HRW Desak Indonesia Buka Papua Buat Jurnalis Asing
11 November 2015
Human Rights Watch, menggugat keengganan pemerintah Indonesia mempermudah akses peliputan buat jurnalis asing di Papua. Langkah tersebut dicurigai untuk menutupi berbagai kasus di ufuk timur Indonesia itu.
Iklan
Laporan yang dirilis Human Rights Watch perihal Papua tidak terlalu tebal. Cuma berisikan 75 halaman. Tapi di dalamnya, organisasi HAM tersebut mempertanyakan apakah Indonesia ingin "menyembunyikan sesuatu" ketika melarang akses wartawan asing ke pulau di ufuk timur tersebut.
"Kami melihat elemen di dalam pemerintahan Indonesia yang enggan mewujudkan komitmen Presiden Joko Widodo untuk membuka Papua," kata Phelim Kine, Wakil Direktur Asia HRW. Menurutnya ketiadaan perintah tertulis menciptakan "zona abu-abu" yang dimanfaatkan oleh aparat untuk melanjutkan kebijakan represif.
Akses kepada jurnalis asing untuk masuk ke Papua sebenarnya terbuka, kendati membutuhkan serangkaian surat izin yang kerap dipersulit. "Mereka masih harus minta surat jalan ke Badan Intelkam Polri, juga masih harus memberitahu jadwal, tujuan, tempat dan waktu peliputan di Papua ke Kementerian Luar Negeri," ujar aktivis HRW, Andreas Harsono kepada BBC.
Laporan HRW itu dibuat dengan mewawancara 107 wartawan, editor dan lembaga swadaya masyarakat yang beroperasi di Papua. Organisasi yang bermarkas di New York, AS, itu juga menemukan pembatasan akses terhadap jurnalis asing telah berlaku sejak 25 tahun.
Menurut Andreas Harsono, pemerintah Indonesia bersikap "paranoid" terhadap jurnalis asing. Dengan membatasi akses peliputan, pemerintah dicurigai ingin menutupi berbagai kasus seperti "pemberontakan, korupsi, pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan."
Andreas juga menuding aparat keamanan menyusupi redaksi harian lokal dan mengintimidasi wartawan yang melakukan peliputan. Sebab itu, Human Rights Watch mendesak agar Presiden Joko Widodo menerbitkan instruksi presiden yang menjamin akses tak terbatas buat jurnalis asing yang ingin meliput ke Papua.
rzn/yf (dari berbagai sumber)
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
TNI banyak berjasa menyatukan Indonesia. Tapi kiprah mereka di tiga wilayah justru membuktikan sebaliknya. Pendekatan keamanan yang dianut mabes di Cilangkap justru mendorong separatisme dan mengancam keutuhan NKRI
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
Ancaman Terhadap NKRI?
Presiden Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang memahami perlunya perubahan di tubuh TNI. Ia memerintahkan pergeseran paradigma di Papua, "bukan lagi pendekatan keamanan represif, tetapi diganti pendekatan pembangunan dengan pendekatan kesejahteraan." Diyakini, kiprah TNI menjaga kesatuan RI justru banyak melahirkan gerakan separatisme.
Foto: Reuters/Beawiharta
Api di Tanah Bara
Sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang banyak memicu keraguan, Papua berada dalam dekapan militer Indonesia. Sejak itu pula Jakarta menerapkan pendekatan keamanan buat memastikan provinsi di ufuk timur itu tetap menjadi bagian NKRI. Tapi keterlibatan TNI bukan tanpa dosa. Puluhan hingga ratusan kasus pelanggaran HAM dicatat hingga kini.
Foto: T. Eranius/AFP/Getty Images
Rasionalisasi Pembunuhan
Tudingan terberat ke arah mabes TNI di Cilangkap adalah rasionalisasi pembunuhan warga sipil di Papua. Theys Hiyo Eluay yang ditemukan mati tahun 2001 silam adalah salah satu korban. Pelakunya, anggota Komando Pasukan Khusus, mendapat hukuman ringan berkat campur tangan bekas Kepala Staf TNI, Ryamizad Ryacudu yang kini jadi Menteri Pertahanan. "Pembunuh Theys adalah pahlawan," katanya saat itu
Foto: Getty Images/AFP/T. Eranius
Merawat Konflik, Menjaga Kepentingan
Berulangkali aksi TNI memprovokasi konflik dan kerusuhan. Desember 2014 silam aparat keamanan menembak mati empat orang ketika warga Paniai mengamuk lantaran salah satu rekannya dipukuli hingga mati oleh TNI. Provokasi berupa pembunuhan juga dilakukan di beberapa daerah lain di Papua. Faktanya nasionalisme Papua berkembang pesat akibat tindakan represif TNI, seperti juga di Aceh dan Timor Leste
Foto: picture-alliance/dpa
Seroja Dipetik Paksa
Diperkirakan hingga 200.000 orang meninggal dunia dan hilang selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor Leste. Sejak operasi Seroja 1975, Timor Leste secara praktis berada di bawah kekuasaan TNI, meski ada upaya kuat Suharto buat membangun pemerintahan sipil.
Foto: picture-alliance/dpa
Petaka di Santa Cruz
Kegagalan pemerintahan sipil Indonesia di Timor Leste berakibat fatal. Pada 12 November 1991, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut referendum dan kemerdekaan dijawab dengan aksi brutal oleh aparat keamanan. Sebanyak 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 lainnya menghilang.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Kegelapan
Sejak pembantaian tersebut Indonesia mulai dihujani tekanan internasional buat membebaskan Timor Leste. Australia yang tadinya mendukung pendudukan, berbalik mendesak kemerdekaan bekas koloni Portugal itu. PBB pun mulai menggodok opsi misi perdamaian. Akhirnya menyusul arus balik reformasi 1998, penduduk Timor Leste menggelar referendum kemerdekaan tahun 1999 yang didukung lebih dari 70% pemilih.
Foto: picture-alliance/dpa/Choo
Serambi Berdarah
Pendekatan serupa dianut TNI menyikapi kebangkitan nasionalisme Aceh, meski dengan akhir yang berbeda. Perang yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka, dijawab dengan teror terhadap pendukung dan simpatisan organisasi pimpinan Hasan Tiro itu. Namun berbagai aksi keji TNI justru memperkuat kebencian masyarakat Aceh terhadap pemerintah Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Daerah Operasi Militer
Dua kali Jakarta mendeklarasikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, antara 1990-1998 dan 2003-2004. Amnesty International mencatat, perang di Aceh sedikitnya menelan 15.000 korban jiwa, kebanyakan warga sipil. TNI dituding bertanggungjawab dalam banyak kasus pelanggaran HAM, antara lain penyiksaan dan pemerkosaan, tapi hingga kini tidak ada konsekuensi hukum.
Foto: picture-alliance/dpa/Saini
Alam Berbicara
Perang di Aceh berakhir dramatis. Di tengah eskalasi kekerasan pada masa darurat militer, bencana alam berupa gempa bumi dan Tsunami menghantam provinsi di ujung barat Indonesia itu. Lebih dari 100.000 penduduk tewas. Tidak lama kemudian semua pihak yang bertikai sepakat berdamai dengan menandatangani perjanjian di Helsinki, 2005.