Pengadilan Hong Kong menyatakan dua editor dari Stand News bersalah atas tuduhan penghasutan. Kasus ini menyoroti penindasan yang terus berlanjut terhadap kebebasan pers.
Iklan
Dua mantan editor di media Stand News yang kini sudah tidak beroperasi, pada Kamis (30/08) dinyatakan bersalah atas konspirasi untuk menerbitkan materi yang menghasut, sebuah kejahatan yang dapat berujung pada hukuman penjara yang lama.
Kasus ini dipandang sebagai indikasi masa depan kebebasan media bagi Hong Kong di bawah kekuasaan Cina, yang diambil alih kembali pada 1997.
Stand News adalah salah satu dari sedikit media terakhir di kota tersebut yang secara terbuka mengkritik pemerintah di tengah penindasan terhadap perbedaan pendapat yang terjadi setelah protes pro-demokrasi besar-besaran pada 2019.
Dua jurnalis yang dihukum tersebut, mantan pemimpin redaksi Stand News Chung Pui-kuen dan mantan pemimpin redaksi sementara Patrick Lam, ditangkap pada Desember 2021.
Keduanya kini dinyatakan bersalah, dengan sanksi hukum akan diputuskan pada 26 September.
Meskipun Chung dan Lam didakwa di bawah undang-undang era kolonial yang menghukum hasutan dengan hukuman penjara maksimal dua tahun, undang-undang keamanan baru yang diberlakukan pada Maret 2024 meningkatkan hukuman penjara untuk hasutan menjadi tujuh tahun.
Wartawan dan Kebebasan Pers
Sebuah studi mengungkap, situasi yang dihadapi wartawan masih buruk. Berikut negara-negara yang dianggap berbahaya buat awak pers.
Foto: AFP/Getty Images/P. Baz
"Setengah Bebas" di Indonesia
Di Asia Tenggara, cuma Filipina dan Indonesia saja yang mencatat perkembangan positif dan mendapat status "setengah bebas" dalam kebebasan pers. Namun begitu Indonesia tetap mendapat sorotan lantaran besarnya pengaruh politik terhadap media, serangan dan ancaman terhadap aktivis dan jurnalis di daerah, serta persekusi terhadap minoritas yang dilakukan oleh awak media sendiri.
Foto: picture-alliance/ dpa
Kebebasan Semu di Turki dan Ukraina
Pemberitaan berimbang, keamanan buat wartawan dan minimnya pengaruh negara atas media: Menurut Freedom House, tahun 2013 silam cuma satu dari enam manusia di dunia yang dapat hidup dalam situasi semacam itu. Angka tersebut adalah yang terendah sejak 1986. Di antara negara yang dianggap "tidak bebas" antara lain Turki dan Ukraina.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Serangan Terhadap Kuli Tinta
Turki mencatat serangkain serangan terhadap wartawan. Gökhan Biçici (Gambar) misalnya ditangkap saat protes di lapangan Gezi. Menurut Komiter Perlindungan Jurnalis (CPJ), awal Desember lalu Turki memenjarakan 40 wartawan - jumlah tertinggi di seluruh dunia. Ancaman terbesar buat kebebasan pers adalah pengambil-alihan media-media nasional oleh perusahaan swasta yang dekat dengan pemerintah.
Foto: AFP/Getty Images
Celaka Mengintai buat Suara Kritis
Serangan terhadap jurnalis juga terjadi di Ukraina, terutama selama aksi protes di lapangan Maidan dan okupasi militan pro Rusia di Krimea. Salah satu korban adalah Tetiana Chornovol. Jurnalis perempuan yang kerap memberitakan gaya hidup mewah bekas Presiden Viktor Yanukovich itu dipukuli ketika sedang berkendara di jalan raya. Ia meyakini, Yanukovich adalah dalang di balik serangan tersebut.
Foto: Genya Savilov/AFP/Getty Images
"Berhentilah Berbohong!"
Situasi kritis juga dijumpai di Cina dan Rusia. Kedua pemerintah berupaya mempengaruhi pemberitaan media dan meracik undang-undang buat memberangus suara kritis di dunia maya. Rusia misalnya membredel kantor berita RIA Novosti dan menjadikannya media pemerintah. Sebagian kecil penduduk Rusia pun turun ke jalan, mengusung spanduk bertuliskan, "Berhentilah Berbohong!"
Foto: picture-alliance/dpa
Mata-mata dari Washington
Buat Amerika Serikat, mereka adalah negara dengan kebebasan pers. Namun kebijakan informasi Washington belakangan mulai menuai kecaman. Selain merahasiakan informasi resmi dengan alasan keamanan nasional, pemerintah AS juga kerap memaksa jurnalis membeberkan nara sumber, tulis sebuah studi. Selain itu dinas rahasia dalam negeri AS juga kedapatan menguping pembicaraan telepon seorang jurnalis.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Terseret Kembali ke Era Mubarak
Setelah kejatuhan Presiden Mursi yang dianggap sebagai musuh kebebasan pers, situasi di Mesir pasca kudeta militer 2013 lalu terus memanas. Belasan jurnalis ditangkap, lima meninggal dunia "di tangan militer," tulis Freedom House. Media-media yang kebanyakan tunduk pada rejim militer Kairo membuat pemberitaan berimbang menjadi barang langka di Mesir.
