HRW: Israel Terapkan 'Apartheid' terhadap Rakyat Palestina
27 April 2021
Organisasi hak asasi Human Rights Watch (HRW) menuduh Israel menerapkan kebijakan "kejahatan apartheid" dan melakukan penganiayaan terhadap rakyat Palestina dan minoritas etnis Arab lainnya. Israel menolak tuduhan itu.
Iklan
Organisasi hak asasi manusia internasional, Human Rights Watch (HRW), yang berbasis di New York pada Selasa (27/04) merilis laporan setebal 213 halaman yang berisikan tindakan dan kebijakan Israel merupakan praktik apartheid sebagaimana didefinisikan dalam hukum internasional.
Dalam laporannya, HRW juga menyebutkan bahwa penyitaan tanah milik Palestina untuk pemukiman Yahudi merupakan contoh kebijakan kejahatan apartheid dan tindakan penganiayaan. "Di seluruh Israel dan (wilayah Palestina), otoritas Israel berniat mempertahankan dominasi atas Palestina dengan melakukan kontrol atas tanah dan demografi untuk kepentingan orang Israel Yahudi," kata laporan itu.
"Atas dasar ini, laporan HRW menyimpulkan bahwa para pejabat Israel telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa kebijakan apartheid dan penganiayaan," sebagaimana didefinisikan dalam Konvensi Apartheid 1973 dan Statuta Roma 1998.
Foto Kontras Duka dan Tawa Antara Gaza dan Israel
Ketika Israel merayakan 70 tahun kemerdekaan dan pemindahan kedutaan besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem, penduduk di Jalur Gaza menghadapi kematian di ujung laras senapan.
Foto: Reuters/M. Salem
Amarah Menjelang Nakba
Sebanyak 60 demonstran tewas saat mengikuti aksi protes terhadap pembukaan kedutaan besar Amerika Serikat di Yerusalem. Penduduk di Jalur Gaza menyantroni perbatasan untuk menolak kebijakan Presiden Donald Trump yang mengubur klaim Palestina atas Yerusalem. Pemindahan tersebut bertepatan dengan peringatan 70 tahun pendirian negara Israel yang sekaligus menandakan hari pengusiran buat Palestina
Foto: Reuters/I. Abu Mustafa
Goretan Trump di Yerusalem
Ketika korban pertama di Jalur Gaza mulai berjatuhan, penasehat senior Gedung Putih Ivanka Trump dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin meresmikan gedung baru kedutaan AS di Yerusalem. Acara yang dihadiri oleh pejabat tinggi Israel dan sejumlah negara lain itu berlangsung hangat dan meriah.
Foto: Reuters/R. Zvulun
Termakan Jebakan Hamas?
Israel menuding organisasi teror Hamas sengaja menjebak warga untuk mendorong bentrokan yang menelan korban jiwa. Di antara korban tewas terdapat seorang bocah perempuan meregang nyawa usai terpapar gas air mata. Bentrokan di perbatasan menyisakan lebih dari 2.700 korban luka. Organisasi Palang Merah mengkhawatirkan kapasitas rumah sakit di Gaza tidak mencukupi.
Foto: Reuters/M. Salem
Pesta dan Elegi Seputar Yerusalem
Ketika warga Palestina meratapi Yerusalem, kelompok geng kendaraan bermotor di Israel merayakan pengakuan Amerika Serikat atas ibukotanya tersebut. Status Yerusalem yang sejak lama bermasalah diklaim sebagai ibukota abadi oleh penganut kedua agama. Bahkan Arab Saudi yang notabene sekutu AS di kawasan mengritik kebijakan Trump memindahkan kedutaan besar Amerika.
Foto: Reuters/A. Awad
Hari Paling Berdarah
Aksi demonstrasi pada hari Senin (14/5) di Gaza merupakan hari tunggal paling berdarah sejak perang Israel dan Hamas pada 2014 lalu. Dari 2.700 korban luka, lebih dari 1.300 terkena peluru dan 130 berada dalam kondisi kritis. Termasuk korban yang tewas adalah delapan anak di bawah umur, klaim Kementerian Kesehatan Palestina.
