Dalam laporan tahunan World Report 2020, Human Rights Watch (HRW) terutama menyoroti situasi hak asasi di Cina. Tadinya laporan ini akan diperkenalkan di Hong Kong, tapi Cina menolak memberikan visa kepada Direktur HRW.
Iklan
Pimpinan Human Rights Watch (HRW) Kenneth Roth sudah bersiap-siap bertolak ke Hong Kong, untuk memperkenalkan laporan tahunan terbarunya, World Report 2020. Setiap tahun, HRW mengeluarkan laporan situasi hak asasi manusia di lebih 90 negara. Tahun ini, negara yang jadi sorotan adalah Cina.
Tapi Cina menolak memberikan visa kepada Kennth Roth, tanpa menyebut apa alasannya. Di akun Twitternya Kenneth Roth mengeritik keputusan otoritas Cina: "Beijing sebaiknya mendengar, bukannya menyensor."
Laporan HRW mengenai Cina memberikan gambaran yang suram. Negara itu melakukan "Serangan intensif terhadap sistem hak asasi global," tulis Kennth Roth pada kata pengantar laporan itu.
Teknologi sebagai instrumen utama penindasan
Menurut laporan HRW, Cina punya strategi jelas untuk meredam tuntutan hak asasi manusia, yaitu dengan hadir sebagai mitra dagang di berbagai bagian dunia dan bersamaan dengan itu melakukan sensor secara global. Kombinasi strategi itu bisa melenyapkan standar-standar HAM yang selama ini diakui secara internasional. Karena Cina akan melarang mitra dagangnya mengkritik situasi HAM di dalam negeri.
Sistem pengawasan menggunakan teknologi itu dilengkapi lagi dengan pengawasan oleh aparat. Ada satu juta petugas dan anggota Partai Komunis yang dikerahkan untuk mendatangi rumah-rumah keluarga Uighur, bahkan "untuk beberapa waktu tinggal bersama mereka" dan mengawasi kegiatan mereka, misalnya ketika warga beribadah.
"Beijing ingin mengganti sistem HAM internasional"
Pelanggaran HAM secara masif memang tidak hanya terjadi di Cina, melainkan juga di banyak tempat lain seperti di Suriah dan Yaman. Namun ada perbedaan besar: Beijing menggunakan kekuatan ekonominya sebagai instrumen. Banyak perusahaan asing di Cina yang harus mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan Partai Komunis untuk bisa berinvestasi. Negara-negara yang mengkritik Cina juga harus menghadapi risiko tidak mendapat akses lagi ke pasar domestik, yang merupakan 16 persen perekonomian dunia.
Dalam laporan tahunannya, HRW juga mengkritik negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Negara-negara Uni Eropa sekarang cenderung bungkam terhadap Cina dan melaksanakan apa yang disebut "diplomasi senyap". Banyak pemimpin Barat yang berkunjung ke Cina dan mengatakan, mereka menyinggung juga soal HAM di belakang pintu tertutup. Namun orientasi para pemimpin barat yang utama adalah membuat kesepakatan dagang.
HRW mengimbau negara-negara barat agar berhenti menerapkan standar ganda dalam isu hak asasi manusia. Standar-standar hak asasi harus dipertahankan, juga ketika berhadapan dengan adidaya ekonomi seperti Cina. "Yang harus disadari adalah, pemerintah Cina sedang bekerja untuk "melenyapkan sistem hak asasi internasional" dan menggantinya dengan sistem yang lain.
hp/rap
Uighur - Diskriminasi di Cina dan Terdesak di Turki
Akibat banyaknya tekanan dari Cina sebagian warga Uighur pindah ke Turki. Awalnya itu tampak seperti solusi bagus, tetapi kini mereka terdesak karena tidak mendapat izin tinggal dan tidak dapat memperbarui paspor Cina.
