel
Israel sempat mengutarakan keberatan ketika PBB berniat menunjuk Indonesia sebagai komandan baru angkatan laut UNIFIL buat menggantikan Italia. Pemerintah negeri Yahudi itu berdalih, sikap Indoensia yang menolak mengakui kedaulatan Israel bisa mempersulit kerjasama antara pasukan kedua negara di lapangan.
Foto: UN Photo/Pasqual Gorriz
Damai di Tanah Darah
Misi besar lain TNI adalah mengawal damai di kawasan Sudan yang remuk dilanda perang, Darfur (UNAMID). Hingga setengah juta orang kehilangan nyawa dalam perang antara pemerintah dan pasukan pemberontak. Militer Sudan berulangkali melanggar resolusi PBB dengan melancarkan serangan udara yang kebanyakan menewaskan warga sipil.
Foto: UN Photo/Albert Gonzalez Farran
Pasukan Spesial
Di Sudan TNI/Polri bertugas mengawal bantuan kemanusiaan dan melindungi warga sipil dari pertempuran. Awal 2015 silam Indonesia mengirimkan sekitar 800 pasukan yang dilengkapi dengan 24 Panser ANOA, 30 truk angkut dan 34 kendaraan ringan. Kontingen tersebut terhitung spesial karena dididik khusus untuk mengemban misi damai di Darfur.
Foto: UN Photo/Albert Gonzalez Farran
Bahaya Maut Mengintai
Prajurit TNI dan anggota Polri tidak cuma ditugaskan mengawal pengiriman bantuan kemanusiaan, tetapi juga ikut turun ke lapangan untuk membangun fasilitas kesehatan dan pendidikan. Bertugas di Darfur bukan tanpa bahaya. Sejak pertama kali diterjunkan, sudah sebanyak 192 prajurit UNAMID yang tewas saat bertugas.
Foto: UN Photo/Albert Gonzalez Farran
Kenyang Menjaga Damai
Kontingen Garuda termasuk yang paling rajin ditugaskan dalam misi damai PBB. Selain Darfur, TNI pernah mengirimkan kontingen besar ke Mesir, Kongo dan Kamboja. Secara keseluruhan hampir 30.000 prajurit TNI pernah terlibat dalam misi menjaga perdamaian di seluruh dunia.
Foto: UN Photo/Albert Gonzalez Farran
10 foto1 | 10
Nasution bukan seseorang yang punya simpati dengan PKI, jelas. Membandingkan rezim dengan PKI, Nasution terang-terangan sudah muak. "Bahkan PKI saja," tandas Nasution, "tak menuduh kami hendak membunuh Sukarno."
Disadari atau tidak, banyak hal rupanya yang kita pelajari dari Orde Baru. Termasuk bagaimana menuduh secara tidak berdasar dan menegakkan keamanan dengan cara ini—keamanan bagi penguasa, tentunya. Dan, bila kita mau mendengar juga bagaimana caranya membela pembunuhan hak-hak sipil para disiden, Suharto menyampaikannya di bukunya Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.
"Pada 1980 muncul apa yang menyebut dirinya Petisi 50. Sesungguhnya saya gembira jika ada oposisi terhadap saya, dengan syarat ia adalah oposisi yang loyal," ujarnya. "[Tapi Petisi 50] mengira seolah-olah pendapatnya benar dewe, benar sendiri."
Oposisi yang loyal? Seolah-olah pendapatnya benar dewe?
Suharto mungkin sudah berkilah sebaik-baik kemampuannya untuk membela represi rezimnya. Namun, tak ada yang tidak akan terasa mengada-ada pada saat seseorang membela apa yang memang salah. Kita cukup mengingat bahwa apa yang terjadi adalah sesosok penguasa, yang merenggut segalanya, merasa dizalimi oleh mantan polisi yang bersahaja dan tak punya apa-apa.
Dan bila penistaan-penistaan ini terjadi kembali saat ini, kita tahu apa yang perlu dilakukan—selain merasa tergelitik tentunya. Lihat siapa yang dituduh. Lihat siapa yang menuduh.
Karena preseden historis yang ada membenarkan sebuah ungkapan klise. Tiga jari tangan yang menunjuk tertunjuk kepada diri sendiri. Penulis: Geger Riyanto
Penulis:
Geger Riyanto, esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.
@gegerriy
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
TNI banyak berjasa menyatukan Indonesia. Tapi kiprah mereka di tiga wilayah justru membuktikan sebaliknya. Pendekatan keamanan yang dianut mabes di Cilangkap justru mendorong separatisme dan mengancam keutuhan NKRI
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
Ancaman Terhadap NKRI?
