RUU baru ini bertujuan untuk meningkatkan otoritas pemerintah dalam menangani potensi ancaman terhadap pemerintah. UU ini nantinya akan berikan hukuman penjara hingga seumur hidup bagi pengkhianatan dan pemberontak.
Iklan
Pemerintah Hong Kong merilis rancangan undang-undang (RUU) keamanan nasional baru pada Jumat (08/03) yang mengusulkan hukuman penjara hingga seumur hidup untuk tindak pelanggaran seperti pengkhianatan dan pemberontakan.
Pejabat Tinggi Eksekutif Hong Kong John Lee pada Kamis (07/03) menyerukan agar RUU tersebut disahkan "secepat mungkin".
Aturan ini diperkirakan akan lolos dengan mudah dalam beberapa minggu, di mana parlemen Hong Kong dipenuhi oleh loyalis Beijing setelah perombakan pemilu.
Kekhawatiran atas kebebasan
Para kritikus telah memperingatkan bahwa undang-undang tersebut akan membuat kerangka hukum Hong Kong semakin mirip dengan Cina. Pada Jumat (08/03), anggota parlemen Cina juga sedang membuat undang-undang keamanan nasional yang baru.
Iklan
UU ini mencakup hukuman hingga penjara seumur hidup bagi pengkhianatan. UU ini juga mengusulkan hukuman 20 tahun penjara untuk pelanggar spionase dan 10 tahun untuk pelanggaran yang terkait dengan rahasia negara dan penghasutan.
Pemerintah Hong Kong telah menyatakan bahwa beberapa negara Barat juga telah memiliki undang-undang serupa, dan aturan ini diperlukan untuk menutup kesenjangan dalam sistem keamanan nasional, yang diperkuat pada 2020 dengan undang-undang keamanan nasional lain yang diberlakukan langsung oleh Cina.
Uni Eropa sebelumnya telah menyatakan "keprihatinan besar" atas ketentuan UU tersebut mengenai "campur tangan eksternal".
Menurut Hukum Dasar Hong Kong, pemerintah perlu memberlakukan undang-undang keamanan nasional. Upaya sebelumnya untuk meloloskan RUU itu mengakibatkan protes massal pada 2019, di mana setelahnya undang-undang keamanan diberlakukan pada tahun 2020 untuk menindak perbedaan pendapat.
Pekerja Seni Hong Kong dan Cina yang Dipersekusi Beijing
Seniman Hong Kong yang mengekspresikan sikap pro-demokrasi, kreativitasnya dibungkam, sama seperti para musisi di Cina. Berikut daftar seniman yang jadi target persekusi Beijing.
Foto: Richard Shotwell/Invision/AP/picture alliance
Menamakan diri ‘pemadam kebakaran budaya’
Kacey Wong baru saja hengkang dari Hong Kong ke Taiwan, dengan alasan kurangnya ruang untuk ekspresi artistik. Terkenal dengan seni pertunjukan satire politiknya, musisi lulusan Cornell ini memilih isu seperti Pembantaian Tiananmen atau sensor di Cina. Dalam konser “The Patriot” tahun 2018, ia menyanyikan lagu kebangsaan Cina di dalam jeruji besi berwarna merah.
Foto: ANTHONY WALLACE/AFP
Lagu tentang pilihan
Pendukung gerakan pro-demokrasi Hong Kong, Anthony Wong (kiri) menyanyikan lagu “A Forbidden fruit per day” pada saat pemilu 2018. “Lagu ini menceritakan pilihan, entah masyarakat punya pilihan atau tidak,” ucapnya. Ia ditangkap aparat belum lama ini dan pejabat Komisi independen anti Korupsi Hong Kong mendakwanya karena “perilaku korup.” Wong terancam hukuman penjara cukup lama.
Foto: Alvin Chan/SOPA/Zuma/picture alliance
Tirani tidak bisa mengalahkan kreativitas
Penyanyi Kanton Pop, aktris, dan aktivis pro-demokrasi Denise Ho masuk daftar hitam karena bergabung dengan Gerakan Payung Hong Kong 2014. Saat TEDTalk tahun 2019 dia mengatakan, tirani tidak akan bisa mengalahkan kreativitas. “Apakah itu protes turun ke jalan yang menciptakan gejolak baru atau saat warga menemukan kembali jati dirinya, sistem butuh waktu untuk melawannya dengan mencari solusi.”
