Taipan media pro-demokrasi Hong Kong, Jimmy Lai, divonis 12 bulan penjara karena ikut mengorganisir aksi demonstrasi melawan pemerintah. Vonis serupa dijatuhkan terhadap 4 aktivis lain, termasuk seorang tokoh sejarah.
Iklan
Satu per satu tokoh pro-demokrasi Hong Kong menjalani hukuman kurung. Jimmy Lai, pemilik harian independen Apple Daily, divonis bersalah melanggar ketertiban dan sebabnya dijebloskan ke penjara selama satu tahun.
Kepadanya didakwakan keterlibatan dalam aksi protes ilegal yang didaulat sebagai demonstrasi paling besar dalam sejarah Hong Kong. Menurut klaim organisator, sebanyak 1,7 juta manusia, hampir seperempat populasi kota, turun ke jalan di sepanjang 2019.
Lai termasuk sembilan aktivis pro demokrasi Hong Kong yang divonis bersalah karena ikut mengorganisir dan berpartisipasi dalam aksi demonstrasi. Bersama dengan taipan berusia 73 tahun itu, empat aktivis lain mendapat vonis penjara antara delapan hingga 18 bulan.
Salah seorangnya adalah Martin Lee, 82, yang dikenal sebagai "bapak demokrasi” di Hong Kong. Dia dulu ditunjuk Cina untuk ikut meracik konstitusi mini Hong Kong. Adapun terpidana lain adalah Margaret Ng yang berusia 73 tahun dan bekas anggota parlemen oposisi.
Keduanya diberikan hukuman kurung tanpa di bui dan baru berlaku jika terpidana mengulangi perbuatannya.
Iklan
Perlawanan "sampai akhir”
Gelombang demonstrasi 2019-20 di Hong Kong berulangkali memicu bentrok fisik dengan polisi anti huru hara. Aksi yang kebanyakan digalang kaum muda itu merupakan perlawanan paling sengit terhadap kekuasaan Cina sejak dikembalikan oleh Inggris pada 1997.
Direktur Asia-Pasifik Amnesty Internasional, Yamini Mishra, menilai vonis pengadilan hanya membuktikan niat kuat pemerintah untuk melumat semua bentuk oposisi. "Setelah menangkap tokoh oposisi paling populer di Hong Kong melalui UU Keamanan Nasional, pemerintah sekarang menyapu sisa aktivis.”
Ruang sidang dibanjiri pendukung pro-demokrasi ketika sembilan terdakwa menerima vonis masing-masing. Ketika terpidana diseret keluar, para pengunjung meneriakkan "Kami menudkungmu sampai akhir.”
Dalam pernyataannya sebelum persidangan, Ng sempat menunjukkan semangat perlawanan. "Tidak ada hak yang lebih berharga bagi warga Hong Kong ketimbang kebebasan berekspresi dan berdemonstrasi,” katanya.
Dia mengaku akan tetap mendukung mereka yang, "mengeskpresikan ketidakpuasannya secara kolektif, sebagai senjata terakhir.”
"Saya berdiri sebagai pengabdi hukum yang terutama tunduk pada rakyat,” imbuh Ng yang disambut tepuk tangan khalayak di ruang sidang.
Adapun bekas anggota parlemen oposisi lain, Lee Cheuk-yan, mengaku siap "menerima keputusan hakim dan merasa bangga bisa berjalan bersama warga Hong Kong yang lain di jalur menuju demokrasi,” kata dia.
"Kita akan berjalan bersama-sama menerobos badai, bahkan di dalam kegelapan,” tutur Lee yang lalu divonis 12 bulan penjara.
rzn/hp (rtr,afp)
Kasih Sayang Tuhan di Tengah Demonstrasi Hong Kong
Pendeta Alan Keung terjun langsung ke dalam protes di wilayah administratif khusus Cina ini. Ia tawarkan segala bantuan yang dibutuhkan termasuk doa, ceramah, dan pembasuh mata akibat gas air mata.
Foto: Reuters/K. Kyung-Hoon
Dari mimbar turun ke jalan
Alan Keung adalah salah satu dari beberapa pendeta yang mencoba membantu para demonstran di Hong Kong. Sering kali ia melakukan ini di tengah suasana yang memanas. Dalam foto, terlihat ia menenangkan seorang pejalan kaki yang marah dan memaki pengunjuk rasa karena memblokade jalan. "Misi saya adalah membawa cinta kepada orang banyak," ujar Keung.
Foto: Reuters/K. Kyung-Hoon
Kenakan helm, rompi keselamatan, dan kerah pendeta
Agar mudah dikenali dan untuk perlindungannya, Keung menggambar tanda salib di helmnya. Dia juga mengenakan rompi berwarna kuning neon. Laki-laki berusia 28 tahun itu telah bergabung dengan tim penolong yang bekerja sukarela. Mereka utamanya membantu orang untuk mencuci mata mereka dari gas air mata. Jika ada yang butuh dukungan spiritual, Keung juga menyediakan waktu untuk berdoa singkat.
Foto: Reuters/K. Kyung-Hoon
Melawan rasa sakit
Bersama relawan lain, Keung membantu seorang pejalan kaki yang terkena gas air mata untuk mencuci matanya. Polisi Hong Kong menggunakan gas air mata, semprotan merica, dan meriam air untuk mengatasi kerusuhan. Sedangkan demonstran menyerang petugas keamanan dengan alat pembakar serta busur dan panah.
Foto: Reuters/K. Kyung-Hoon
Pertolongan untuk semua
Ketika sedang bertugas, Keung tidak berada di pihak mana pun. "Kadang-kadang kami membantu polisi yang terluka dan membutuhkan pertolongan." Pada bulan Juli, setelah terjadinya serangan di stasiun kereta, kelompok relawannya membantu pasukan keamanan dan melindungi mereka dari penumpang yang marah.
Foto: Reuters/K. Kyung-Hoon
Di antara dua kubu
Yang dikerjakan Keung bukannya tanpa bahaya. Dia sendiri sudah pernah merasakan pedihnya gas air mata. Baru-baru ini, kerusuhan pecah di Hong Kong, terutama di Universitas Politeknik. Polisi mengancam akan menggunakan peluru tajam. Sebelum pemilu, pemerintah mengawasi situasi dengan ketat untuk memastikan pemilihan lokal yang dijadwalkan pada akhir pekan (24/11) bisa berlangsung aman.
Foto: Reuters/K. Kyung-Hoon
"Bukan tipe orang yang tinggal diam di gereja"
Keung telah menjadi pendeta di sebuah komunitas yang terdiri dari sekitar 30 orang di wilayah timur laut Hong Kong selama tujuh tahun. "Saya bukan seseorang yang hanya diam di gereja dan berbicara tentang kemanusiaan, keadilan, dan moralitas tetapi mengabaikan apa yang terjadi di luar," katanya. "Saya ingin berada di tengah massa saat dibutuhkan."
Foto: Reuters/K. Kyung-Hoon
"Kalian masing-masing terlibat"
Pengalaman dan pelajaran yang didapat dalam protes itu, kadang juga terbawa di dalam khutbahnya. Di sini, ia bersama para siswa seusai waktu berdoa di atap gedung sebuah gereja, mengatakan: "Jangan kalian merasa kalian bukan bagian dari (protes) itu," katanya."Masing-masing dari kalian adalah masa depan Hong Kong dan dunia, kalian masing-masing terlibat." (ae/rap)