Foto: Reuters/I. Abu Mustafa
Bertabur Puji dan Sanjungan
Selama acara pembukaan kedutaan AS, perwakilan kedua negara saling melemparkan sanjungan dan pujian. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu misalnya menilai langkah presiden Trump sebagai sebuah "keberanian." Sementara menantu Trump, Jared Kushner, mengatakan suatu saat umat manusia akan membaca sejarah ini dan mengakui, "perdamaian diawali dengan keputusan Amerika menerima kebenaran."
Foto: Reuters/R. Zvulun
Menyambut Hari Kematian
Sejak aksi demonstrasi menyambut hari Nakba dimulai 30 Maret lalu, setidaknya 97 penduduk Palestina dinyatakan tewas, termasuk 12 anak-anak. Sementara angka korban luka bahkan melebihi jumlah korban pasca operasi militer Israel selama 51 hari di Gaza pada 2014, yakni 12.271 orang berbanding 11.231 orang. Situasi ini menyisakan ketegangan diplomasi antara Israel dan sejumlah negara lain.
Foto: picture-alliance/ZUMAPRESS.com/A. Amra
Kisruh Diplomasi
Sebagai reaksi - Turki dan Afrika Selatan menarik duta besarnya dari Tel Aviv. Sementara Uni Eropa, Jerman, Perancis dan PBB menyesalkan penggunaan kekerasan oleh militer. Adapun pemerintah Irlandia memanggil duta besar Israel untuk dimintai keterangan. Dari semua negara hanya Amerika Serikat dan Australia yang mengutuk Hamas atas jatuhnya korban jiwa di Jalur Gaza. (rzn/vlz - rtr,ap,afp)
Foto: picture-alliance/Zuma/N. Alon
8 foto1 | 8
Israel tolak tuduhan HRW
Kementerian Luar Negeri Israel menolak klaim tersebut dan menyebut laporan itu "tidak masuk akal dan palsu," serta menuduh HRW menyembunyikan "agenda anti-Israel."
Israel menuding kelompok pembela HAM itu telah berusaha selama bertahun-tahun untuk mempromosikan boikot terhadap negaranya. "Tujuan dari laporan palsu ini sama sekali tidak terkait dengan hak asasi manusia, tetapi upaya berkelanjutan HRW untuk merusak hak eksistensi Negara Israel," kata Menteri Urusan Strategis Michael Biton.
Kementerian Luar Negeri Israel menuduh laporan tersebut tidak didasarkan pada fakta dan realitas di lapangan. HRW juga disebut berafiliasi dengan pendukung BDS, sebuah gerakan boikot pro-Palestina.
Penulis laporan itu, Direktur HRW Israel dan Palestina Omar Shakir, diusir dari Israel pada 2019 karena tuduhan mendukung BDS. Shakir menyangkal bahwa pekerjaan HRW dan pernyataan pro-Palestina yang dia buat sebelum naik jabatan pada 2016 merupakan bentuk dukungan aktif untuk BDS.
Shakir mengatakan kepada Reuters bahwa HRW akan mengirimkan laporan itu ke Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Tidak hanya itu, HRW juga mengirimkan laporan 2018 tentang kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan oleh Otoritas Palestina Presiden Mahmoud Abbas dan militan Islam Hamas.
Iklan
Menanti langkah ICC
HRW meminta jaksa ICC untuk "menyelidiki dan menuntut individu yang secara kredibel terlibat" dalam apartheid dan penganiayaan.
HRW juga mengungkapkan undang-undang "negara bangsa" Israel tahun 2018 - yang menyatakan bahwa hanya orang Yahudi yang memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri di negara tersebut - "memberikan dasar hukum untuk mengejar kebijakan yang mendukung orang Yahudi Israel sehingga merugikan" 21% minoritas Arab di negara itu.
Pada Maret lalu, jaksa ICC mengatakan akan secara resmi menyelidiki kejahatan perang di wilayah Palestina, setelah hakim ICC memutuskan bahwa pengadilan memiliki yurisdiksi di sana.
Otoritas Palestina menyambut keputusan itu, tetapi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengecamnya sebagai anti-Semitisme dan mengatakan negaranya tidak mengakui otoritas pengadilan.