Foto: Reuters/M. Sezer
Kritik terhadap Cina
Dunia internasional telah berkali-kali mengeritik Cina karena mendirikan sejumlah fasilitas yang digambarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai tempat penahanan, di mana lebih sejuta warga Uighur dan warga muslim lainnya ditempatkan. Beijing menyatakan, langkah itu harus diambil untuk mengatasi ancaman dari militan Islam. Foto: aksi protes terhadap Cina di halaman mesjid Fatih di Istanbul.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Tekanan ekonomi
Pada foto nampak seorang perempuan menikmati santapan yang dihidangkan restoran Uighur di Istanbul, Turki. Pemilik restoran, Mohammed Siddiq mengatakan, restorannya mengalami kesulitan karena warga Uighur biasanya menyantap makanan di rumah sendiri, dan warga Turki tidak tertarik dengan masakan Uighur.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Suara perempuan Uighur
Gulbhar Jelilova adalah aktivis HAM dari Kazakhstan, dari etnis Uighur. Ia sempat ditahan selama 15 bulan di tempat penahanan yang disebut Cina sebagai "pusat pelatihan kejuruan." Ia mengatakan, setelah mendapat kebebasan ia mendedikasikan diri untuk menjadi suara perempuan Uighur yang menderita.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Mencari nafkah di Turki
Dua pria Uighur tampak bekerja di toko halal di distrik Zeytinburnu, di mana sebagian besar warga Turki di pengasingan bekerja. Ismail Cengiz, sekjen dan pendiri East Turkestan National Center yang berbasis di Istanbul mengatakan, sekitar 35.000 warga Uighur tinggal di Turki, yang sejak 1960 menjadi "tempat berlabuh" yang aman bagi mereka.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Merindukan kampung halaman
Gulgine Idris, bekerja sebagai ahli rpijat efleksi di Istanbul. Ketika masih di Xinjiang, Cina, ia bekerja sebagai ahli ginekolog. Kini di tempat prakteknya ia mengobati pasien perempuan dengan pengetahuan obat-obatan dari Timur. Turki adalah negara muslim yang teratur menyatakan kekhawatiran tentang situasi di Xinjiang. Bahasa yang digunakan suku Uighur berasal usul sama seperti bahasa Turki.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Tekanan bertambah sejak beberapa tahun lalu
Sexit Tumturk, ketua organisasi HAM National Assembly of East Turkestan, katakan, warga Uighur tidak hadapi masalah di Turki hingga 3 atau 4 tahun lalu. Tapi Turki pererat hubungan dengan Cina, dan khawatir soal keamanan. Pandangan terhadap Uighur juga berubah setelah sebagian ikut perang lawan Presiden Suriah Bashar al Assad, yang berhubungan erat dengan Cina.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Kehilangan orang tua
Anak laki-laki Uighur yang kehilangan setidaknya salah satu orang tua mengangkat tangan mereka saat ditanya dalam pelajaran agama di madrasah di Kayseri. Sekolah itu menampung 34 anak. Kayseri telah menerima warga Uighur sejak 1960-an, dan jadi tempat populasi kedua terbesar Uighur di Turki. Sejak keikutsertaan warga Uighur dalam perang lawan Assad, Cina memperkeras tekanan terhadap mereka.
Foto: Reuters/Murad Sezer
Mengharapkan perhatian lebih besar
Sebagian warga Uighur di Turki berharap pemerintah Turki lebih perhatikan kesulitan mereka, dan memberikan izin bekerja, juga sokongan dari sistem asuransi kesehatan. Foto: seorang anak perempuan menulis: "Kami, anak Turkestan, mencintai kampung halaman kami" dengan bahasa Uighur, di sebuah TK di Zeytinburnu. Warga Uighur di pengasingan menyebut kota Xinjiang sebagai Turkestan Timur.
Foto: Reuters/M. Sezer
Situasi terjepit
Warga Uighur juga tidak bisa memperbarui paspor mereka di kedutaan Cina di Turki. Jika kadaluarsa mereka hanya akan mendapat dokumen yang mengizinkan mereka kembali ke Cina, kata Munevver Ozuygur, kepala East Turkestan Nuzugum Culture and Family Foundation. (Sumber: reuters, Ed.: ml/hp)