1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hong Kong Vonis Penjara 45 Aktivis Pro-Demokrasi

20 November 2024

Puluhan aktivis terkenal di Hong Kong dijatuhi hukuman penjara hingga 10 tahun karena Undang-Undang (UU) yang diberlakukan Cina. UU itu telah menghancurkan gerakan pro-demokrasi yang pernah berkembang pesat.

Susana di luar persidangan 45 aktivis pro-demokrasi di Hong Kong
45 aktivis pro-demokrasi dijatuhi hukuman penjara hingga sepuluh tahunFoto: Peter Parks/AFP/Getty Images

Pengadilan Tinggi Hong Kong pada Selasa (19/11) menjatuhkan hukuman penjara hingga 10 tahun kepada 45 aktivis pro-demokrasi dalam persidangan keamanan nasional bersejarah yang memicu kecaman internasional.

Akademisi hukum Benny Tai, yang dianggap sebagai otak di balik rencana tersebut, menerima hukuman terpanjang.

Ini adalah kasus keamanan nasional terbesar di Hong Kong di bawah Undang-Undang (UU) yang diberlakukan Cina, yang menghancurkan gerakan pro-demokrasi yang pernah berkembang pesat.

Para aktivis ini dituntut pada 2021 atas peran mereka dalam pemilu pendahuluan tidak resmi berdasarkan undang-undang keamanan nasional pada 2020.

Mereka dituduh berupaya melumpuhkan pemerintahan Hong Kong dan memaksa pemimpin kota untuk mengundurkan diri. Para terdakwa ini mengaku bersalah atau dinyatakan bersalah atas konspirasi untuk melakukan subversi oleh tiga hakim yang disetujui pemerintah.

Tuai kecaman Internasional

Australia menyatakan "keprihatinan mendalam" atas hukuman yang dijatuhkan kepada para aktivis pro-demokrasi di bawah undang-undang keamanan nasional yang ketat, termasuk terhadap warga negara Australia Gordon Ng.

Menteri Luar Negeri Australia, Penny Wong, mengatakan negaranya menyatakan "keberatan kuat" terhadap "penerapan luas undang-undang keamanan nasional yang berlanjut."

AS juga mengecam putusan tersebut.

"Pemerintah AS mengecam terus berlanjutnya penuntutan terhadap individu di Hong Kong yang menyuarakan pandangan politik mereka... menjalankan kebebasan berekspresi," kata Roxie Houge, kepala urusan politik dan ekonomi di konsulat AS di Hong Kong.

Kantor kepresidenan Taiwan menyuarakan penentangan terhadap putusan tersebut, dengan mengatakan bahwa demokrasi dan kebebasan adalah nilai universal, dan Taiwan akan terus mendukung Hong Kong.

Sementara itu, Cina mengecam negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, atas kritik mereka terhadap putusan tersebut. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina Lin Jian mengatakan bahwa Cina mendukung Hong Kong dalam menjaga keamanannya.

Beberapa negara "mengabaikan fakta bahwa mereka menggunakan prosedur hukum untuk menjaga keamanan nasional mereka sendiri, tetapi secara sewenang-wenang mengutuk pengadilan Hong Kong yang menerapkan Undang-Undang Keamanan Nasional," kata Lin. "Perilaku semacam ini sangat mencemarkan dan melanggar semangat supremasi hukum."

Hong Kong masih dalam 'perjuangan untuk kebebasan'

Nathan Law, mantan anggota parlemen Hong Kong yang kini menjadi aktivis pro-demokrasi, menyebut putusan tersebut sebagai pukulan telak bagi rakyat Hong Kong.

"Kita harus memahami bahwa ini adalah persidangan yang tidak adil. Mereka diadili di bawah pengadilan keamanan nasional yang hakimnya dipilih langsung oleh pemerintah, dan undang-undangnya ditulis oleh Beijing, bukan oleh legislatif Hong Kong," katanya kepada DW.

"Undang-undang ini dirancang untuk memenjarakan aktivis demokrasi yang hanya menjalankan hak mereka," katanya.

Ketika ditanya apakah ini menandai berakhirnya gerakan pro-demokrasi di Hong Kong, seperti yang disarankan beberapa orang, Law mengatakan bahwa gerakan ini hanya beradaptasi dengan iklim politik yang lebih keras.

"Saat ini, gerakan demokrasi di Hong Kong tidak menunjukkan aksi besar-besaran atau pengumpulan massa. Gerakan ini telah berubah menjadi cara yang lebih halus," katanya. "Saya masih percaya bahwa perjuangan untuk kebebasan dan demokrasi tetap ada di hati rakyat Hong Kong."

rs/pkp  (Reuters, AP, AFP)