Foto: AFP/Getty Images
Situasi di Mali Membaik
Mali mencatat perkembangan positif. Setelah pemilu kepresidenan dan operasi militer yang sukses menghalau pemberontak Islamis dari sebagian besar wilayah negara, banyak media yang tadinya dibredel kembali beroperasi. Kendati begitu perkembangan baru ini diwarnai oleh pembunuhan dua jurnalis asal Perancis, November 2913 silam.
Foto: AFP/Getty Images
Tren Positif di Kirgistan dan Nepal
Beberapa negara lain yang mengalami perbaikan dalam kebebasan pers adalah Kirgistan, di mana 2013 lalu tercatat lebih sedikit serangan terhadap jurnalis. Nepal yang juga berhasil mengurangi pengaruh politik terhadap media, tetap mencatat serangan dan ancaman terhadap awak pers. Loncatan terbesar dialami oleh Israel yang kini mendapat predikat "bebas" oleh Freedom House.
Foto: AFP/Getty Images
Terburuk di Asia Tengah
Freedom House menggelar studi di 197 negara. Setelah melalui proses penilaian, lembaga bentukan bekas ibu negara AS Eleanor Roosevelt itu memberikan status "bebas", "setengah bebas" dan "tidak bebas" buat masing-masing negara. Peringkat paling bawah didiami oleh Turkmenistan, Uzbekistan dan Belarusia. Sementara peringkat terbaik dimiliki oleh Belanda, Norwegia dan Swedia.
Foto: picture-alliance/dpa
10 foto1 | 10
Hong Kong: Bekas benteng kebebasan media
Hukuman bersejarah pada Kamis itu terjadi di tengah semakin ketatnya pembatasan terhadap kebebasan berekspresi di bekas koloni Inggris di bawah kendali Beijing.
Iklan
Kota ini, yang pernah dianggap sebagai salah satu tempat paling bebas di dunia untuk media, telah turun dari peringkat ke-18 pada 2002 menjadi peringkat ke-135 tahun ini dalam indeks kebebasan media global oleh Reporters Without Borders.
Kantor Stand News pernah digeledah dan asetnya dibekukan pada akhir 2021 di bawah undang-undang keamanan yang ketat yang diberlakukan oleh Beijing untuk menekan perbedaan pendapat.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Uni Eropa mengkritik putusan tersebut, menyerukan Hong Kong untuk "berhenti mengadili jurnalis."
"Putusan ini berisiko menghambat pertukaran ide yang pluralistik dan aliran informasi yang bebas, yang keduanya merupakan landasan dari kesuksesan ekonomi Hong Kong," kata seorang juru bicara Uni Eropa.
Sementara itu, juru bicara Departemen Luar Negeri AS Matthew Miller menulis di platform X bahwa hukuman tersebut adalah "serangan langsung terhadap kebebasan media" dan merusak reputasi internasional kota tersebut untuk keterbukaan.
Reporters Without Borders juga mengutuk putusan tersebut, mengatakan bahwa ini menciptakan "preseden berbahaya," sementara direktur Amnesty International untuk China, Sarah Brooks, mengatakan bahwa hukuman tersebut adalah "paku terakhir di peti mati" untuk kebebasan pers di kota tersebut.
Hongkong: Satu Negara, Dua Wajah
Ketika Cina berpesta, Hongkong diliputi protes. Sementara Beijing mempertontonkan kesatuan, teriakan kebebasan membahana di negeri jiran. Pada hari nasional Cina, Hongkong tampil kontras dengan nafas demokrasinya.
Foto: Reuters/Carlos Barria
Antara Patriotisme....
Cina mengibarkan bendera. Pada 1 Oktober 1949 Mao Zedong mendirikan Republik Rakyat Cina. Sejak saat itu setiap tahun penduduk negeri tirai bambu merayakan hari nasional dengan upacara seremonial yang mendemonstrasikan patriotisme, seperti pada upacara bendera di Hefei, Provinsi Anhui ini.
Foto: Reuters
…dan Protes
Namun ketika Cina berpesta, situasi di jalan-jalan kota Hongkong memanas. Ratusan ribu manusia tumpah ke jalan untuk memrotes reformasi sistem pemilihan umum dan pengaruh Beijing yang dianggap terlampau besar.
Foto: Reuters/Carlos Barria
Sehaluan....