Foto: Asanka Ratnayake/Getty Images
Dianugerahi Nobel Perdamaian saat di penjara
Mendiang Liu Xiaobo dianugerahi Nobel Perdamaian tahun 2010 atas “perjuangan panjang dan tanpa kekerasan demi hak asasi manusia di Cina” saat ia menjalani masa tahanan keempatnya. Dia adalah penulis, kritikus sastra, aktivis hak asasi manusia, dan filsuf yang ditangkap berkali-kali, dicap sebagai pembangkang Cina, dan dikenal sebagai tahanan politik.
Foto: picture-alliance/dpa/L. Xia
Seni sebagai alat bantu untuk kebebasan
Seniman kontemporer dan pembangkang politik Ai Weiwei dipenjara tahun 2011 karena dituduh mengemplang pajak. Dibebaskan setelah 81 hari, dan diorama ini menggambarkan kisah menyedihkan dari penahanannya. Ai menjelaskan makna karyanya: “Jika karya saya bermakna, itu adalah alat kebebasan. Jika saya melihat korban otoritarianisme, saya adalah tentara pembela kebebasan mereka.”
Foto: Federico Gambarini/dpa/picture alliance
Saat kebenaran jadi tabu
Pembuat film dan penulis Zhou Qing harus membayar mahal karena menulis hal tabu. Saat wawancara 2011 lalu, dia mengatakan “di Cina mengungkap kebenaran membuat orang menderita selamanya. Warga biasa yang tahu dan menyebarkannya akan kehilangan keluarga atau pekerjaan. Penulis yang mengungkap kebenaran diadili dengan ancaman penjara. Pejabat yang memilih kebenaran, kemungkinan kehilangan nyawanya.”
Foto: Ai Weiwei/Zhou Qing
Gunakan budaya pop lawan propaganda
Lahir dan besar di Shanghai, Badiucao beken sebagai kartunis politik, seniman, dan aktivis yang "pergi belajar" ke Australia tahun 2009 dan menetap di sana. Dia menggunakan nama penanya untuk melindungi identitasnya. Ia melontarkan pernyataan politiknya berupa penggabungan lelucon politik, satir, dan budaya pop dengan gambar khas propaganda partai komunis. Presiden Xi Jinping sering jadi objeknya.
Foto: Libor Sojka/Ctk/dpa/picture alliance
Dari pahlawan jadi musuh negara
Mulanya Chloe Zhao dielu-elukan media resmi Cina sebagai “kebanggan Cina” setelah menyabet predikat Sutradara Terbaik versi Golden Globe 2021. Namun, kemenangan Oscar ini tidak lagi dianggap, dan pujian di media sosial juga dihapus. Spekulasinya, saat wawancara dengan majalah Filmmaker tahun 2013, dia menghina Cina dengan mendeskrpsikan Cina sebagai “negara dengan kebohongan di mana-mana.” (mh/as)
Foto: Richard Shotwell/Invision/AP/picture alliance
Pemerintah negara bekas jajahan Inggris ini mengatakan bahwa hal itu hanya akan memengaruhi "minoritas yang sangat kecil" dari penduduknya.
Beberapa pemangku kepentingan juga memantau perkembangan ini dengan seksama. Beberapa kritikus mengatakan bahwa hal ini akan menyebabkan penurunan lebih lanjut pada kebebasan sipil yang dinikmati oleh warga Hong Kong.
Beberapa orang dari komunitas bisnis tidak senang dengan keputusan untuk mempercepat persetujuan tersebut.
"Fakta bahwa mereka terburu-buru mengesahkan pasal 23 menunjukkan kekhawatiran akan adanya penolakan dari masyarakat. Komunitas bisnis tidak akan senang kecuali ada pagar pembatas yang melindungi hak-hak individu," ungkap Andrew Collier, direktur pelaksana di Orient Capital Research kepada kantor berita Reuters.