Presiden Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang memahami perlunya perubahan di tubuh TNI. Ia memerintahkan pergeseran paradigma di Papua, "bukan lagi pendekatan keamanan represif, tetapi diganti pendekatan pembangunan dengan pendekatan kesejahteraan." Diyakini, kiprah TNI menjaga kesatuan RI justru banyak melahirkan gerakan separatisme.
Foto: Reuters/Beawiharta
Api di Tanah Bara
Sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang banyak memicu keraguan, Papua berada dalam dekapan militer Indonesia. Sejak itu pula Jakarta menerapkan pendekatan keamanan buat memastikan provinsi di ufuk timur itu tetap menjadi bagian NKRI. Tapi keterlibatan TNI bukan tanpa dosa. Puluhan hingga ratusan kasus pelanggaran HAM dicatat hingga kini.
Foto: T. Eranius/AFP/Getty Images
Rasionalisasi Pembunuhan
Tudingan terberat ke arah mabes TNI di Cilangkap adalah rasionalisasi pembunuhan warga sipil di Papua. Theys Hiyo Eluay yang ditemukan mati tahun 2001 silam adalah salah satu korban. Pelakunya, anggota Komando Pasukan Khusus, mendapat hukuman ringan berkat campur tangan bekas Kepala Staf TNI, Ryamizad Ryacudu yang kini jadi Menteri Pertahanan. "Pembunuh Theys adalah pahlawan," katanya saat itu
Foto: Getty Images/AFP/T. Eranius
Merawat Konflik, Menjaga Kepentingan
Berulangkali aksi TNI memprovokasi konflik dan kerusuhan. Desember 2014 silam aparat keamanan menembak mati empat orang ketika warga Paniai mengamuk lantaran salah satu rekannya dipukuli hingga mati oleh TNI. Provokasi berupa pembunuhan juga dilakukan di beberapa daerah lain di Papua. Faktanya nasionalisme Papua berkembang pesat akibat tindakan represif TNI, seperti juga di Aceh dan Timor Leste
Foto: picture-alliance/dpa
Seroja Dipetik Paksa
Diperkirakan hingga 200.000 orang meninggal dunia dan hilang selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor Leste. Sejak operasi Seroja 1975, Timor Leste secara praktis berada di bawah kekuasaan TNI, meski ada upaya kuat Suharto buat membangun pemerintahan sipil.
Foto: picture-alliance/dpa
Petaka di Santa Cruz
Kegagalan pemerintahan sipil Indonesia di Timor Leste berakibat fatal. Pada 12 November 1991, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut referendum dan kemerdekaan dijawab dengan aksi brutal oleh aparat keamanan. Sebanyak 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 lainnya menghilang.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Kegelapan
Sejak pembantaian tersebut Indonesia mulai dihujani tekanan internasional buat membebaskan Timor Leste. Australia yang tadinya mendukung pendudukan, berbalik mendesak kemerdekaan bekas koloni Portugal itu. PBB pun mulai menggodok opsi misi perdamaian. Akhirnya menyusul arus balik reformasi 1998, penduduk Timor Leste menggelar referendum kemerdekaan tahun 1999 yang didukung lebih dari 70% pemilih.
Foto: picture-alliance/dpa/Choo
Serambi Berdarah
Pendekatan serupa dianut TNI menyikapi kebangkitan nasionalisme Aceh, meski dengan akhir yang berbeda. Perang yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka, dijawab dengan teror terhadap pendukung dan simpatisan organisasi pimpinan Hasan Tiro itu. Namun berbagai aksi keji TNI justru memperkuat kebencian masyarakat Aceh terhadap pemerintah Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Daerah Operasi Militer
Dua kali Jakarta mendeklarasikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, antara 1990-1998 dan 2003-2004. Amnesty International mencatat, perang di Aceh sedikitnya menelan 15.000 korban jiwa, kebanyakan warga sipil. TNI dituding bertanggungjawab dalam banyak kasus pelanggaran HAM, antara lain penyiksaan dan pemerkosaan, tapi hingga kini tidak ada konsekuensi hukum.
Foto: picture-alliance/dpa/Saini
Alam Berbicara
Perang di Aceh berakhir dramatis. Di tengah eskalasi kekerasan pada masa darurat militer, bencana alam berupa gempa bumi dan Tsunami menghantam provinsi di ujung barat Indonesia itu. Lebih dari 100.000 penduduk tewas. Tidak lama kemudian semua pihak yang bertikai sepakat berdamai dengan menandatangani perjanjian di Helsinki, 2005.