HRW: Libatkan Ahli Forensik Dalam Kasus Kuburan Massal
24 Mei 2016
Human Rights Watch mendesak Indonesia melibatkan ahli forensik dalam penyelidikan kuburan massal terkait pembantaian 1965-66. Ini penting untuk mengamankan bukti-bukti identifikasi mayat agar tidak rusak.
Iklan
Sebulan setelah Presiden Joko "Jokowi" Widodo meminta para menterinya mendokumentasikan dan memeriksa kuburan massal pembantaian anti komunis 1965-1966, organisasi Human Rights Watch yang berpusat di New York memperingatkan agar ahl-ahli forensik dilibatkan.
Tanpa ahli forensik, penggalian kuburan massal malah bisa menghancurkan bukti-bukti penting dan aklhirnya sangat menyulitkan identifikasi mayat, tulis HRW dalam pernyataan yang dirilis hari Senin (23/05/16).
"Penggalian kuburan massal korban 1965-1966 merupakan langkah penting menuju akuntabilitas… Indonesia," kata Phelim Kine, wakil direktur divisi Asia Human Rights Watch. Di tempat-tempat seperti Kosovo dan Irak, penggalian spontan dan tidak terorganisir malah merumitkan identifikasi korban dan menghancurkan bukti-bukti, tambahnya.
Sebelumnya, pada 16 Mei lalu HRW juga mengirim surat terbuka kepada pemerintah Indonesia dan meminta agar pemerintah mengatur keamanan di situs-situs kuburan massal agar tidak terjadi "penggalian yang tidak sah".
"Tekad pemerintah Indonesia untuk menggali situs-situs yang mungkin (menjadi lokasi) kuburan massal adalah sebuah tindakan politik yang berani," kata Phelim Kine. "Tapi penggalian tergesa-gesa yang dilakukan tanpa keterampilan ahli yang berpengalaman dapat merusak bukti penting dan menghambat upaya untuk membawa keadilan bagi para korban 1965-1966."
Awal bulan ini, pemerintah Indonesian mengumumkan akan membentuk tim khusus untuk menyelidiki daftar sekitar 122 lokasi kuburan massal yang telah disampaikan oleh beberapa kelompok advokasi korban ke Komnas HAM dan ke kantor Menteri Koordinasi Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Pandjaitan.
Pembunuhan massal dimulai Oktober 1965, tak lama setelah aksi penculikan dan pembunuhan enam jenderal sayap kanan Angkatan Darat. Suharto, seorang perwira tinggi militer yang saat itu tidak terlalu dikenal, mengisi kekosongan kekuasaan dan menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) sedang berupaya melakukan kudeta. Saat itu, PKI dengan sekitar 3 juta anggota adalah partai komunis terbesar dunia di luar Uni Soviet dan Cina.
Aksi-aksi menentang pengungkapan peristiwa pembantaian 1965-1966 belakangan kembali marak di indonesia, diikuti dengan penyitaan dan pemberangusan buku dan pelarangan berbagai acara diskusi, seminar dan pameran budaya yang berhubungan dengan peristiwa 1965.
Kalangan pengamat menilai ada perpecahan di kalangan perwira dan tokoh-tokoh militer, antara kelompok yang ingin agar bagian sejarah Indonesia yang gelap dan brutal diselidiki lagi untuk melancarkan rekonsiliasi, dan kelompok yang samasekali menentang peristiwa 1965 diungkit-ungkit.
Perbedaan pandangan terutama mencuat antara Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Panjaitan dan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Terutama Ryacudu disebut-sebut punya ambisi besar untuk menjadi Presiden Indonesia menggantikan Jokowi.
Suara Bisu Perempuan Korban Tragedi 65
Jutaan penduduk menua dengan trauma 65 di pundaknya. Sebagian pernah disiksa dan kehilangan anggota keluarga. Hingga kini mereka menderita dalam diam. Tanpa suara. Tanpa keadilan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Uang saya hanya cukup untuk menyambung nyawa"
Sumilah berusia 14 tahun ketika ia ditangkap tahun 1965. Tuduhannya: Dia adalah anggota dari gerakan perempuan "Gerwani". Aparat menghajarnya sampai pingsan. Mereka kemudian menyekap Sumilah di kamp Plantungan. Di sana baru diketahui bahwa ia korban salah tangkap. Di masa tua, Sumilah hidup di Yogyakarta dengan uang pas-pasan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mereka memukuli ayahku hingga hampir mati"
Ayah Kina diduga merupakan simpatisan Komunis. Ia ditangkap dan tak boleh bekerja. "Itu sebabnya saya mengambil peran sebagai pengganti ayah," kata dia. Kina berpakaian seperti anak laki-laki, bekerja di ladang an mengumpulkan kayu bakar. Masyarakat mengecapnya sebagai "anak komunis". Oleh karena itu, ia dan saudara-saudaranya kehilangan hak atas tanah ayah mereka .
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Masih tersimpan luka di hati saya"
Suami Lasinem ditangkap tahun 1969, disiksa & dikirim ke Pulau Buru. "Suamiku diangkut oleh kawannya sendiri, yang merupakan tentara. Dia dipukuli, punggungnya diinjak-injak sampai luka di sekujur tubuh," papar Lasinem. Perempuan ini ditinggalkan sendirian dengan anak-anaknya. Tahun 1972, mereka menyusul sang kepala keluarga ke Buru. Trauma ketakutan melekat di diri Lasinem hingga saat ini.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Meski dipukuli bertubi-tubipun saya tidak menangis"
Sri adalah seniman dan penyanyi yang tergabung dalam organisasi yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1965 ia ditangkap, disiksa, dan dipenjara. "Depan kamar tidur kami penuh tahi," kenangnya. "Kotoran itu baunya tak tertahankan." Ketika dia dibebaskan pada tahun 1970, rumahnya sudah dirampas keluarga lain. Sri menjadi tunawisma. Di masa tua, ia tinggal bersama keponakannya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Aku harus meninggalkan bayi perempuanku"
Berkali-kali Yohana ditangkap, ditahan, diinterogasi. Ketika ditangkap ke-2 kalinya, ia baru saja melahirkan. Ia dipisahkan dari bayinya masih menyusu. Dua tahun kemudian baru ia bertemu anak perempuannya lagi. "Pengalaman kekerasan itu menghantuiku terus," paparnya. Namun, sepanjang hayatnya, ia tak pernah menceritakan apa yang menimpanya saat itu, bahkan pada keluarganya sekalipun.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mungkin takkan pernah lupa"
Ketika Juriah beumur 7 tahun, ayah diasingkan ke Pulau Buru tahun 1966. Saat menginjak usia 18 tahun, Juriah dipaksa ikut pernikahan massal. Dia harus berjanji tidak pernah meninggalkan Buru. Meskipun penuh penderitaan, ia tetap di sana: "Jika kita datang ke tempat-tempat tertentu, kita akan berbicara tentang masa lalu dan terasa seolah-olah kita tertusuk pisau."
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Orang-orang belum tahu kebenarannya"
"Begitu banyak hilang pada tahun 1965, tanpa pengadilan atau bukti-bukti keterlibatan dengan kasus 65," kata Migelina. Seluruh keluarganya dipenjara pada tahun 1965 - ia kehilangan orang tuanya dan kakaknya. Meski tragedi sudah berlalu berakhir, tetapi ia tetap mendoakan. Migelina percaya bahwa Tuhan memberinya kehidupan lebih panjang, untuk bisa mengetahui apa yang terjadi dengan keluarganya.