Hongkong sebenarnya juga menggelar pesta menyambut kemerdekaan Cina. Kepala pemerintah Hongkong, Leung Chun Ying yang kontroversial itu pun turut diundang. Secara demonstratif ia dan tamu yang lain saling bersulang dengan sebotol Champagne. Selain itu mereka juga menyanyikan lagu nasional Cina.
Foto: Reuters/Bobby Yip
… dan bersilangan
Menurut tradisi, setiap pagi kota metropolis Asia itu mengibarkan bendera Hongkong dan Cina secara bersamaan. Namun kali ini pemimpin demonstrasi, Joshua Wong dan aktifis yang lain memunggungi bendera sambil menyilangkan tangan. Mereka menuntut pengunduran diri Leung Chun Ying karena dianggap berada di bawah pengaruh Beijing.
Foto: Reuters
Kekuatan militer…
Di ibukota Beijing, Partai Komunis Cina unjuk otot dengan mempertontonkan satuan elit militer Cina di lapangan Tiananmen. Upacara di jantung kekuasaan Komunis itu berlangsung menurut ritual yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Foto: ChinaFotoPress via Getty Images
… dan determinasi mahasiswa
Pada malam menjelang 1 Oktober para demonstran kembali berkumpul. Kebanyakan diliputi rasa lelah setelah bertahan selama berhari-hari dan hujan yang tidak henti-hetinya mengguyur dari langit. Namun begitu para mahasiswa tidak beranjak. Mereka mengaku tidak akan pergi sebelum tuntutannya dipenuhi.
Foto: Reuters/Carlos Barria
Dalam barisan...
Upacara nasional mengenang warisan Mao Zedong itu tidak cuma berlangsung di Beijing, tapi kota-kota besar lain di Cina. Dalam gambar ini sebuah satuan kepolisian sipil memberikan hormat di hadapan bendera negara di Nanjing. Tidak ada satupun yang bisa merusak kedamaian dan stabilitas di Cina, begitulah isyarat yang ingin didengungkan penguasa Cina di Beijing.
Foto: picture alliance/ZUMA Press
…dan kekacauan yang terorganisir
Sebaliknya di Hongkong ribuan mahasiswa memblokir jalan utama di wilayah perbelanjaan Mongkok. Jumlah demonstran diyakini akan terus membengkak. Pasalnya Hongkong memiliki tradisi meliburkan pegawai dan siswa di dua hari pertama bulan Oktober.
Foto: Reuters/Tyrone Siu
Keceriaan...
Penduduk Cina tidak mengetahui banyak tentang apa yang terjadi di Hongkong. Untuk itu pemerintah di Beijing telah lebih dulu memastikan agar tidak ada gangguan sama sekali. Lembaga sensor bertugas siang malam untuk memblokir laporan dari Hongkong. Sementara di media-media sosial, pemerintah menghapus ribuan komentar.
Foto: picture alliance/ZUMA Press
…dan penolakan dalam diam
Sebaliknya Hongkong menikmati kebebasan pers dan berpendapat. Namun demonstran mengkhawatirkan pengekangan menyusul meningkatnya pengaruh Beijing. Secara simbolis mereka mengenakan masker untuk mendemonstrasikan sikap mereka yang tidak akan pernah diam.
Foto: AFP/Getty Images/Philippe Lopez
Kekuatan negara...
Presiden Cina, Xi Jinping sebaliknya banyak menutup mulut atas aksi protes di Hongkong. Sang presiden terjebak dalam dilema, antara menindas demonstrasi atau menyetujui kompromi. Kini ia mengirimkan utusan khusus ke Hongkong untuk mencari jalan keluar.
Foto: Reuters
…dan suara mahasiswa
Mahasiswa memberikan ultimatum kepada pemerintah Hongkong hingga Kamis (2/10) untuk mencabut amandemen Undang-undang pemilihan dan pengunduran diri Leung Chun Ying. Jika tidak mereka mengancam akan memperluas aksi protes, antara lain dengan aksi mogok masal dan pendudukan kantor pemerintahan.
Foto: Reuters/Carlos Barria
12 foto1 | 12
Meningkatnya Swasensor
Dalam sebuah wawancara dengan DW, Tom Grundy, salah satu pendiri dan pemimpin redaksi situs berita independen Hong Kong Free Press, mengatakan bahwa putusan hakim tersebut akan berdampak besar pada apa yang dipublikasikan oleh media di Hong Kong.
"Setiap ruang berita sekarang akan terpengaruh dan harus memikirkan dengan matang tentang penulis yang mereka miliki di situs web mereka dan apa yang akan mereka tulis," katanya, menunjuk pada peringatan tentang kebebasan media yang dikeluarkan setelah vonis bersalah oleh beberapa organisasi hak asasi manusia, termasuk Amnesty International.
Dia menilai bahwa ancaman hukuman dapat menjadi lebih parah di Tengah vonis hasutan yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim. Itu berarti, Chung dan Lam bisa saja menjalani hukuman penuh yang akan dijatuhkan pada 26 September mendatang.